Manajemen Risiko Bencana: Paradigma Baru Perencanaan Berbasis Kebencanaan

Reza Prama Arviandi
HMS ITB
Published in
7 min readJan 22, 2019

Berdasarkan data BNPB pada tahun 2017, bencana di Indonesia terjadi setidaknya 2.000 kali dalam setahun. Pada awal tahun 2018 saja, tercatat oleh BNPB setidaknya 513 bencana telah menelan korban di seluruh penjuru negeri. Dari sekian banyak kejadian bencana yang terjadi, bencana alam memberikan sumbangan kerugian dan kerusakan yang tak ternilai lagi harganya, kerugian tersebut tak hanya terdiri atas kerugian materi tetapi juga non-materi. Hidup di Negara dengan kondisi geografis yang rentan akan terjadinya bencana, sudah seharusnya pembangunan dan perkembangan ekonomi, infrastruktur, serta sumber daya manusia adaptif terhadap potensi bencana dan risiko yang dibawanya. Meskipun telah dinyatakan pada UU no. 26 tahun 2007 bahwa penataan ruang di Indonesia berbasiskan mitigasi bencana dan dilakukan secara komprehensif, holistik serta terkoordinasi namun pada kenyataanya masih ditemukan beberapa kasus kesalahan penataan ruang yang mengakibatkan risiko bencana semakin tinggi. Contoh kasus yang pernah beberapa kali terjadi adalah banjir Jakarta hingga bencana alam yang lebih besar lagi seperti peristiwa bencana tsunami dahsyat yang pernah menimpa Provinsi Banda Aceh.

Latar Belakang

Bencana adalah suatu realitas dalam kehidupan umat manusia terutama bangsa Indonesia yang harus diterima, dihadapi dan ditangani kapanpun saatnya tiba. Suka ataupun tidak, bencana adalah fakta yang apabila telah terjadi akan menimbulkan dampak yang merugikan. Dampak yang ditimbulkan oleh bencana ini adalah akibat dari tingginya risiko yang dibawa oleh bencana tersebut. Semakin tinggi risiko semakin tinggi pula dampak yang akan dibawa. Dalam keilmuan perencanaan wilayah dan kota risiko yang tinggi disebabkan oleh tingginya hazard yang dibawa oleh bencana dan vulnerability yang dimiliki oleh lokasi terjadinya bencana namun risiko bukan tidak mungkin untuk diturunkan dengan cara meningkatkan kapasitas. Kapasitas dapat berarti preparedness, prevention, mitigation, early warning system, serta recovery yang baik dan semua hal itu telah tercakup dalam sebuah sistem bernama manajemen risiko bencana.

Paradigma penanganan bencana mulanya beranggapan untuk menjadi seresponsif mungkin tepat setelah bencana terjadi lalu manajemen risiko bencana membawa perubahan positif pada sistem yang dianggap belum memberikan solusi pada long-term dan post-effect yang ditimbulkan oleh bencana dan belum menerangkan persiapan yang perlu dilakukan untuk menyambut kembali siklus bencana yang akan terus terjadi. Pada paradigma baru, manajemen risiko bencana mengintegrasikan tahapan-tahapan penanganan bencana dan memandang planning sebagai suatu proses terus menerus yang diwujudkan dalam contingency plan. Contoh contingency plan yang pernah dibuat adalah pasca tsunami aceh, gempa jogja, dan gempa padang. Dengan contingency plan penanganan bencana dapat diwujudkan seiring dengan dilakukannya penataan ruang dan dalam pengimplementasiannya untuk pembangunan dapat menjadi acuan priortitas pembangunan demi mengurangi risiko bencana. Namun, haruskah rencana baru dibuat setelah bencana terjadi?

Knowing Your Risk: Adaptif dan Responsif dalam Melakukan Evakuasi Bencana

Pengetahuan dan Pemahaman tentang bencana di Indonesia umumnya dapat dikatakan masih awam, mulai dari people on the street hingga para pengambil kebijakan. Bencana sendiri memilik definisi peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Sedangkan Risiko Bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat. Bencana yang dipahami oleh mayoritas masyarakat Indonesia hanya dalam wujud tangible nya saja. Padahal, hazard yang dibawa oleh bencana ada banyak wujudnya.

Satu daerah dengan daerah lainnya memiliki risiko bencana yang berbeda, maka dalam merencanakan tata ruang yang harus dipahami oleh seorang planner adalah knowing their own risk. Apa risiko yang dimiliki oleh daerah yang direncanakannya? Dengan menyisipkan aspek kebencanaan dalam tata ruang tak hanya menghasilkan daerah yang secara fisik adaptif terhadap gempa namun juga responsif dalam artian mempermudah early warning system dan evakuasi saat bencana terjadi. Disaster Planning adalah proses terus menerus seperti yang tergambarkan dalam kuadran manajemen risiko bencana, sebagai berikut:

Kuadran Manajemen Risiko Bencana. Sumber: Harkunti P. Rahayu, 2018.

Seperti yang dapat terlihat pada kuadran, tahapan evakuasi yang membutuhkan reponsivitas tinggi berada pada kuadran 1. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, untuk mengurangi risiko pada kuadran 1 dapat dicapai dengan knowing your own risk. Early Response yang baik membantu mengurangi atau bahkan meniadakan jumlah korban jiwa.

Kesiapsiagaan Bukan Hanya Sumber Daya Manusia Namun juga Infrastrukturnya

Apabila berbicara tentang bangunan yang tahan gempa, bayangan yang ada di benak kita adalah bangunan mahal yang tidak semua masyarakat dapat membangunnya. Meskipun demikian, berdasarkan analis UNDP 20 tahun kedepan Indonesia akan terus menerima ancaman yang mengakibatkan bencana, maka dari itu rumah sebagai tempat tinggal masyarakat haruslah memberikan keamanan dengan kata lain tahan akan bencana terutama gempa. Untuk mengimbangi hal tersebut PUPR pernah mengeluarkan solusi berupa rekomendasi rumah tahan gempa yakni Rumah Instan Sederhana Sehat (RISHA) yang dapat diperoleh hanya dengan budget 50 juta rupiah, selain itu pernah dibangun pula contoh-contoh rumah tahan gempa yang dapat ditiru seperti yang dibangun pasca gempa Yogyakarta 10 tahun silam, dan sebagai pedomannya Ditjen Cipta Karya telah menerbitkan pedoman Teknis Bangunan Tahan Gempa. Apabila dalam suatu wilayah sangat minim rumah masyarakat dengan struktur bangunan yang tahan gempa, setidaknya pemerintah setempat dapat mengalokasikan pembiayaan pembangunan tahan gempa ke bangunan milik bersama seperti sekolah, balai kota, perkantoran karena tempat-tempat tersebut adalah pusat orang melakukan kegiatan dan dapat menampung banyak orang apabila diperlukan sebagai tempat evakuasi.

Risha, Kementrian PUPR, 2018.

Bangunan yang tahan gempa apabila tidak diiringi dengan penataan yang tepat akan menimbulkan ancaman baru atau collateral hazard. Dalam peletakannya, bangunan harus disesuaikan dengan fungsi dan aktivitas di dalamnya. Daerah yang memiliki track record ancaman yang tinggi tidak seharusnya dibangun bangunan dengan fungsi seperti pusat komersial (yang menimbulkan tarikan pergerakan yang tinggi) maka dari itu harus adanya peraturan zonasi dan penegakannya diawasi dengan baik sehingga tidak ada lagi korban yang berjatuhan akibat tidak tepatnya penataan ruang. Tak hanya bangunannya, jaringan jalan dan fasilitaspun harus ditempatkan dengan baik, seperti jalan-jalan utama tidak seharusnya menyebabkan kemacetan bottle-neck pada saat proses evakuasi terjadiserta fasilitas seperti signage dan speaker peringatan harus terintegrasi dengan baik dan inklusif (memfasilitasi kaum disabilitas juga). Apabila tata ruang dan kesiapan bangunan keduanya telah saling mendukung satu sama lain, seharusnya akan lebih banyak korban yang dapat terselamatkan.

Pluraisme dan Perencanaan Partisipatif: Tantangan Pendidikan Kebencanaan di Indonesia serta Solusinya

Jepang, Negara dimana peradaban manusia hidup harmonis dengan bencana. Dibandingkan dengan Negara lain, jepang dapat dikatakan sebagai Negara yang paling siap dalam menghadapi bencana alam terutama gempa dan tsunami. Berbagai upaya, baik stuktural maupun non-struktural telah dilakukan dalam mitigasi bencana. Dalam konteks pendidikan kebencanaan di Jepang, kita dapat melihat salah satu keberhasilannya saat Tsunami 11 Maret 2011 lalu, bagaimana pendidikan kebencanaan yang berkesinambungan disertai dengan upaya peningkatan kesiapsiagaan masyarakat setempat, mampu menyelamatkan banyak nyawa. Pada saat kejadian tsunami 2011 silam, Kamaishi, salah satu kota dimana jumlah korbannya mencapai 1000 dan hanya 5 siswa yang kebetulan tidak hadir ke sekolah saat itu dilaporkan tewas akibat tsunami dari total keseluruhan 2900 siswa sekolah yang ada di kota tersebut. Tidak ada satupun siswa yang hadir di sekolah pada saat itu yang tewas. Kejadian ini dikenal dengan “Kamaishi Miracle” lalu dikaitkan dengan pendidikan kebencanaan yang kuat sejak tahun 2005, selain itu pengetahuan lokal tentang “tendenko” yang telah tertanamkan mulai dari anak kecil hingga orang lanjut usia yang berarti “save your own soul” atau menyelamatkan diri sendiri ke tempat yang lebih tinggi tanpa mencari kerabat atau teman-teman. Pemahaman seperti inilah yang menjadi kunci kesuksesan Jepang dalam mengurangi sebanyak mungkin jumlah korban.

Berkaca dari Jepang dan belajar dari pengalaman yang pernah dialami. Apabila kejadian tsunami aceh dibandingkan dengan tsunami Jepang. Saat itu bahkan apabila tsunami tidak pernah terjadi di Aceh mungkin seluruh Indonesia khususnya kita sebagai people on the street selain akademisi belum ada yang pernah mendengar kata ‘tsunami’ sebelumnya. Masih jauh dari pendidikan kebencanaan, jenis bencana dan bahaya yang dibawanya masih belum dikenal dengan baik oleh masyarakat Indonesia. Berdasarkan publikasi BAPPENAS tahun 2013, pendidikan kebencanaan dinilai merupakan langkah jangka panjang paling efektif dikarenakan pada saat bencana terjadi apabila masyarakat telah mengetahui dengan baik apa yang harus dilakukan dan dimana jalur evakuasi, akan mengurangi kepanikan. Apabila muncul kepanikan yang tinggi akan menimbulkan kekacauan yang lebih besar pula, kekacauan ini bisa menhambat jalannya evakuasi bencana. Lain dengan masyarakat yang telah terdidik untuk menghadapi bencana, selain mengurangi jumlah korban jiwa korban selamat pun mendapatkan ketenangan psikologis sehingga bisa memikirkan langkah berikutnya setelah terjadi bencana. Lalu harus mulai darimana menerapkan pendidikan kebencanaan itu?

Di Jepang sendiri, pendidikan kebencanaan telah mulai dari unit terkecil dalam masyarakat yakni keluarga. Bahkan sisipan pendidikan kebencanaan terkandung dalam lagu ‘nina bobo’ pengantar tidur untuk anak-anak di Jepang. Bagaimana dengan Indonesia? Walaupun secara geografis kita hidup di daerah yang rawan akan bencana, namun kesadaran akan pentingnya pendidikan kebencanaan itu belum sepenuhnya tertanam dalam kebudayaan. Terlebih lagi kondisi sosial Indonesia yang sangat plural, sosialisasi tentang kebencanaan selain dihadapi tantangan jarak yang jauh, zona waktu yang berbeda, serta tempat yang sulit dijangkau juga dihadapi masalah lain yang paling mendasar yakni perbedaan budaya.

Budaya ‘Tendenko’ di Jepang. Sumber: spiritandspine.com, 2018.

Perbedaan budaya mungkin merupakan suatu tantangan tersendiri, namun apabila dilihat dari sudut pandang lain ini bisa menjadi sebuah solusi. Perencanaan dapat dikerjakan sedemikian rupa, namun apabila hanya satu pihak saja yang mengerjakan (pemerintah) dan masyarakat hanya disuapi saja tidak dapat menjamin sustainability dari perencanaan tersebut. Perencanaan yang baik adalah perencanaan yang secara voluntary dilakukan masyarakat namun tetap dipandu dan diawasi oleh pemerintah. Masih banyak daerah di Indonesia yang bersifat sangat tradisional, sosialiasi yang dibicarakan oleh pemerintah mungkin tidak akan didengar oleh mereka namun kita dapat mendekati tetua adat ataupun pemuka agama setempat sehingga sosialisasi dapat sampai dan langsung masyarakat setempat terapkan. Untuk lokasi sosialisasi pun tidak perlu sampai membangun infrastruktur baru dan menghabiskan biaya, dapat menggunakan masjid, gereja, vihara, ataupun rumah ibadah lainnya. Selain tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan, perencanaan partisipatif untuk kebencanaan akan lebih efektif ketersampainnya karena pengetahuan yang ada di masyarakat terbentuk melalui proses sosial dalam kata lain inklusif.

Rekomendasi

Perlu adanya perubahan paradigma dalam penanganan kebencanaan yang mulanya responsif atau secepat mungkin mengevakuasi dan memberi bantuan menjadi pengurangan risiko melalui Manajemen Risiko Bencana. Manajemen risiko bencana dibagi tiga berdasarkan jangka waktu pelaksanaan, short-term untuk tindakan responsif pada saat melakukan evakuasi, middle-term untuk build-back better melalui infrastruktur yang inklusif, dan terakhir long-term untuk pendidikan kebencanaan dengan pendekatan kultural partisipatif.

Ditulis oleh: HMP PL ITB

--

--

Reza Prama Arviandi
HMS ITB
Editor for

An amateur. Inclusive infrastructure. You can reach me at rezaprama.com