Indonesia Krisis Penyerang Lokal?

Muhammad Thirafi
HMS ITB
Published in
7 min readAug 14, 2018

Di sela-sela semarak Asian Games 2018 sekaligus bertepatan dengan liburnya Liga 1, PT Liga Indonesia Baru selaku operator liga memunculkan wacana yang cukup mengejutkan. Wacana tersebut berupa aturan berupa larangan klub Liga 1 menggunakan penyerang asing pada musim depan. Hal ini tentu saja mengagetkan karena semua klub Liga 1 saat ini justru menggunakan jasa penyerang asing untuk memperkuat klubnya. Sebut saja Ezechiel N’Douassel (Persib Bandung), Marco Simic (Persija Jakarta), Fernando Rodriguez (Mitra Kukar), dan David da Silva (Persebaya) yang menjadi andalan sekaligus mesin gol klub yang dibelanya. Bahkan, PS TNI (saat ini PS TIRA) yang pada 2 tahun lalu mengikuti ISC menerapkan kebijakan seluruh pemainnya merupakan pemain lokal, pada Liga 1 ini justru menggunakan jasa penyerang asing, Aleksandar Rakic asal Serbia. Bahkan jika dilihat daftar pencetak gol terbanyak, dari 10 pemain pencetak gol terbanyak, hanya 2 yang terhitung lokal yaitu Samsul Arif Munip (Barito Putera) dan Stefano Lilipaly (Bali United).

Ezechiel N’Douassel, mesin gol Persib di Liga 1 2018 (sumber: Radar Sukabumi)

Alasan wacana pelarangan klub Liga 1 menggunakan penyerang asing pada musim depan sebenarnya cukup beralasan, yaitu sulitnya timnas Indonesia memiliki penyerang lokal yang berkualitas dan dapat diandalkan pada turnamen yang diikuti timnas Indonesia. Contoh terbaru adalah ketika timnas U-23 dalam 1 tahun terakhir dibawah asuhan Luis Milla seringkali mengalami paceklik gol karena kesulitan dalam mencari penyerang berkualitas.

Wacana-wacana seperti ini, dimana dimaksudkan untuk membentuk timnas yang kuat sebenarnya tidak hanya kali ini saja. Tahun 2017 lalu untuk menghadapi SEA Games, PT LIB mengeluarkan aturan berupa mewajibkan klub Liga 1 2017 memainkan 3 pemain U-23 sebagai starter dan wajib dimainkan minimal 45 menit. Aturan seperti itu dimaksudkan agar pemain dengan usia dibawah 23 tahun dapat muncul dan mampu menjadi opsi sebagai tulang punggung timnas U-23 dalam menghadapi SEA Games. Aturan yang terasa prematur dan tidak terlalu matang, karena rata-rata mayoritas skuad timnas U-23 saat itu sudah menjadi pemain inti di klubnya masing-masing, dan akhirnya aturan tersebut dihapus pada paruh kedua Liga 1 2017.

Kembali pada persoalan penyerang asing, dari beberapa tahun lalu, untuk memecahkan masalah ini, PSSI seringkali mencari pemain untuk dilakukan naturalisasi. Persoalan naturalisasi ini dimulai saat Christian Gonzales yang memang sudah lama berkecimpung di persepakbolaan nasional dinaturalisasi untuk memperkuat timnas Indonesia yang pada saat itu mempersiapkan untuk Piala AFF tahun 2010. Melihat hasil yang cukup memuaskan, justru yang terjadi adalah PSSI terlalu banyak menaturalisasi pemain terutama yang berasal dari Belanda, akan tetapi banyak juga yang gagal dan akhirnya tidak terpakai, ambil contoh Tonnie Cussel dan Jhon van Beukering yang awalnya diproyeksikan untuk masuk skuad timnas pada Piala AFF 2012 akhirnya tidak memberikan pengaruh yang berarti.

Sebenarnya, mengapa dapat terjadi krisis penyerang lokal yang berkualitas?

Hal ini menarik karena dari dulu timnas Indonesia tidak pernah mengalami krisis penyerang lokal yang berkualitas. Ambil contoh beberapa puluh tahun yang lalu ada Ramang asal Makassar, Soetjipto Soentoro yang menjadi legenda Persija Jakarta, Risdianto, Ricky Yakobi, Anjas Asmara dan Adjat Sudrajat.

Bahkan menjadi ironi karena ada suatu masa dimana timnas Indonesia justru kebanjiran penyerang lokal yang berkualitas, yaitu pada era 1990-an akhir hingga 2000-an awal. Dari yang memang sejak usia muda memang sangat potensial bahkan hingga direkrut tim Sampdoria, Kurniawan DY, lalu ada lagi Widodo C. Putro yang mencetak gol indah pada Piala Asia 1996, Bambang Pamungkas, Ilham Jayakesuma, Gendut Doni, Indriyanto Nugroho, Rochy Putiray, Budi Sudarsono, Zaenal Arif, dan masih banyak lagi. Sehingga pada saat itu, persaingan cukup berat terjadi pada posisi penyerang.

Mengapa ini bisa terjadi? Menurut analisis saya, ada 2 hal yang menyebabkan Indonesia mengalami krisis penyerang lokal berkualitas. Dua hal tersebut adalah; Transformasi formasi yang digunakan di persepakbolaan Indonesia dan pengembangan pemain usia muda yang tidak berkelanjutan.

2 hal yang menyebabkan Indonesia mengalami krisis penyerang lokal berkualitas. Dua hal tersebut adalah; Transformasi formasi yang digunakan di persepakbolaan Indonesia dan pengembangan pemain usia muda yang tidak berkelanjutan.

Mungkin ada yang bertanya-tanya mengapa transformasi atau perubahan formasi yang digunakan dapat berpengaruh dalam krisis penyerang lokal berkualitas. Perubahan formasi mulai dilakukan semenjak Arema Indonesia berhasil menjadi juara ISL tahun 2009 dibawah asuhan Robert Rene Albert. Saat itu Robert Rene Albert berhasil membawa Arema Indonesia juara melalui formasi 4–2–3–1 yang saat itu di Indonesia belum begitu banyak dipakai. Formasi menggunakan 1 penyerang pada saat itu cenderung asing dalam sepakbola Indonesia.

Sebelum era 4–2–3–1 yang bertransformasi menjadi 4–3–3 dimulai, sepakbola Indonesia sangat kental dengan formasi 3–5–2. Melalui formasi 3–5–2, tim-tim Indonesia mengandalkan wing-back cepat yang memiliki stamina luar biasa untuk melakukan penyerangan dan melakukan umpan silang kepada penyerang dari sisi lapangan. Kemudian menjadi pertanyaan, apa hubungannya formasi 3–5–2 yang menjamur pada saat itu dengan penyerang lokal ?. Kita tentu tahu bahwa pada saat itu, klub-klub di Indonesia masih sangat memiliki ketergantungan dana dari APBN yang pada saat itu diperbolehkan. Tentunya dana ini terbatas dan harus memutar otak jika ingin menggunakan jasa penyerang asing tapi tetap memiliki skuad yang mumpuni agar menjadi juara. Maka solusinya adalah biasanya klub memakai 2 penyerang pada formasi 3–5–2 berupa kombinasi penyerang lokal dan penyerang asing, walaupun tak jarang pula pos penyerangan diisi sepenuhnya oleh penyerang lokal. Sangat jarang sekali pos penyerangan diisi oleh penyerang asing sepenuhnya.

Contoh kombinasi penyerang lokal dan penyerang asing yang sukses adalah Ebi Sukore — Musikan yang berhasil membawa Persik Kediri juara liga pertama kalinya pada tahun 2003, Carrasco — Kurniawan yang menjadi duet maut Persebaya Surabaya kala menjadi juara pada tahun 2004, Christian Lenglolo — Boaz bersama Persipura di tahun 2005, Bekamenga — Zaenal Arif di Persib dan Christian Gonzales — Budi Sudarsono di Persik. Contoh duet lokal yang sukses adalah Ilham Jayakesuma — Zaenal Arif di Persita, Widodo Cahyono Putro — Jaenal Ichwan di Petrokimia Putra, Budi Sudarsono — Bambang Pamungkas di Persija, dan Miro Baldo Bento — Kurniawan di PSM. Contoh duet penyerang asing yang sukses terhitung jarang seperti Oscar Aravena — Christian Gonzales di PSM Makassar, Emmanel de Porras — Julio Lopez di PSIS, Keith Kayamba Gumbs — Christian Lenglolo di Sriwijaya FC, dan Beto — Ernest Jeremiah di Persipura. Dapat dilihat bahwa pada saat itu, penyerang lokal sangat diandalkan dan mendapatkan menit bermain yang banyak, sehingga penyerang lokal terbiasa dengan atmosfer bermain di kasta tertinggi sepakbola Indonesia dan juga kemampuan serta permainan penyerang lokal bertambah. Hal ini berbanding terbalik dengan yang terjadi saat ini, dimana klub lebih mengandalkan penyerang asing, dan penyerang lokal cenderung menjadi backup atau pelapis.

Boaz Solossa — Ilham Jayakusuma, andalan timnas Indonesia pada Piala Tiger 2004 (sumber: Football Tribe Indonesia)
Beto — Ernest Jeremiah, duet ganas di Persipura tahun 2008, sehingga memaksa Boaz Solossa untuk bermain di sayap kiri (sumber: Tabloid Jubi)

Kedua adalah pengembangan pemain usia muda yang tidak berkelanjutan. Seringkali pada kelompok usia, seperti U-16, U-19, U-23, terdapat banyak penyerang muda potensial yang diharapkan menjadi tulang punggung timnas Indonesia di masa yang akan datang. Akan tetapi seringkali, penyerang yang bersinar pada kelompok usia muda, ketika masuk usia matang yang terjadi malah tidak berkembang dan potensi yang dulu ada tidak keluar. Banyak pemain muda potensial cenderung layu sebelum berkembang.

Ambil contoh Syamsir Alam yang digadang-gadang harusnya pada era ini, dia seharusnya menjadi penyerang andalan di tim nasional. Berbekal kehebatannya saat memimpin timnas U-19 kala itu yang mengikuti pelatihan di Uruguay, Syamsir Alam menjadi mesin gol, bahkan sempat dikontrak tim asal Uruguay, Penarol. Contoh lain adalah Muchlis Hadi Ning dan Maldini Pali yang penampilannya memikat memperkuat timnas U-19 dibawah asuhan Indra Syafri, namun saat ini di klubnya masing-masing malah tidak mendapat tempat utama.

Syamsir Alam, sempat dikontrak Penarol, klub asal Uruguay. Sempat digadang-gadang penyerang masa depan, justru kini berada di My Trip My Adventure (sumber: Wikipedia)

Apa yang menyebabkan banyak penyerang potensial di kelompok usia malah layu sebelum berkembang?. Kemungkinan besar adalah sifat dari Indonesia yang selalu menginginkan hasil instan. Bagaimana pemain yang potensial di kelompok usia langsung secara cepat “naik kelas” ke kelas senior. Hal inilah yang justru membuat pemain tidak berkembang, naik kelas yang terlalu cepat malah menjadikan pemain secara psikologis tidak siap untuk bermain di level senior.

Banyak pemain muda potensial cenderung layu sebelum berkembang

Lalu, bagaimanakah solusi dari permasalahan ini?

Apakah wacana pelarangan penyerang asing mampu menjadi solusi?. Wacana pelarangan penyerang asing memang terdengar menjadi solusi instan, tapi kemungkinan besar tidak berkelanjutan. Mengapa? Saat ini klub-klub sudah kadung mengandalkan penyerang asing sebagai mesin gol, tentu saja terjadi kesulitan tidak hanya bagi klub tapi juga bagi penyerang lokal yang sebelumnya jarang mendapat kesempatan lalu tiba-tiba sering mendapat kesempatan, sehingga pemain cenderung tidak siap karena proses yang cukup cepat.

Solusi paling mungkin adalah sistem naik kelas yang bertahap pada pengembangan usia muda. Solusi ini mungkin memakan waktu paling lama akan tetapi mampu menghasilkan solusi yang berkelanjutan. Pemain muda potensial tidak langsung diambil untuk bermain ke level senior, melainkan secara bertahap naik kelas, dan dengan catatan, setelah naik kelas pelan-pelan, tidak boleh lagi turun kelas. Hal ini dilakukan oleh federasi sepakbola di Belgia sehingga hasilnya bisa dilihat bahwa mereka saat ini memiliki generasi emas.

Solusi ini mungkin memakan waktu paling lama akan tetapi mampu menghasilkan solusi yang berkelanjutan

Dengan solusi demikian, maka menjadi maklum kalau Egy Maulana Vikri yang memang potensial bahkan sampai direkrut Lechia Gdansk, harus bermain dulu di tim B sebelum main di skuad utama dan ketika Egy dipanggil timnas U-23 lebih sering menjadi cadangan. Saat ini timnas U-16 memiliki penyerang yang potensial seperti Bagus Kahfi, Supriyadi, Sutan Zico dan Rendy Juliansyah. Jika ingin mereka ini matang dan menjadi andalan di masa depan, ada baiknya menghargai proses yang dijalani. Sabar menghargai dan menjalankan proses akan menghasilkan sesuatu yang baik.

--

--