Membangun Interdepedensi Alam, Budaya, dan Ekonomi menuju Infrastruktur yang Ideal untuk Indonesia
Infrastruktur dalam beberapa hal menyinggung tentang hubungan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi dalam kelompok kolektif. Seringkali kita berpikir bahwa infrastruktur yang ideal haruslah yang megah, besar, dan boleh mengalahkan kebutuhan rumah ekologis sekitar.
Kebutuhan akan pembangunan yang begitu pesat ditunjang oleh perkembangan populasi yang semakin besar. Bisa kita lihat diatas, populasi manusia setelah perang dunia kedua meningkat secara eksponensial. Namun, penyediaan infrastruktur dasar belum bisa dipenuhi secepat pertumbuhan manusia.
Akibatnya manusia mengeksplorasi alam dengan sangat masif. Hal ini disebabkan sekali lagi karena tidak terpenuhinya demand terhadap supply yang ada. Data penggundulan hutan di seluruh dunia adalah sebesar 13 juta ha/tahun. Hutan di Indonesia pada tahun 1950 bersisa 85% dari total luas pada awal 1900. Angka tersebut hanya tinggal 45% pada tahun 2013.
Salah satu penyebab terbesar penggundulan hutan yaitu pertanian. Namun, ironisnya lahan pertanian juga menghilang setiap tahun. Jadi pertanyaannya bagaimana bisa ada paradoks, penggundulan hutan masif karena pertanian, namun lahan pertanian malah juga ikut berkurang?
Bencana alam yang terjadi karena ulah manusia hadir karena peradaban manusia. Pembangunan kota-kota yang menyingkirkan alam, salah satunya menjadikan banjir dengan frekuensi yang lebih masif lagi.
Tidak bertemannya infrastruktur dengan alam, mengakibatkan paradoks lain terjadi. Ketika musim hujan kita mendapati banjir, sedangkan ketika musim kemarau kita malah mendapat kekeringan. Padahal infrastruktur pendukung seperti normalisasi sungai, peningkatan kapasitas kolam penampung hujan, hingga membuat sodetan sudah dibangun.
Salah satu pemahaman yang penting mengenai infrastruktur dan bencana yaitu bahwa bencana tidak membunuh, namun infrastruktur yang terpicu akibat bencanalah yang membunuh. Sehingga kita harus menjaga infrastruktur yang ada di sekitar untuk tahan terhadap apapun bencana yang terjadi.
Salah satu yang hilang dari kita adalah interpedensi dengan alam, budaya, dan ekonomi ketika membangun infrastruktur. Keserakahan kita sebagai manusia untuk membangun, namun sebenarnya ikut menghancurkan wahana ekologis sekitar. Interpedensi harus dimaknai sebagai keterikatan satu sama lain yang harus sama-sama menguntungkan.
Mari melihat lebih dekat kampung adat sunda di sekitar kita, kampung naga. Pendekatan interpedensi dengan alam, budaya yang mengakar, serta sumber kesejahteraan mereka menjadikan infrastruktur yang dibangun di lingkungan kampung sangatlah merawat ekologis sekitar. Mereka membagi lahan menjadi 3 bagian utama yaitu hutan mini, bangunan, dan sumber pangan. Hutan mini berfungsi menyediakan kebutuhan rumah dan utilitas lain. Sumber pangan digunakan sebagai sarana menghidupi keluarga setiap hari.
Mengenai interdepensi ada cerita tentang kearifan lokal menyebut nasi dari beras di daerah Jawa. Nasi disebut Sangu untuk orang sunda dan Sego untuk orang jawa. Ungkapan homofon Sego dan Sangu inilah yang dipercaya bahwa yang dimaksud adalah sagu. Sagu di masa kini hanya kita kenal sebagai makanan yang dimakan oleh saudara kita di Timur Indonesia. Padahal sumber yang ada mengatakan bahwa sagu pertumbuhannya seperti pisang. Sekali kita menanam kita akan punya tunas-tunas yang bisa ditanam di tempat yang lain. Satu tubuh pohon sagu, yang kalau ditanam hanya butuh luas tanam 1 m3, dapat memenuhi kebutuhan satu keluarga untuk 3 bulan. Bayangkan berapa kebutuhan lahan yang diperlukan apabila kita menggunakan padi beras nasi. Keberadaan sagu yang hilang mulai digantikan beras nasi dibawa dari India 1500 tahun lalu.
Pergantian sagu ke nasi ternyata mengubah banyak hal. Dari kebutuhan akan lahan serta infrastruktur dasar penunjang yang semakin besar. Hilangnya budaya membudidayakan sagu. Hilangnya sumber alam sagu, khususnya di daerah Jawa. Hingga, kerugian ekonomi yang harus ditanggung karena pembukaan lahan yang semakin besar, bahkan memicu kejadian bencana.
Hal yang bisa dipetik dari sini adalah ketika kita menghilangkan ketergantungan kita terhadap alam, misal membabat kebutuhan infrastruktur secara berlebihan, maka alam akan ikut menghilang. Sudah menjadi perilaku manusia ketika membutuhkan, kita akan ikut menjaga. Sayangnya di kehidupan nyata, kita merasa tidak butuh keterhubungan ini. Ketika datang bencana, kita masih belum ingat bahwa sebenarnya masih membutuhkan alam untuk hidup bersama.
Sebuah ungkapan dari Pak Yu Sing yang menjadi inspirasi saya menulis ini tentang interdepensi dan venakular yaitu infrastruktur yang ideal adalah jangan terlalu percaya infrastruktur. Lebih tepatnya jangan terlalu percaya pembagunan. Jauh lebih baik tidak membangun sama sekali dan menanam pohon yang tepat, yang tidak invasif, dan sesuai ekosistemnya. Lebih baik membangun (sedikit) dan berhati-hati dengan benar, daripada memperbaiki lingkungan yang sudah rusak. Susah.
Sumber:
- Video Yu Sing — Refleksi Tentang Arsitektur. https://www.youtube.com/watch?v=iq8ZPFtFfbs
- Murray Bookchin. The Ecology of Freedom: The Emergence and Dissolution of Hierarchy. United States: Cheshire Books. 1982.