Rekontruksi: Longsor

Reza Prama Arviandi
HMS ITB
Published in
5 min readJan 11, 2019
Longsor di Puncak. Sumber: CNN Indonesia

Longsor di Indonesia

Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, tanah longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan, ataupun percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng. Secara umum, tanah longsor terjadi akibat gaya luar yang diterima oleh lereng atau tanah lebih besar dibandingkan dengan dengan gaya yang menahan gaya luar tersebut. Banyak jenis gaya luar yang dapat menyebabkan longsor, di antaranya adalah gerakan dari dalam bumi dan limpasan air.

Pada tahun 2018, bencana longsor merupakan salah satu bencana yang menuntut fokus dalam penyelesaiannya. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana, terdapat 268 kejadian longsor pada tahun 2018, terhitung hingga 14 September 2018. Bencana longsor juga memakan korban meninggal dan hilang sejumlah 63 orang, terbanyak dibandingkan dengan bencana lain yang terjadi di Indonesia.

Daerah berpotensi longsor biasanya merupakan daerah yang memiliki topografi pegunungan, perbukitan, dan di lereng-lereng tebing yang di bawahnya dibangun banyak pemukiman. Daerah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur menjadi daerah rawan longsor. Daerah rawan longsor tinggi di Jawa Barat meliputi Kabupaten Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung, Bandung Barat, Bandung Selatan, Purwakarta, Garut, Sumedang, Kuningan, dan Tasikmalaya. Sedangkan di Jawa Tengah terdapat di Kabupaten Banjarnegara, Cilacap, Purwokerto, Purworejo, Pekalongan, Temanggung, Semarang, Karanganyar, Tegal, Wonogiri, Magelang, Purbalingga dan Boyolali. Di Jawa Timur terutama di Kabupaten Ponorogo, Trenggalek, Malang, Pacitan, Mojokerto, Jember, Banyuwangi dan lainnya. Potensi longsor juga semakin meningkat karena pada awal tahun terjadi hujan dengan intensitas tinggi yang puncaknya terjadi pada bulan Februari 2018.

Kondisi Aktual: Masyarakat, Mitigasi, dan Pemulihan

Longsor merupakan bencana yang tidak dapat diprediksi kapan waktu datangnya. Masyarakat bisa saja mengalami musibah tersebut tanpa ada peringatan sebelumnya. Padahal banyak tanda yang dapat mengindikasikan bahwa longsor akan terjadi, seperti adanya retakan tanah, amblesan tanah, keluarnya mata air pada lereng, air sumur dan mata air tiba-tiba keruh, pohon dan tiang listrik miring, tembok bangunan, dan pondasi tiba-tiba retak dan lainnya. ISO sendiri telah menetapkan Sistem Peringatan Dini Longsor (LEWS) dari Indonesia untuk diterbitkan sebagai ISO 22327. LEWS dikembangkan oleh Universitas Gadjah Mada bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan Badan Standardisasi Nasional (BSN). Menurut website ISO sendiri, sistem ini masih dikembangkan. Tetapi, sistem peringatan dengan basis masyarakat ini akan memiliki peranan yang sangat penting dalam manajemen risiko bencana, khususnya longsor. Sistem ini juga telah diproses untuk menjadi SNI.

Longsor yang terjadi di daerah pegunungan biasanya terjadi akibat air limpasan permukaan yang mengalir. Air limpasan permukaan muncul karena ketidakmampuan tanah untuk menyerap air. Tata guna lahan yang asalnya berupa pepohonan yang dapat menyerap air, berubah menjadi pemukiman atau lahan perkebunan dan pertanian. Pemukiman juga terkadang didirikan di sekitar lereng yang sebenarnya cukup berisiko untuk terjadinya longsor. Ada hal yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya longsor dengan usaha-usaha engineering. Salah satunya adalah dengan mengubah geometri lereng itu sendiri. Sudah banyak standar yang dibuat oleh pemerintah dalam pembangunan struktur yang dapat mengurangi risiko longsor. Ada juga pedoman dari Dinas Pekerjaan Umum yang bisa digunakan untuk melakukan perencanaan penanggulangan bahaya longsor.

Peran berbagai lapisan masyarakat sangat penting dalam penanganan pada saat pra-kejadian dan pasca-kejadian bencana longsor. Diperlukan suatu wadah tempat masyarakat bisa mencari informasi mengenai longsor dan organisasi yang siap mengawal proses rehabilitasi fasilitas vital pasca-bencana.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana telah dibuat dalam rangka mengatur bagaimana proses penanggulangan bencana di lakukan. Pada saat situasi tidak terjadi bencana, BNPB memiliki peranan penting sebagai pelaku perencaan penanggulangan bencana, pengurangan risiko bencana, pemaduan dalam perencanaan pembangunan, persyaratan analisis risiko bencana, pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang, pendidikan dan pelatihan, dan persyaratan standar teknis penanggulangan bencana. Saat situasi terdapat potensi bencana, penanggulangan bencana meliputi kesiapsiagaan, peringatan dini, dan mitigasi bencana. PP ini juga mengatur tanggap darurat, rehabilitasi hingga rekonstruksi pasca-bencana.

Kondisi Ideal: Bagaimana Negara Lain Mengatasi Longsor

Negara-negara dengan risiko mengalami longsor terbesar berlokasi di daerah Asia Selatan, Asia Timur, Asia Tenggara, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan. Negara maju di daerah tersebut, walaupun memiliki potensi longsor yang cukup tinggi, kejadian longsor itu sendiri cukup jarang untuk terjadi. Hal ini karena rendahnya penggunaan lahan di daerah rawan longsor, berkembangnya kemampuan untuk mengidentifikasi daerah rawan longsor dan implementasi menajemen risiko yang sesuai dengan keadaan.

Negara yang menjadi contoh dalam penanganan kasus longsor adalah Hongkong. Pada 18 Juni 1972, setelah hujan berat yang terjadi selama beberapa hari, terjadi dua longsor yang sangat destruktif di daerah Sau Mau Ping dan Po Shan Road yang membunih 183 orang. Hongkong kemudian membentuk tim Geotechnical Control Office (yang sekarang bernama Geotechnical Engineering Office) yang ditugaskan untuk mengimplementasikan suatu sistem yang komprehensif untuk menjaga keamaan lereng. Sistem keamanan lereng yang dikembangkannya terdiri dari beberapa inisiatif untuk mengurangi risiko longsor secara holistik. Komponen utama dari sistem ini adalah penegakan standar geoteknik, partisipasi masyarakat untuk keamanan lereng, sistem untuk peringatan dini dan darurat respons, serta basis data komprehensif dari kejadian longsor dan implementasi langkah-langkah mitigasi risiko. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa implementasi dari Slope Safety System ini telah mengurangi korban jiwa tahunan akibat longsor oleh lebih dari 50 persen sejak akhir 1970-an. Hingga sekarang, tidak terdapat korban jiwa.

Sebuah Jarak: Pekerjaan Rumah bagi Kita

Gotong Royong Masyarakat. Sumber: Liputan 6

Masih banyak hal-hal yang dapat kita lakukan dalam rangka meningkatkan ketahanan kita terhadap bencana, terutama longsor. Longsor merupakan salah satu bencana yang dapat yang potensi kejadiannya dapat diatur, sehingga bisa diatasi dengan melalui berbagai macam pendekatan yang dapat mengurangi tingkat bahaya dan dan dampaknya.

Masih diperlukan peraturan dan regulasi yang memprioritaskan dan mengimplementasikan rencana mitigasi risiko bencana. Sehingga pencegahan munculnya korban dapat ditekan sejauh mungkin. Sebagai contoh regulasi tentang daerah pemukiman yang seharusnya tidak berada di lokasi yang memiliki potensi longsor tinggi. BNPB harus memiliki data yang komprehensif mengenai bencana-bencana sehingga dapat menjadi acuan bagi komponen pemerintah terkait untuk membuat regulasi yang efektif. BNPB juga sebagai pelaku utama penanggulangan harus melibatkan seluruh pihak yang bisa meningkatkan kemampuan dalam pencegahan bencana. Sistem berbasis masyarakat dapat mempercepat proses mengurangi risiko kejadian bencana longsor. Mitigasi risiko yang efektif juga sebaiknya dilaksanakan sesuai dengan daerah yang cakupannya lebih kecil.

Masyarakat harus lebih peduli dan mau berpartisipasi dalam penanganan longsor. Langkah awal sebelum masyarakat menjadi peduli adalah diperlukannya pencerdasan kepada masyarakat mengenai hal-hal yang krusial mengenai kebencanaan. Mulai dari pencegahan, penyelamatan, hingga rekonstruksi. Masyarakat juga perlu dikenalkan berbagai standar serta pedoman yang dapat digunakan sebagai acuan ketika masyarakat ingin melakukan pencegahan terhadap bencana. Perlu juga dibuat suatu pedoman yang mudah untuk diimplementasikan agar masyarakat lebih terdorong untuk melakukan pencegahan.

Ditulis oleh: Yudi Daniel Simanjuntak

--

--

Reza Prama Arviandi
HMS ITB
Editor for

An amateur. Inclusive infrastructure. You can reach me at rezaprama.com