Mural dan Kreativitas Kritik yang Terdegradasi
Belakangan ini, Indonesia sedang dihadapkan dengan suatu kejadian yang mengundang dua perspektif di antara masyarakat. Kejadian tersebut tidak lain ialah kemunculan mural yang bertuliskan 404: Not Found di wajah Presiden Joko Widodo. Terkait hal ini, sebagian besar masyarakat berpendapat bahwa mural merupakan wujud kebebasan berekspresi bagi setiap orang. Akan tetapi, beberapa lainnya memandang pelukisan mural yang demikian adalah tindakan pelanggaran hukum karena dilakukan dengan sewenang-wenang di suatu sarana umum.
Staf Khusus Menteri Sekretariat Negara (Mensesneg), Faldo Maldini, menyatakan bahwa pelukisan mural 404: Not Found merupakan tindakan melawan hukum karena dapat merusak sarana umum (CNN Indonesia, 2021). Menurutnya, setiap orang harus mampu menghormati dan menjaga sarana umum yang sejatinya menjadi milik masyarakat. Argumen senada disampaikan oleh Moeldoko selaku Kepala Staf Kepresidenan (KSP) RI yang meminta masyarakat untuk lebih bijaksana dalam menyampaikan kritik. Bahwa kritik harus disampaikan dengan cara yang beradab dan beretika (Wibowo, 2021).
Upaya responsif juga dihadirkan oleh Kepolisian Resor (Polres) Metro Tangerang Kota. Kasubag Humas Polres Metro Tangerang Kota, Kompol Abdul Rachim, mengonfirmasi bahwa pihaknya akan memulai investigasi dengan dugaan adanya pelanggaran terhadap simbol negara (Detikcom, 2021). Meskipun pada akhirnya, investigasi tersebut dihentikan setelah kasus pelukisan mural 404: Not Found terbukti tidak melanggar hukum pidana atau mencemarkan simbol negara.
Menyikapi kontroversi ini, komentar yang beragam datang dari masyarakat Indonesia. Banyak orang menyayangkan tindakan represif dari pihak kepolisian yang dikhawatirkan dapat membunuh kebebasan berekspresi bagi masyarakat. Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, mengkritik sikap berlebihan kepolisian yang ingin menindak pembuat mural (Alika, 2021). Padahal, mural adalah sarana ekspresi politik yang seharusnya dilindungi, bukan justru dibatasi. Hal ini diperkuat oleh pernyataan LBH Jakarta yang menilai setiap pihak tidak memiliki alasan pembenar untuk dapat menangkap pembuat mural (Alika, 2021).
Lalu bagaimana sebenarnya sejarah dari seni mural dan mengapa permasalahan ini justru makin berlarut?
Secara definitif, mural adalah seni lukisan yang umumnya dilukis di sebuah dinding atau bagian luar dari sebuah bangunan. Mural merupakan suatu estetika lukisan yang “dijual” sebagai perwujudan seni di jalanan. Sejarahnya, mural berawal dari peradaban Eropa Kuno pada 30.000 SM dan ditemukan di Gua Chauvet, Prancis (Mural Form, 2017). Tidak hanya itu, mural-mural klasik juga dapat ditemui pada peradaban kuno di Mesir, Pompeii, dan Minoa sejak 3.150 SM (Mural Form, 2017).
Dalam riwayatnya, mural sangat berkembang di tangan pemerintahan Romawi Kuno. Kala itu, mural dapat ditemui di segala penjuru Kota Pompeii dan Ostia (Britannica, 2021). Diceritakan bahwa kekaisaran romawi sangat menghargai dan mencintai kreativitas seni yang disalurkan melalui mural. Bagi penduduk Romawi Kuno, mural adalah seni yang menyuarakan nilai-nilai spiritual dan kebudayaan (Cartwright, 2013). Oleh sebab itu, mural banyak ditemui di tempat-tempat peribadatan, seperti gereja dan katedral — terlebih, selepas masa Renaisans pada abad 15 dan 16 masehi.
Seiring berjalannya waktu, mural berkembang dengan fungsi yang lebih dinamis dan strategis. Mural kemudian direpresentasikan sebagai ekspresi dan suara sosial oleh masyarakat. Sepanjang Revolusi Meksiko pada tahun 1910–1920, mural dilukiskan untuk menyuarakan persatuan masyarakat Meksiko yang hingga kini dikenal sebagai Mexican Muralism. Mexican Muralism ini dilukis oleh tiga seniman legendaris yang dijuluki Los Tres Grandes, yaitu David Alfaro Siqueiros, José Clemente Orozco, dan Diego Rivera (Jilani, 2019).
Setelah itu, pada tahun 1937, Pablo Picasso melukiskan sebuah mural yang melegenda berjuluk Guernica y Luno. Kala itu, Guernica y Luno diciptakan sebagai wujud penghormatan terakhir dari masyarakat Spanyol terhadap korban jiwa dari tragedi pengeboman Kota Guernica oleh Nazi Jerman (Kuncahyono, 2019). Melalui lukisan muralnya tersebut, Pablo Picasso berusaha mengisyaratkan bahwa seni adalah saksi dari kejahatan dan kekejaman politik pada masa lalu. Keberadaan Guernica y Luno diharapkan dapat memberikan pembelajaran bagi masyarakat, agar kejadian yang serupa tidak terulang.
Setelah Perang Dunia Kedua, ekspresi dan suara sosial melalui mural justru makin mendunia. Memasuki tahun 1960–1970, mural digunakan sebagai propaganda sosial dari Black Arts Movement (BAM) oleh masyarakat keturunan Afrika-Amerika (Lee, 2016). BAM menuntut adanya kesetaraan hak bagi penduduk kulit hitam di Amerika Serikat. Narasi yang seirama dibawakan melalui The Wall of Respect di Chicago pada tahun 1967 (Campkin et al., 2014). Selain itu, mural juga eksis di beberapa negara eropa — seperti di Tembok Berlin sebelum keruntuhannya pada tahun 1989 ataupun di Kota Belfast dan Derry sepanjang konflik Irlandia Utara (1968–1998).
Sedangkan di Indonesia, mural mulai dikenal pada tahun 1945–1949 melalui coretan dinding yang bertuliskan Merdeka Ataoe Mati (Muhtarom, 2021). Selain itu, ada pula mural yang bertuliskan Allien Forces Go Away, Rawe-rawe Rantas Malang-malang Poetoeng, dan Dutch Go Home (Marga, 2021). Secara tersirat, mural-mural tersebut dapat diidentifikasi sebagai kobaran perjuangan dari Bangsa Indonesia dalam menghadapi Belanda yang kembali ke nusantara setelah kemerdekaan Indonesia (Marga, 2021).
Dewasa ini, ketika kritik melalui mural 404:Not Found diangkat menjadi permasalahan besar oleh beberapa pihak, lupakah kita dengan esensi dari mural itu sendiri? Mengikuti sejarahnya, mural adalah ekspresi dan suara sosial yang dibingkai di dalam sebuah seni. Dalam arti lain, mural adalah kreativitas kritik yang ditujukan untuk mengutarakan hati dari masyarakat. Bahkan, mural yang berisi kritikan terhadap pemerintah nyatanya telah dilindungi oleh perjanjian hukum. Di antaranya, melalui UUD Tahun 1945, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang diratifikasi melalui UU Nomor 12 Tahun 2005 (Alika, 2021).
Adanya pembatasan terhadap mural yang dilakukan pemerintah dan jajarannya seakan menjadi pertanda bahwa kreativitas kritik oleh masyarakat justru makin terdegradasi. Kejadian ini kembali memperburuk rapor merah Indonesia dalam hal kebebasan berekspresi pada beberapa tahun terakhir. Berdasarkan Laporan Indeks Demokrasi oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) pada tahun 2020, Indonesia mendapatkan skor 6,3 dan menduduki urutan ke-64 di dunia (Putra, 2021). Dalam standar kualifikasi indeks oleh EIU, Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan demokrasi cacat. Hasil tersebut merupakan pencapaian terendah Indonesia dalam empat belas tahun ke belakang.
Mengapa Indonesia Harus Segera Berbenah dan Membangkitkan Kembali Nilai-Nilai Kebebasan Berekspresi?
Dalam buku The Art of Protest: Culture and Activism from the Civil Rights Movement to the Streets of Seattle, T.V. Reed menuliskan bahwa ekspresi dan suara sosial (aktivisme sosial) merupakan mobilisator utama dari perubahan-perubahan di masyarakat. Aktivisme sosial membawa masyarakat menjadi peka terhadap suatu permasalahan dan berusaha menemukan solusi atas permasalahan tersebut. Begitu pula dengan kehadiran mural sebagai kreativitas kritik bagi pemerintah. Ditambah lagi, mural berposisi sebagai ungkapan seni dan kritik yang dapat diakses oleh setiap orang dari berbagai latar belakang maupun kelas sosial.
Kesimpulannya, pemerintah tidaklah harus bersikap paranoid dan anti terhadap kritik yang disampaikan masyarakat. Kritik dapat membawa pemerintah untuk melihat sesuatu dari skala dan sudut pandang yang lebih luas. Kritik adalah manifestasi dari teman berpikir bagi pemerintah. Di sisi lain, kritik juga menjadi refleksi bahwa masih ada masyarakat yang perhatian terhadap pemerintahnya.
“ Pada suatu sisi, kritik menjadi lebih baik dibandingkan pujian. Kritik mengajarkan kita agar selalu berkembang, sedangkan pujian justru mengajarkan kita untuk berpuas diri.”
REFERENSI
Alika, R. (2021, August 19). Pakar Nilai Pembuat Mural Jokowi 404 Not Found Tidak Bisa Dipidana. Katadata.
Britannica. (2021, August 17). Mural: Painting. The Encyclopaedia Britannica.
https://www.britannica.com/art/mural-painting
Campkin et al. (2014, December 8). Chicago’s Wall of Respect: How a Mural Elicited a Sense of Collective Ownership. The Guardian.
Cartwright, M. (2013, August 11). Roman Wall Painting. World History Encyclopedia.
https://www.worldhistory.org/article/597/roman-wall-painting/
CNN Indonesia. (2021, August 13). Stafsus Mensesneg Faldo: Mural Tanpa Izin Melawan Hukum.
Detikcom. (2021, August 14). Polisi Buru Pembuat Mural ‘Jokowi 404 Not Found’: Presiden Lambang Negara. Detik News.
Jilani, S. (2019, July 17). How Murls Have Served as Mirrors for Political Change. Frieze.
https://www.frieze.com/article/how-murals-have-served-mirrors-political-change
Kuncahyono, T. (2019, April 2). Guernica y Luno. Kompas.
https://www.kompas.id/baca/opini/2019/04/02/guernica-y-luno/
Lee, P. (2016, September 8). The History of the Black Arts Movement. Widewalls.
https://www.widewalls.ch/magazine/black-arts-movement-art
Marga, N. (2021, August 15). Mural dan Penguasa yang Kesal, Lupakah Kita pada Merdeka Ataoe Mati. Pikiran Rakyat.
Muhtarom, I. (2021, August 18). Sejarah Mural di Indonesia dari Merdeka Ataoe Mati Hingga 404 Not Found. Tempo.
Muralform. (2017, April 27). The History of Murals.
https://muralform.com/2017/the-history-of-murals/
Putra, R.A. (2021, February 4). Indeks Demokrasi 2020: Indonesia Catat Skor Terendah dalam 14 Tahun Terakhir. Deutsche Welle.
https://www.dw.com/id/indeks-demokrasi-indonesia-catat-skor-terendah-dalam-sejarah/a-56448378
Wibowo, K.S. (2021, August 18). Mural 404 Not Found Dihapus, Moeldoko: Jangan Sembarangan Menggambar. Tempo.