Thucydides Trap: An Embodiment of Realism and Hegemony Between The United States and China

Departemen Kajian dan Aksi Strategis
Kastrat Times
Published in
9 min readMay 22, 2021

Dikenal sebagai Father of Scientific History, Thucydides merupakan seorang sejarawan dan penulis kelahiran Alimos (sekitar 455 — 460 SM). Thucydides dijuluki sebagai Bapak Sejarah Ilmiah atas tulisan-tulisannya yang selalu mengulas sejarah tanpa adanya keberpihakan serta berdasarkan pengumpulan bukti dan analisis terhadap sebab-akibatnya (Cochrane, 1929). Sebagaimana menurutnya bahwa kepastian sejarah harus dapat diafirmasi melalui metode-metode yang akurat (Momigliano, 1990).

Dampak konstruktif yang dibawakan oleh Thucydides terhadap sejarah Yunani kuno berawal dari keterlibatannya pada Peloponnesian War atau Perang Peloponnesos. Peloponnesian War adalah sebuah perang (konflik militer) antara Athena dan Sparta — dua kekuatan besar di Yunani pada tahun 430 hingga 405 SM (National Geographic Society, 2019). Pada perang tersebut, Thucydides berperan sebagai seorang jenderal dan memimpin pergerakan militer yang dilakukan oleh pasukan perang Athena untuk menghadapi pasukan perang milik Sparta.

Thucydides merupakan sosok yang cerdas sekaligus bijaksana. Kemampuannya dalam membaca ritme politik dan strategi militer yang dibawakan oleh lawannya membuat Athena dapat mengimbangi kekuatan Sparta. Selama perang berlangsung, Thucydides juga mendedikasikan dirinya untuk menilai filosofi dari berlangsungnya peperangan antara Athena dan Sparta. Penilaian tersebutlah yang kemudian ia tulis sebagai sebuah catatan historis berjudul The History of The Peloponnesian War.

Dalam tulisannya tersebut, Thucydides banyak mengutarakan pemikirannya terkait dinamika politik dan hubungan antarnegara. Satu di antaranya yaitu prinsip atau pandangan realisme. Realisme adalah suatu premis yang mendeskripsikan bahwa negara maupun hubungan diplomatiknya selalu dimotivasi oleh kekuatan politik dan egoisme (Oldemeinen, 2010). Hal ini diperkuat oleh perspektif Thucydides yang menyetujui bahwa manusia selalu hidup dari sebuah rasa takut, keinginan untuk memperoleh kejayaan, dan pengejaran atas kepentingan pribadi (Boucher, 1998).

Konsep mengenai realisme juga dibawakan oleh Kenneth Waltz melalui bukunya yang berjudul Theory of International Politics. Menurutnya, kekuatan merupakan pengaruh utama yang membawa arah perpolitikan suatu negara (Sagan, 2004). Kekuatan mendorong suatu negara untuk bertindak dan mengambil langkah-langkah strategis dalam hubungan internasionalnya (Waltz, 1979).

Realisme sebagai wujud kebanggaan terhadap superioritas dan kekuasaan sejatinya dapat berpengaruh pada terjadinya dua hal: hegemoni dan Thucydides Trap. Antonio Gramsci mendefinisikan hegemoni sebagai dominasi yang tercipta atas dasar paksaan ataupun persetujuan (Howson dan Smith, 2008). Hal ini selaras dengan pandangan Thucydides bahwa hegemoni juga dapat diartikan sebagai arkhe, yaitu kontrol politik yang diaplikasikan untuk menguasai dan memengaruhi negara atau kota lainnya (Lebow dan Kelly, 2001).

“Right, as the world goes, is only in question between equals in power, while the strong do what they can and the weak suffer what they must.”

Hegemoni memiliki paradigma yang searah dengan prinsip realisme; kekuatan besar dapat melakukan apa saja dan kekuatan yang kecil akan berada di bawah dominasi kekuatan besar. Abad ke-5 — ke-4 SM dalam sejarah Yunani kuno mengenal Athena dan Sparta sebagai kekuatan yang besar dan mendominasi. Setelah itu, hegemoni dapat ditemukan di masa kekaisaran romawi dengan istilah imperium (Lebow dan Kelly, 2001). Seiring berjalannya waktu, hegemoni terus terjadi bahkan hingga abad ke-20 ketika Amerika Serikat, Britania Raya, dan Uni Soviet menjadi kekuatan yang tidak terkalahkan selepas Perang Dunia Kedua.

Hakikatnya, hegemoni membuat negara penguasa menjadi sentimen dan takut dengan munculnya kekuatan-kekuatan baru. Hal inilah yang kemudian dibawakan oleh Graham Allison melalui istilah Thucydides Trap dalam tulisannya yang berjudul The Thucydides Trap: Are the U.S. and China Headed for War. Thucydides Trap merupakan suatu kemungkinan terjadinya perang dan konflik besar akibat dari munculnya kekuatan baru yang menyaingi dominasi (hegemoni) kekuatan lama (Alisson, 2015).

Seperti halnya pandangan realisme, Thucydides Trap diangkat dari perspektif Thucydides dalam mendefinisikan riwayat terjadinya Peloponnesian War. Saat itu, Athena sedang mengalami pertumbuhan kekuatan yang cukup besar sehingga di sisi lain mengancam dominasi Sparta sebagai penguasa di Yunani (Alisson, 2015). Sparta, merasa bahwa posisinya terancam, kemudian merestui terjadinya perang untuk mempertahankan dominasinya serta meruntuhkan kekuatan baru yang dibawakan oleh Athena.

Graham Allison pada penelitian dan pendekatan ilmiahnya berdasarkan matriks Thucydides Trap telah menemukan bahwa perang terjadi sebanyak 12 kali dari 16 skenario Thucydides Trap (Allison, 2015). Ada pula perang yang pertama kali terjadi akibat Thucydides Trap, yaitu antara Prancis dan Habsburg pada abad ke-16. Setelah itu, perang selalu terjadi ketika suatu kekuatan baru muncul dan kekuatan lama mengalami kemunduran.

Thucydides Trap juga menjadi alasan dari terjadinya Battle of Britain antara Inggris dan Jerman. Pada awal tahun 1940, Jerman berkembang sebagai negara fasis dengan kekuatan militer dan teknologi yang sangat progresif. Hal tersebut tentunya menjadi ancaman bagi Inggris yang kekuatannya mendominasi daratan Eropa. Akibatnya, perang menjadi tidak terhindarkan, terlebih Jerman yang ketika itu dipimpin oleh Adolf Hitler ternyata juga memiliki ambisi untuk menginvasi tanah Inggris.

Dewasa ini, Thucydides Trap kembali menjadi pembahasan yang hangat. Kali ini skenarionya melibatkan persaingan ekonomi antara Amerika Serikat dan China. Amerika Serikat, seperti yang diketahui merupakan kekuatan besar dan dominan di dunia sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua. Akan tetapi, China merupakan kekuatan baru yang dinilai memiliki potensi untuk mengakhiri dominasi Amerika Serikat.

Secara ekonomi, perkembangan China berawal dari reformasi struktural dan ekonomi yang dibawakan oleh Deng Xiaoping pada tahun 1978. Reformasi struktural dan ekonomi tersebut meliputi liberalisasi dalam identitas perekonomian China (Charyl, 2013). Adanya liberalisasi ekonomi membuat China menjadi lebih terbuka dalam keterlibatannya pada struktur ekonomi internasional dan mendorong kemajuan ekonomi yang lebih cepat dibandingkan sebelumnya.

Pada tahun 1983, China mendirikan sebuah instansi pemerintah nonkementerian yang bernama State Administration of Foreign Experts Affairs (SAFEA). SAFEA berfungsi sebagai lembaga yang mengoordinasikan proses rekrutmen terhadap tenaga kerja asing dan pengiriman tenaga kerja milik China ke negara lain. Adanya rekrutmen terhadap tenaga kerja asing bertujuan untuk meningkatkan pemberdayaan sumber daya manusia (SDM) melalui proses penularan ilmu dan keahlian yang wajib dilakukan oleh tenaga kerja asing kepada tenaga kerja China (Silitonga, 2010). Selain itu, SAFEA juga menginisiasi proses pengiriman tenaga kerja China ke luar negeri. Tujuannya yaitu memberikan ruang bagi tenaga kerja China untuk dapat mengaplikasikan keahlian dan inovasinya kepada masyarakat internasional.

Tidak hanya itu, strategi ekonomi lainnya yang diimplementasi oleh China ialah melalui keikutsertaan pada World Trade Organization (WTO) dan penandatanganan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA). Dampaknya, China mengalami pertumbuhan nilai dan profitabilitas dari sektor perdagangan internasional. Hal ini yang kemudian berpengaruh pada keperkasaan ekonomi China dibandingkan negara-negara lainnya termasuk Amerika Serikat.

Dalam 2020 World Economic Outlook yang diselenggarakan oleh International Monetary Fund (IMF), China menduduki posisi pertama sebagai negara dengan kekuatan ekonomi tertinggi mengalahkan Amerika Serikat. Kekuatan ekonomi China berada pada level 24,2 Miliar USD berbanding 20,8 Miliar USD milik Amerika Serikat (Allison, 2020). Keunggulan China atas kedigdayaan ekonomi milik Amerika Serikat saat ini justru terjadi lebih cepat dibandingkan prediksi IMF pada tahun 2018, bahwa China akan menjadi episentrum ekonomi terbesar di dunia mulai tahun 2030 (International Monetary Fund, 2018).

Amerika Serikat dan China tidaklah sepenuhnya buta akan terjadinya Thucydides Trap. Pada tahun 2015, pemimpin dari kedua negara super power tersebut, yaitu Barack Obama dan Xi Jinping, telah mengadakan diskusi untuk membicarakannya. Pada akhir diskusi, Xi Jinping menyampaikan bahwa setiap negara harus memahami kebijakan politiknya dengan strategis dan terukur untuk meminimalisasi terjadi miskalkulasi yang cenderung menjebak (Allison, 2015). Hal ini senada dengan gaya retorika yang dibawakan oleh Barack Obama bahwa Amerika Serikat dan China harus selalu mampu mengendalikan ketegangan yang ada di antara keduanya.

Akan tetapi, pendekatan yang berbeda dilakukan oleh Donald Trump sebagai suksesor dari presiden Amerika Serikat sebelumnya, Barack Obama. Dengan gaya politik atau diplomasinya yang temperamen dan konservatif, Donald Trump justru semakin mengarahkan hubungan Amerika Serikat dan China ke lingkaran Thucydides Trap. Sejak pertama kali dilantik pada tahun 2017, Donald Trump dikenal cukup ofensif dan radikal dalam kebijakannya untuk menekan pertumbuhan ekonomi China. Beberapa kebijakan tersebut dilakukannya melalui: kebijakan One Policy China, tarif ekspor-impor, hingga boikot dagang.

“We’re in a competition with China and other countries to win the 21st Century,”

Kalimat Joe Biden tersebut menjadi representasi bahwa ketegangan antara Amerika Serikat dan China tidak kunjung mereda, bahkan setelah berakhirnya pemerintahan Donald Trump. Sejak hari pelantikannya (20 Januari 2021), Joe Biden terhitung telah mengeluarkan tiga pernyataan ataupun kebijakan yang memperburuk situasi bilateral Amerika Serikat-China. Pertama, Joe Biden menyerang konsep pemerintahan China yang menurutnya memiliki kecenderungan pada otokrasi bukan demokrasi (Cheng, 2021).

“Xi (China) and other autocrats think that democracy can’t compete in the 21st century with autocracies, because it takes too long to get consensus.”

Kedua, Joe Biden hingga sekarang belum menghentikan perang tarif impor dagang yang dahulunya diinisiasi oleh Donald Trump. Selain itu, Joe Biden juga telah mengirimkan delegasi ke Taiwan dan mengafirmasi komitmen Amerika Serikat untuk membela Taiwan dari ancaman China (Laoli, 2021).

Berbanding terbalik dengan Amerika Serikat yang cukup agresif dan diskriminatif, kebijakan politik luar negeri China justru mengarah kepada proses harmonisasi antarnegara. China melalui kebijakannya yaitu Belt Road Initiative (BRI) justru meningkatkan simpati dari negara-negara lain terhadap China. Belt Road Iniative merupakan program yang diperkenalkan oleh Presiden China, Xi Jinping, dengan nama One Belt One Road (OBOR) (Widowati, 2019). BRI berawal dari pemahaman terhadap Silk Economic Route atau jalur sutra perdagangan yang melewati Tiongkok, Asia Tengah, Asia Timur, Asia Selatan, Timur Tengah hingga Eropa (Magdalena, 2021). Kebijakan ini dapat berdampak positif bagi pertumbuhan negara-negara berkembang sehingga menjadi stimulus strategis yang tepat untuk meningkatkan kekuatan China tanpa harus mendiskriminasi oposisinya yaitu Amerika Serikat.

Di tengah ketegangan Amerika Serikat-China serta adanya kemungkinan Thucydides Trap bagi keduanya, Indonesia sejauh ini masih berada di posisi yang cukup strategis. Hal tersebut tidak terlepas dari prinsip diplomasi Indonesia yang berorientasi pada Gerakan Non-Blok atau dikenal dengan istilah politik bebas aktif. Adanya kecenderungan sebagai negara Non-Blok membuat Indonesia tidak memiliki keterikatan dan kewajiban untuk beraliansi kepada Amerika Serikat maupun China.

Titik strategis dari posisi Indonesia sebagai negara yang mendeklarasikan Gerakan Non-Blok juga disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi. Menurutnya, Gerakan Non-Blok dapat menjadi kekuatan positif di tengah dinamika geopolitik global sekarang ini (Kementerian Luar Negeri, 2020). Di sisi lain, Gerakan Non-Blok juga menjadi peredam atas ketegangan yang berasal dari tingginya kecenderungan utilitarianisme dan menurunnya kepercayaan terhadap sistem multilateral (Kementerian Luar Negeri, 2020).

Sekali lagi, Thucydides Trap: Are the U.S. and China Headed for War karya Graham Allison menjadi sebuah perspektif yang menarik dalam memandang ketegangan antara Amerika Serikat dan China. Bahwa hubungan antara Amerika Serikat dan China harusnya dapat diakselerasi dengan langkah-langkah yang terukur dan penuh konsiderasi. Menimbang bahwa perang dan Thucydides Trap menjadi tak terhindarkan apabila masing-masing negara melakukan kesalahan dalam menilai informasi, memiliki penalaran yang buruk, ataupun keduanya (Misenheimer, 2019).

Referensi

Allison, G. (2015, September 24). The Thucydides Trap: Are the U.S. and China Headed for War? The Atlantic. Diakses dari: https://www.theatlantic.com/international/archive/2015/09/united-states-china-war-thucydides-trap/406756/

Allison, G. (2020, Oktober 15). China Is Now the World’s Largest Economy, We Shouldn’t Be Shocked. Harvard Kennedy School: Belfer Center for Science and International Affairs. Diakses dari: https://www.belfercenter.org/publication/china-now-worlds-largest-economy-we-shouldnt-be-shocked

Boucher, D. (1998). Political Theories of International Relations: From Thucydides To The Present. Oxford University Press.

Caryl, C. (2013). Strange Rebels: 1979 and the Birth of the 21st Century.

Cheng, E. (2021, April 29). Biden Calls For The U.S. To Become More Competitive Against A ‘Deadly Earnest’ China. CNBC. Diakses dari: https://www.cnbc.com/2021/04/29/biden-calls-for-us-to-become-more-competitive-against-china.html

Cochrane, C.N. (1929). Thucydides and the Science of History. Oxford University Press.

Howson, R. dan Smith, K. (2008). Hegemony and the Operation of Consensus and Coercion. New York: Routledge.

International Monetary Fund. (2018, Juli 26). China’s Economic Outlook in Six Charts. IMF Country Focus. Diakses dari: https://www.imf.org/en/News/Articles/2018/07/25/na072618-chinas-economic-outlook-in-six-charts

Kementerian Luar Negeri. (2020, Oktober 9). Menlu RI: Gerakan Non Blok Harus Menjadi Kekuatan Positif Hadapi Tantangan Dunia Saat Ini. Diakses dari: https://kemlu.go.id/portal/id/read/1779/berita/menlu-ri-gerakan-non-blok-harus-menjadi-kekuatan-positif-hadapi-tantangan-dunia-saat-ini

Laoli, N. (2021, April 14). Tunjukkan Komitmen As, Joe Biden Kirim Delegasi Tidak Resmi ke Taiwan. Kontan. Diakses dari: https://internasional.kontan.co.id/news/tunjukkan-komitmen-as-joe-biden-kirim-delegasi-tidak-resmi-ke-taiwan

Lebow, N. dan Kelly, R. (2001). Thucydides and Hegemony: Athens and the United States. Cambridge University Press. https://www.jstor.org/stable/20097762?seq=1

Magdalena, J.V. (2021, Januari 6). Implikasi Belt and Road Initiative Tiongkok Terhadap Neraca Perekonomian Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Diakses dari: http://psdr.lipi.go.id/news-and-events/opinions/implikasi-belt-and-road-initiative-tiongkok-terhadap-neraca-perekonomian-indonesia.html

Misenheimer, A.G. (2019). Thucydides’ Other “Traps”: The United States, China, and the Prospect of “Inevitable” War. National Defense University Press. https://ndupress.ndu.edu/Portals/68/Documents/casestudies/nwc_casestudy-3.pdf

Momigliano, A. (1990). The Classical Foundations of Modern Historiography. University of California Press.

National Geographic Society. (2019, Maret 15). The Peloponnesian War. National Geographic. Diakses dari: https://www.nationalgeographic.org/encyclopedia/peloponnesian-war/

Oldemeinen, M. (2010, Februari 15). The Political Realism of Thucydides and Thomas Hobbes. E-International Relations. https://www.e-ir.info/pdf/3207

Sagan, S. (2004). Realist Perspectives on Ethical Norms and Weapons of Mass Destruction. https://web.archive.org/web/20070611192227/http://iis-db.stanford.edu/pubs/20590/Ethical_Norms_and_WMD.pdf

Silitonga, R. (2010, Juli 14). Belajar dari Reformasi China. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Diakses dari: http://lipi.go.id/berita/belajar-dari-reformasi-china/5653

Waltz, K. (1979). Theory of International Politics. Addison-Wesley Publishing Company.

Widowati, H. (2019, April 29). Belt and Road Initiative, Menghidupkan Kembali Kejayaan Jalur Sutra. Katadata. Diakses dari: https://katadata.co.id/hariwidowati/berita/5e9a5194464ab/belt-and-road-initiative-menghidupkan-kembali-kejayaan-jalur-sutra

--

--