Integrasi transportasi umum: Menuju Jakarta bebas hambatan

Menabuh genderang perang pada bising gema klakson ibu kota

Faras Abyan Al Hasani
HMS ITB
8 min readJun 25, 2020

--

Suasana salah satu jalan protokol Jakarta petang hari | Foto: Faras Abyan

Sebuah kenyataan yang kian luput dari perhatian publik dan pemerintah selama ini ialah fakta bahwa keberpihakan sebagian besar masyarakat Jakarta kepada kendaraan pribadi dalam bermobilisasi disebabkan oleh ketiadaan opsi bermobilisasi alternatif yang dapat memenuhi kebutuhan para pelaju di Jakarta.

Ketika kata “Jakarta” disebutkan, apa yang umumnya terlintas di dalam benak kita?

Layaknya sepak terjang kehidupan di dalamnya, jawaban yang muncul pun akan sangat beragam, berbeda untuk tiap-tiap orang.

Namun, bila ada satu jawaban yang dapat dijadikan konsensus dari keberagaman masyarakat yang hidup di Jakarta, ia adalah kemacetan.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa ibu kota negara telah dan masih menghadapi masalah kemacetan yang kian berlarut-larut. Anekdot “menua di jalan” seakan-akan menjadi identitas tersendiri bagi mereka yang sehari-harinya bermobilisasi di bawah naungan langit Jakarta.

Dan berada di akar dari kian gaduhnya hingar-bingar perihal satu problematika ibu kota yang tak kunjung menemui titik terang ini adalah kendaraan pribadi. Kepemilikan serta tendensi masyarakat Jakarta untuk menggunakan kendaraan pribadi — mobil dan sepeda motor—dalam bermobilisasi melahirkan serta melanggengkan budaya kemacetan itu sendiri.

Dimuat dalam laman Databoks, data Statistik Transportasi DKI Jakarta 2018 menyebutkan bahwa tercatat pertumbuhan kepemilikan mobil penumpang tertinggi pada periode 2012 hingga 2016 sebesar 6,48% per tahun. Jika diasumsikan angka pertumbuhan tersebut masih sama, maka pada tahun 2018 terdapat hampir empat juta mobil penumpang yang berlalu-lalang di jalanan Jakarta. Adapun untuk sepeda motor, ia diproyeksikan menyentuh angka 14,74 juta unit di tahun 2018.

Pemerintah bukan tidak sadar akan masalah ini. Beragam pendekatan telah coba diimplementasikan dalam upaya memberantas kemacetan. Sebut saja beberapa yang cukup menarik perhatian pada masanya: program three-in-one dan ganjil-genap, di samping aneka rekayasa lalu lintas lainnya.

Tetapi, tentu bukan masyarakat negara +62 yang tersohor itu apabila tidak dapat menemukan celah paling kecil sekalipun dari segudang peraturan-peraturan dengan beragam cara cerdik nan piawai. Bahkan, tak sedikit yang melihatnya sebagai peluang bisnis dengan pasar yang nyata adanya.

Peraturan three-in-one: sederhananya, apabila kendaraan — dalam kasus ini mobil penumpang — memiliki kurang dari tiga penumpang di dalamnya, maka ia tidak diperbolehkan untuk melintas di rute jalan yang sedang diberlakukan peraturan tersebut.

Sungguh niatnya amatlah mulia: meningkatkan efisiensi dari moda mobil penumpang yang, selain menekan jumlah kendaraan yang berplesir di jalan, juga menekan angka polusi dari potensi emisi kendaraan-kendaraan yang berhasil diefisiensikan.

Tetapi sayang sekali, masyarakat dengan lihainya berhasil menemukan kelemahan dari rancangan pemerintah tersebut. Dan tidak berhenti disitu, bahkan mereka berhasil menjadikannya sebagai bisnis yang lukratif.

Hadirlah “Calo Three-in-One”.

Sebuah upaya dari warga kreatif ibu kota guna menjawab permasalahan yang timbul berkat peraturan three-in-one. Market target-nya pun jelas: para pemilik mobil penumpang pribadi yang notabene dari kelas menengah-ke atas.

Permasalahan yang nyata, pasar yang jelas, serta insentif yang menjanjikan, menjadikan usaha bisnis yang satu ini kian menggiurkan bagi banyak orang. Lantas orang berbondong-bondong berbaris di trotoar jalan, mengacungkan jari guna menggaet calon pelanggan yang mungkin hari itu sedang sial mobilnya kurang penumpang.

Lagi-lagi, pupus sudah satu program pemerintah.

Kemudian ada program ganjil-genap. Penjabaran tidak runyamnya: pada tanggal genap, hanya kendaraan berplat genap yang dipersilakan melintas, begitu pula sebaliknya. Dengan demikian, jalan tidak akan sepadat biasanya, kecepatan kendaraan rata-rata akan meningkat yang artinya semakin kecil waktu tempuh yang dibutuhkan untuk bepergian. Intinya, ia berdampak baik.

Dan mereka yang pada hari itu kurang beruntung, terpaksa menebeng atau menggunakan transportasi umum. Kembali lagi, efisiensi.

Namun memang terkadang kenyataan tak semanis apa yang kita dengar.

Apabila kita telaah lebih dalam mengenai program ini, sejatinya yang menjadi titik fokus di sini bukanlah kendaraan itu sendiri, tetapi angka yang terdapat di plat kendaraan.

Lantas bisnis pemalsuan plat kendaraan menjadi kian menggeliat di sudut-sudut Jakarta. Para pemilik mobil penumpang menyimpan plat ‘cadangan’-nya di kendaraan masing-masing. Dan setiap pagi sebelum pergi menjalankan aktivitas sehari-hari, bak mimikri hewan bunglon, plat nomor kendaraan-kendaraan mereka berganti-ganti, menyesuaikan dengan tanggal hari itu.

Parahnya lagi, ada yang merasa kegiatan menggonta-ganti plat kendaraan setiap pagi terlalu melelahkan dan membuang-buang waktu, sehingga mereka memutuskan untuk mengambil jalan pintas. Dari laman media massa Tirto, disebutkan terdapat kenaikan penjualan mobil bekas hingga 200 unit per bulannya dari salah satu penyalur mobil bekas di ibu kota semenjak diberlakukannya peraturan ganjil-genap.

Tentu hal ini kontra intuitif dari apa yang dicita-citakan oleh pemerintah.

Sebuah upaya rekayasa lalu lintas yang diniatkan untuk mengalihkan kecenderungan masyarakat menggunakan kendaraan pribadi malah justru memicu tren untuk membeli kendaraan-kendaraan pribadi baru.

Karenanya program ganjil-genap, meskipun masih diimplementasikan hingga hari ini, dinilai tidak efektif.

“Lantas bagaimana?” mungkin adalah pertanyaan yang sekarang mengendap di dalam kepala.

Sebuah kenyataan yang kian luput dari perhatian publik dan pemerintah selama ini ialah fakta bahwa keberpihakan sebagian besar masyarakat Jakarta kepada kendaraan pribadi dalam bermobilisasi disebabkan oleh ketiadaan opsi bermobilisasi alternatif yang dapat memenuhi kebutuhan para pelaju di Jakarta.

Terdapat beragam jenis moda transportasi umum yang disediakan pemerintah di Jakarta sebagai jawaban atas permintaan akan pilihan bermobilisasi yang lebih beragam. Mulai dari layanan angkutan umum, BRT, KRL, LRT, hingga yang paling baru MRT, semua turut berkontribusi dalam menekan angka kendaraan pribadi yang berlalu-lalang di jalanan ibu kota.

Layanan Light Rapid Transit (LRT) Jakarta | Foto: Punto Likmiardi/Beritajakarta.id

Kendati demikian, masih terdapat kekurangan-kekurangan dari setiap moda transportasi umum tersebut yang menyebabkan disrupsinya terhadap pangsa kendaraan pribadi tidak semasif yang dicanangkan.

Salah satu kekurangan sekaligus kelemahan utama dari fasilitas transportasi umum yang ada adalah keterbatasan aksesibilitas. Contoh kasus dalam skala mikro, masih banyak stasiun serta terminal yang, mengutip seorang pengguna:

Jauh dari mana-mana”.

Setelah turun di suatu stasiun, akibat aksesibilitas yang kurang menjangkau, seorang pengguna transportasi umum masih harus berjalan kaki atau bahkan menumpang moda transportasi lain hingga akhirnya tiba di lokasi tujuannya.

Terdapat usaha ekstra yang perlu dikeluarkan ketika secara sadar memilih menggunakan transportasi umum, yang secara umum tidak ada ketika menggunakan kendaraan pribadi.

Inilah permasalahan yang tengah coba diselesaikan dengan integrasi transportasi umum.

Menurut Mrníková dkk. (2017), dari Scientific Journal on Transport and Logistics, integrasi transportasi ialah suatu proses organisasional, di mana elemen dari suatu sistem transportasi umum; jaringan, infrastruktur, skema tarif & karcis, informasi & pemasaran, dan lain sebagainya, yang mana dioperasikan secara terpisah untuk jenis moda yang berbeda, berinteraksi secara dekat dan efisien.

Berkat interaksi ini, timbul efek samping berupa peningkatan kualitas layanan serta kondisi perjalanan dari beragam moda transportasi umum yang terintegrasi secara kolektif.

Integrasi transportasi umum melahirkan suatu ekosistem mobilisasi publik yang saling terhubung dalam satu jaringan besar, secara aktif mengisi kekurangan sekaligus menghilangkan sekat antara satu jenis moda dan moda yang lain; suatu solusi definitif dari permasalahan-permasalahan transportasi umum yang membuatnya berjarak dari masyarakat.

Adapun dalam implementasinya, menurut Phil Charles, seorang penulis dan penggiat perencanaan transportasi, guna mencapai sistem transportasi umum yang terintegrasi secara efektif dan efisien, terdapat tiga persyaratan yang harus dipenuhi.

  • Integrasi Perencanaan

Integrasi sudah sewajarnya dimulai dari tahap paling awal: perencanaan. Ini berarti memastikan bahwa seluruh kebijakan, jaringan, serta layanan transportasi terkoordinasi dalam satu sistem yang berkelindan. Dengan demikian, potensi terjadinya bentrok kelak pada fase operasional masing-masing moda dapat diminimalisir.

  • Integrasi Infrastruktur

Beragam jenis moda transportasi umum harus terhubung demi memberikan pengalaman perjalanan terbaik bagi penumpang. Titik pertemuan seperti stasiun dan terminal wajib memastikan interkoneksi yang mulus dengan elemen penunjang aktivitas masyarakat: jalur pejalan kaki, jalur pesepeda, taman kota, hingga daerah pertokoan dan distrik bisnis.

  • Integrasi Operasional

Operasional transportasi umum harus memiliki sistem koordinasi multimoda yang apik: dari sepeda ke bus, bus ke bus, bus ke kereta, dan lain sebagainya. Operasional beragam jenis moda transportasi umum yang ada harus saling melengkapi, alih-alih berkompetisi, antara satu dengan yang lain. Selain itu, diperlukan skema karcis yang tergabung dalam satu kanal pembayaran seperti Oyster Card di London guna memastikan perpindahan antar moda yang lancar tanpa biaya tambahan yang memberatkan. Keberadaan layanan informasi yang aksesibel dengan bantuan internet sangat krusial dalam proses pengambilan keputusan perjalanan seorang pelaju.

Kabar baiknya, pemerintah di ibu kota telah mulai memberikan fokusnya kepada upaya-upaya pengintegrasian transportasi umum. Belum lama ini, Kementrian BUMN bersama Pemprov DKI Jakarta, berkolaborasi dengan Forum Diskusi Transportasi Jakarta (FDTJ) bekerja sama dalam program integrasi antarmoda bertajuk Penataan Stasiun Terpadu pada empat stasiun di Jakarta, yaitu Stasiun Tanah Abang, Stasiun Juanda, Stasiun Sudirman, dan Stasiun Pasar Senen.

Signage dan Wayfinding dari FDTJ | Foto: Transport For Jakarta @TfJakarta

Penataan ulang dilakukan dengan memanfaatkan lahan di sekitar area stasiun serta mengatur ulang alur dari penumpang, baik yang menuju maupun yang keluar dari stasiun.

Mengutip rilis pers dari Forum Diskusi Transportsi Jakarta (FDTJ), penataan terpadu untuk integrasi antar moda di keempat stasiun meliputi:

  1. Penataan ulang aula keluar-masuk penumpang sehingga lebih mudah diarahkan ke area pejalan kaki untuk mendapatkan moda transportasi lanjutan.
  2. Dibuat plaza untuk pejalan kaki, halte bus Transjakarta sebagai fasilitas integrasi, dan perlengkapan transit lainnya.
  3. Pembuatan area khusus untuk pengantaran dan penjemputan penumpang ojek daring sehingga tidak menyebabkan kemacetan di jalan raya.
  4. Penyediaan informasi dengan signage dan wayfinding untuk memudahkan alur penumpang di sekitar stasiun.
Signage dan Wayfinding dari FDTJ | Foto: Transport For Jakarta @TfJakarta

Epilog

Menerjemahkan satu kutipan terkenal itu,

“Lebih baik menyalakan sebatang lilin daripada mengutuk kegelapan.”

Integrasi transportasi umum merupakan satu dari banyak lilin-lilin yang diharapkan dapat menerangi lorong gelap sepak terjang bermobilisasi di Kota Jakarta. Sebuah lentera harapan dalam cita-cita merebut kembali jalanan ibu kota yang sudah terlampau lama dikuasai dan — di saat yang bersamaan — dicederai oleh kendaraan pribadi dengan kemacetan yang tak berkesudahan.

Agaknya usaha-usaha kolaboratif antara pemerintah dan komunitas seperti di atas terus didukung dan disambut dengan tangan terbuka. Karena di penghujung hari, yang paling diuntungkan dalam hal ini adalah kita, masyarakat.

Integrasi transportasi umum diharapkan dapat merubah stigma-stigma buruk yang selama ini terlanjur melekat pada layanan mobilisasi publik Jakarta. Adalah suatu impian besar agar masyarakat kelak dapat sedikit demi sedikit melepas ketergantungannya kepada kendaraan pribadi dalam melakukan pemenuhan kebutuhan, yang secara langsung berdampak dalam pengurangan tingkat kongesti yang terjadi di jalan.

Akhir kata, sudah sepatutnya warga Jakarta berbahagia. Sebab dengan integrasi transportasi umum, masyarakat diberikan satu kemewahan teramat berharga, yang tak pernah mereka miliki sebelumnya:

kemewahan untuk memilih.

Referensi:

[1] Charles, Phil. 2019. What does transport integration really mean?.
Diakses melalui https://medium.com/@philch/what-does-transport-integration-really-mean-bd83a15a50b8 pada Rabu, 24 Juni 2020.

[2] Databoks. 2019. Berapa Jumlah Kendaraan di DKI Jakarta?.
Diakses melalui https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/08/02/berapa-jumlah-kendaraan-di-dki-jakarta pada Kamis, 18 Juni 2020.

[3] Mrníková, Michaela & Poliak, Miloš & Šimurková, Patrícia & Hernandez, Salvador & Reuter, Norbert. (2017). How Important is the Integration of Public Passenger Transport. LOGI. 8. 10.1515/logi-2017–0017.

[4] Rifad. 2009. Calo Three-in-One. Diakses melalui https://nazieb.com/2009/07/17/calo-3-in-1/ pada Minggu, 21 Juni 2020.

[5] Siaran Pers FDTJ. 2020. Diakses melalui https://drive.google.com/file/d/1alQc1h2G4U26dtp2D92UHcuYvTQFxb02/view pada Rabu, 24 Juni 2020.

[6] Tirto, Redaksi. 2018. Ganjil Genap Memicu Kenaikan Penjualan Mobil?.
Diakses melalui https://tirto.id/ganjil-genap-memicu-kenaikan-penjualan-mobil-c6yi pada Minggu, 21 Juni 2020.

--

--