Investigating Deindustrialization in Indonesia: Is Our Human Capital Ready for the Transition?

Departemen Kajian dan Aksi Strategis
Kastrat Times
Published in
9 min readMar 7, 2023

--

Pendahuluan

Human resources are the most valuable assets the world has,” telah menjadi salah satu pernyataan Eleanor Roosevelt, ibu negara Amerika Serikat pada 1933–1945, yang paling monumental. Secara langsung, pernyataan tersebut sejalan dengan signifikansi sumber daya manusia terhadap suatu negara, terutama dalam konteks pembangunan negara. Salah satu teori yang beririsan dengan konteks tersebut adalah model pembangunan oleh Walt Whitman Rostow, seorang ahli ekonomi asal Amerika Serikat. Pada model pembangunan tersebut, terdapat lima tahap pembangunan yang diakhiri dengan tahap high mass consumption, yaitu ketika masyarakat sudah memiliki daya beli yang tinggi untuk mengonsumsi barang dan jasa. Akibatnya, sektor jasa akan mendominasi perekonomian negara tersebut. Pada tahap ini, kualitas sumber daya manusia menjadi sangat krusial, terutama bagi negara berkembang yang sedang menuju tahap tersebut (Tikly et al., 2020).

Faktanya, Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang menuju tahap tersebut. Hal ini tidak terlepas dari tren penurunan kontribusi sektor industri manufaktur di Indonesia terhadap PDB. Di samping perannya yang signifikan bagi perekonomian Indonesia dari tahun ke tahun, industri manufaktur justru menunjukkan penurunan laju pertumbuhan yang salah satunya dibuktikan dengan laju pertumbuhan sebesar 3,54 persen pada kuartal II 2019. Angka tersebut menjadi yang terendah dalam tujuh kuartal sebelumnya. Tren ini disinyalir terjadi akibat pola bisnis industri Indonesia yang lebih gemar mengekspor barang mentah daripada barang hasil pengolahan (Adharsyah, 2019). Lebih lanjut, penurunan kontribusi industri manufaktur di Indonesia juga turut diindikasikan oleh laju pertumbuhan industri manufaktur yang berada di bawah laju pertumbuhan ekonomi nasional pada sepuluh tahun terakhir (Sayekti, 2020). Berdasarkan beberapa fenomena tersebut, terdapat kecenderungan kuat bahwa Indonesia mengalami deindustrialisasi, yaitu kondisi ketika terjadi penurunan laju pertumbuhan industri manufaktur.

Beriringan dengan deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia, sektor industri jasa justru terus menunjukkan pertumbuhan yang positif setiap tahunnya. Per 2012, industri jasa tercatat mengungguli industri penghasil barang pada struktur PDB Indonesia, yaitu dengan kontribusi sebesar 54 persen — lebih besar daripada industri penghasil barang yang memiliki persentase 46 persen. Setelah tahun 2012, tren kontribusi industri jasa yang melebihi industri penghasil barang tersebut terus berlanjut, bahkan selisihnya juga terus melebar setiap tahunnya (Basri, 2019). Mengacu pada fenomena terjadinya deindustrialisasi yang disusul dengan peningkatan sektor industri jasa ini, dapat disimpulkan bahwa telah terjadi pula transisi menuju perekonomian jasa di Indonesia. Dalam hal ini, sektor jasa yang sudah cukup dominan akan terus berkembang dan menunjukkan dominasinya pada masa yang akan datang.

Sebagai respons atas transisi pola perekonomian menuju sektor jasa ini, kesiapan sumber daya manusia atau human capital di Indonesia menjadi pertanyaan. Pasalnya, dari 10 negara dengan persentase kontribusi sektor industri jasa terbesar di dunia, 5 di antaranya memiliki sumber daya manusia dengan indeks daya saing yang setidaknya lebih besar daripada 60. Angka 60 tersebut terpaut cukup jauh dari Indonesia yang hanya memiliki indeks sebesar 45,16 pada tahun 2022 (IMD, 2022). Data tersebut menunjukkan adanya asosiasi antara negara dengan pola perekonomian jasa dan kualitas human capital-nya yang tinggi. Lantas, Bagaimana posisi Indonesia dalam kasus ini? Apa saja kebijakan yang perlu diambil oleh Pemerintah Indonesia untuk memastikan kesiapan human capital-nya dalam menyongsong transisi menuju perekonomian jasa ini?

Deindustrialisasi Prematur di Indonesia: Membuka Potensi Ketidaksiapan

Tidak sulit menemui liputan media nasional yang mengasosiasikan industri manufaktur di Indonesia dengan peran “tulang punggung perekonomian nasional”. Rasanya sulit untuk menepis asosiasi tersebut mengingat kontribusi industri manufaktur terhadap perekonomian Indonesia yang memang terbilang signifikan dalam tiga dekade terakhir. Buktinya, sejak tahun 1968 sampai dengan 1995, laju pertumbuhan industri manufaktur di Indonesia justru berhasil melebihi laju pertumbuhan ekonomi nasional (Kiki Verico, 2021). Tren yang terjadi pada saat itu adalah kondisi ideal yang turut terjadi pada negara industri maju di dunia.

Fakta sejenis yang menguatkan peran industri manufaktur sebagai “tulang punggung perekonomian nasional” dapat pula disaksikan pada grafik 1 di bawah. Sejak tahun 1983 sampai dengan 2021, kontribusi industri manufaktur terhadap GDP di Indonesia cenderung memiliki tren positif dan mencapai puncaknya pada tahun 2002, yaitu pada angka 31,95 persen, sebelum berbalik negatif setelahnya. Selain itu, laju pertumbuhan dari industri manufaktur di Indonesia juga berhasil mengungguli sektor industri lainnya, seperti sektor jasa dan agrikultur, pada periode 1983–1996 dan tahun 2000 (Kiki Verico, 2021).

Figur 1. Kontribusi Industri Manufaktur (dalam persen) terhadap GDP di Indonesia.

(Sumber: https://www.theglobaleconomy.com/Indonesia/Share_of_manufacturing/)

Namun, sebagaimana terpampang pada grafik, fluktuasi dan baik-buruknya sebuah sektor akan senantiasa tersedia. Walaupun kontribusi industri manufaktur sudah berada pada level yang tinggi untuk beberapa dekade terakhir, fakta lain menunjukkan bahwa persentasenya pada struktur PDB Indonesia tidak lebih besar daripada industri jasa. Bahkan, jika mengacu pada periode 1983–2021, persentase pada GDP terkecil dari industri jasa berada pada angka 33,37 persen yang justru masih lebih besar daripada persentase terbesar dari industri manufaktur (The Global Economy, 2021). Terlebih, sejak terakhir kali laju pertumbuhan industri manufaktur mengungguli industri jasa pada tahun 2000, industri manufaktur tidak pernah lagi menunjukkan performa serupa.

Pada dasarnya, fenomena penurunan kontribusi dari industri manufaktur ini merupakan hal yang wajar bagi sebuah negara. Namun, penurunan yang terjadi pada negara dengan PDB per kapita rendah adalah sebuah indikasi dari fenomena deindustrialisasi prematur, yaitu deindustrialisasi yang terjadi lebih dini daripada seharusnya (Andriyani & Irawan, 2018). Dalam hal ini, berdasarkan rata-rata PDB per kapita Indonesia pada periode 2010–2021 yang menunjukkan angka 3.714,310 USD, Indonesia masih tergolong lower-middle income country (CEIC, 2022). Selain itu, Faisal Basri –ekonom asal Indonesia– juga menguak fenomena deindustrialisasi prematur yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan pemaparannya, sewajarnya suatu negara mengalami deindustrialisasi ketika kontribusi industri manufakturnya terhadap PDB sudah mencapai persentase 35 persen. Sementara itu, seperti yang dapat dilihat pada figur 1, nilai maksimal dari kontribusi industri manufaktur di Indonesia adalah sebesar 31,95 persen yang terjadi pada tahun 2002 (Basri, 2019).

Kondisi ini menghadirkan beberapa permasalahan yang mungkin terjadi. Di Amerika Serikat, deindustrialisasi berakibat pada terjadinya peningkatan ketimpangan ekonomi dan mengurangi daya saing global dari ekonomi nasional (Padhi, 2022). Sementara itu, pada beberapa negara di Amerika Latin, deindustrialisasi yang terlalu dini terbukti meningkatkan sektor informal dan membuat produktivitas ekonomi berkurang secara signifikan. Kemungkinan terbesar yang melatarbelakangi implikasi tersebut adalah ketidaksiapan kualifikasi masyarakat berpindah menuju sektor jasa yang membutuhkan keahlian tinggi sebagai substitusi atas sektor manufaktur (Rodrik, 2015).

Bagaimana Kondisi Human Capital di Indonesia?

Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, deindustrialisasi yang terlalu dini dapat berimplikasi pada ketidaksiapan kualifikasi masyarakat untuk berpindah menuju sektor jasa. Setidaknya, terdapat beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kualifikasi masyarakat tersebut, di antaranya adalah daya saing tenaga kerja, indeks pembangunan manusia (IPM), dan kualitas pendidikan. Selain itu, perbandingan Indonesia terhadap negara lain pada ketiga indikator tersebut juga perlu dilakukan untuk mengukur kualitas human capital-nya.

Pertama, indikator daya saing tenaga kerja dapat diukur dengan indeks world talent ranking (WTR) oleh Institute for Management Development (IMD). Indikator ini sendiri mengukur kapasitas sebuah negara untuk mengembangkan keahlian dan daya saing tenaga kerjanya pada skala internasional. Lebih lanjut, indeks TWR ini melibatkan 31 kriteria yang terbagi kepada tiga faktor, yaitu the Investment & Development factor yang bermakna alokasi sumber daya oleh Indonesia pada aspek yang dapat meningkatkan keahlian seperti program pendidikan dan magang, the Appeal factor yang mencakup biaya hidup serta kualitas hidup, dan the Readiness factor yang berarti kualitas tenaga kerja dengan keahliannya masing-masing di pasar. Berdasarkan indeks tersebut, Indonesia menempati peringkat ke-51 dari 63 negara. Nilai indeks Indonesia sebesar 45,16 masih berada di bawah beberapa negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand (IMD, 2022).

Selanjutnya, indikator yang tak kalah penting adalah indeks pembangunan manusia (IPM). Indeks ini adalah hasil akumulasi dari pencapaian rata-rata pada beberapa aspek kunci dalam pembangunan manusia, yaitu aspek kesehatan yang meliputi angka harapan hidup, aspek pendidikan yang meliputi rata-rata lama sekolah penduduk usia 25 tahun serta estimasi lama sekolah generasi mendatang, dan aspek standar hidup yang meliputi pendapatan nasional bruto (PNB) per kapita (United Nations, 2022). Pada tahun 2022 sendiri, Indonesia meraih IPM sebesar 72,91. Angka tersebut meningkat dari tahun sebelumnya, yaitu 72,29 pada tahun 2021 (BPS, 2022). Berdasarkan klasifikasi oleh PBB, Indonesia dengan indeks sebesar 72,91 tersebut diklasifikasikan sebagai negara high human development (World Population Review, 2022). Walaupun telah mengalami menunjukkan hasil yang baik secara akumulatif, ketimpangan antardaerah masih menjadi permasalahan yang patut untuk diselesaikan.

Figur 2. Indikator dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

(Sumber: https://hdr.undp.org/data-center/human-development-index#/indicies/HDI)

Terakhir, indikator yang juga cukup krusial dalam menentukan kualitas human capital dari suatu negara adalah kualitas pendidikan. Dalam hal ini, kualitas pendidikan tersebut diukur dengan PISA test model oleh OECD yang dilaksanakan setiap tiga tahun sekali. Metode ini adalah metode yang digunakan untuk mengukur kualitas pendidikan dengan melibatkan kemampuan matematika, sains, dan membaca dari siswa usia 15 tahun. Nyatanya, hasilnya tidak begitu memuaskan bagi Indonesia. Di pengujian terakhirnya pada tahun 2018, hasil pengujiannya merefleksikan beberapa kesimpulan, seperti rendahnya kemampuan literasi siswa, inkompetensi guru, dan disparitas kualitas pendidikan (Revina, 2019).

Pertama, rendahnya kemampuan literasi siswa diindikasi dengan 70 persen siswa Indonesia yang tidak mampu mencapai tingkat kedua dalam PISA framework. Padahal, secara akumulatif, hanya 23 persen siswa dari keseluruhan 79 negara peserta pengujian ini yang tidak mampu mencapai tingkat kedua tersebut. Berkaitan dengan hal ini, kualitas guru disinyalir menjadi salah satu penyebab utama. Berdasarkan hasil pengujian PISA, guru di Indonesia dikatakan tidak sepenuhnya mengerti kebutuhan siswa, sering tidak hadir dalam kegiatan belajar mengajar, tidak terima terhadap perubahan, tidak mempersiapkan pengajaran dengan baik, dan tidak fleksibel dalam proses pembelajaran. Selanjutnya, selain kualitas guru, disparitas kualitas pendidikan antardaerah juga tak kalah vital. Misalnya, siswa di DIY dan DKI Jakarta memiliki nilai kemampuan membaca pada PISA dengan angka yang baik, yaitu sebesar 411 dan 410. Sementara itu, pada daerah Indonesia lainnya, angkanya justru menunjukkan hasil yang tidak memuaskan, yaitu hanya sebesar 371 (Revina, 2019).

Setidaknya, berdasarkan data yang telah disajikan pada bagian ini, terdapat indikasi yang kuat bahwa Indonesia masih harus melakukan banyak pekerjaan untuk meningkatkan kualitas human capital-nya. Mengacu pada data-data tersebut, pendidikan barangkali adalah salah satu sektor utama yang perlu diperbaiki secara intens. Pasalnya, baik WTR, IPM, maupun PISA, semuanya melibatkan variabel pendidikan dalam proses kalkulasinya. Selain itu, disparitas antardaerah juga masih menjadi masalah serius yang perlu untuk diselesaikan.

Bagaimana Pemerintah Indonesia Menyikapi Permasalahan Human Capital?

Satu hal yang patut disyukuri dari Indonesia dalam kasus ini adalah regulatornya yang menyadari urgensi pengembangan human capital ini. Dalam pidato kenegaraan pertamanya pada periode kepemimpinan keduanya, Presiden Jokowi mengungkapkan, “Kita akan memberikan prioritas pembangunan kita pada pembangunan sumber daya manusia. Pembangunan SDM menjadi kunci Indonesia ke depan.” (Krisiandi, 2019) Tiga tahun berselang sejak pidato tersebut dilantangkan, bagaimana upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia?

Figur 3. Alokasi Dana Pendidikan Setiap Tahunnya (Sumber: https://goodstats.id/article/menyoal-anggaran-pendidikan-sebesar-20-persen-sudah-tepat-sasaran-kah-BMBE7)

Secara akumulatif sendiri, Indonesia telah mengalami beberapa perkembangan seiring bergantinya tahun. Misalnya, pada indeks pembangunan manusia secara akumulatif, IPM telah meningkat secara signifikan dalam satu dekade terakhir. Angkanya bergerak secara positif dari angka 66,53 pada tahun 2010 menjadi 72,91 pada tahun 2022 (BPS, 2022). Lebih lanjut, peningkatan ini tidak terlepas dari kebijakan pembangunan SDM yang berorientasi jangka panjang oleh Pemerintah Indonesia, di antaranya adalah kebijakan pada sektor pendidikan dan kesehatan. Untuk sektor pendidikan secara spesifik, salah satu yang paling mencolok adalah peningkatan alokasi dana pendidikan setiap tahunnya (seperti yang dapat dilihat pada figur 3). Dalam periode 2017–2021 misalnya, alokasi anggaran meningkat dari Rp406,1 triliun menjadi 540,3 triliun. Adapun, peningkatan ini tidak terlepas dari pemberdayaan program strategis dalam sektor pendidikan, seperti kartu Indonesia pintar (KIP) dan bantuan pembangunan untuk perguruan tinggi (Naomi Adisty, 2022).

Sementara itu, pada sektor kesehatan, Pemerintah Indonesia konsisten dengan program perbaikan gizi yang salah satunya bertujuan untuk mengurangi angka stunting. Implementasinya, di desa Tangkilsari misalnya, alokasi dana desa mencapai Rp78.200.000 untuk mengatasi stunting. Terbukti, angka pengidap stunting mengalami penurunan dari 39 anak pada 2018 menjadi 25 anak pada 2019 (Holmemo, 2019). Selain upaya jangka panjang, pastinya upaya yang dapat berdampak secara cepat pada jangka pendek juga diperlukan. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia juga turut memberdayakan program “kartu prakerja” yang menyediakan biaya pelatihan serta akses bagi media pelatihan untuk calon pekerja di Indonesia (Kemenkeu, 2022).

Kondisi Indonesia: Antara Ketepatan dan Jurang Ketidaksetaraan

Pada akhirnya, berkaca pada berbagai indikator dan upaya yang telah dilakukan, tidak ada kalimat yang lebih tepat untuk menggambarkan posisi Indonesia selain “Kita berada pada jalan yang tepat!” Melalui upaya oleh pemerintah dan daya tanggap masyarakat, kualitas human capital di Indonesia dapat meningkat secara signifikan dalam satu dekade terakhir. Hal ini merupakan sinyal yang baik bagi Indonesia dalam rangka menghadapi deindustrialisasi yang diiringi transisi dominasi sektor industri yang sedang terjadi. Namun, permasalahan ketidaksetaraan sayangnya masih menjadi ganjalan tersendiri bagi Indonesia. Oleh karena itu, perbaikan atas permasalahan ini patut diupayakan demi menjaga daya saing human capital Indonesia pada sektor jasa, terutama dengan keterbukaan pasar tenaga kerja ke depannya.

REFERENSI

Bit.ly/ReferensiKTVol1

--

--