Rekontruksi: Puting Beliung
Penyebab dan Dampak Puting Beliung
Indonesia merupakan negara di daerah khatulistiwa yang memiliki dua musim, musim kemarau dan hujan. Secara langsung Indonesia juga akan mengalami musim pancaroba, yaitu masa peralihan antara dua musim tersebut. Di saat musim pancaroba inilah Indonesia akan kedatangan bencana yang tidak dapat diprediksi kapan dan di mana letaknya, yaitu angin puting beliung. Menurut UU no. 24 Tahun 2007, angin puting beliung adalah angin kencang yang datang secara tiba-tiba, mempunyai pusat, bergerak melingkar menyerupai spiral dengan kecepatan 40–50km/jam hingga menyentuh permukaan bumi dan akan hilang dalam waktu singkat (tiga hingga lima menit).
Angin puting beliung ini akan bergerak secara lurus dan dianggap sebagai salah satu jenis angin yang berbahaya karena dapat menghancurkan apa saja yang dilewatinya. Benda-benda akan terbawa, terangkat, dan terlempar begitu saja. Angin puting beliung yang cukup besar bahkan dapat merusak rumah, pepohonan, dan alat transportasi yang dilewatinya sehingga membuat banyak kerusakan dan kerugian bagi warga di daerah tersebut. Angin puting beliung yang besar dapat merusak area seluas 5 kilometer. Tercatat sebanyak 20 kejadian rentang tanggal 1–11 Februari 2016 bencana puting beliung, terbanyak di Jawa Tengah yaitu sebanyak 10 kali. Bencana ini mengakibatkan 1 jiwa meninggal dunia, 195 jiwa menderita dan mengungsi, dan 246 rumah rusak akibatnya. Bencana puting beliung juga sempat merusak 292 rumah masyarakat dan mengakibatkan 2 jiwa meninggal dunia pada 5 Januari 2017 di daerah Jogjakarta dan Jember.
Potensi Puting Beliung
Potensi dari bencana angin puting beliung ini adalah bencana yang paling besar potensinya. Hal ini dikarenakan setiap wilayah di Indonesia dapat merasakan potensi angin puting beliung yang juga diakibatkan oleh perubahan iklim yang terjadi. Peran dari masyarakat dan pemerintah pun sangatlah penting akan penanganan bencana angin puting beliung ini. Badan Nasional Penanggulangan Bencana merilis siaga prabencana angin puting beliung, yaitu penyusunan peta rawan bencana, sosialisasi kepada masyarakat akan tanda-tanda maupun cara berlindung, memangkas ranting pohon besar dan pohon yang rapuh, ajakan untuk mengikuti informasi prakiraan cuaca, imbauan untuk menghindari bepergian apabila langit tampak gelap, dan siapkan lokasi aman untuk mengungsi. Kementrian PUPR juga telah meliris tata cara dasar perancangan rumah sederhana yang tidak bertingkat di daerah rawan angin dalam SNI 03–2397–1991 sebagai mitigasi dari bencana tersebut.
Kondisi Ideal Kesiapsiagaan Konstruksi Bencana Angin dan Rekonstruksi
Pascabencana Angin
Masyarakat yang berada di daerah yang rawan angin dituntut akan kesadaraan akan dampak angin yang dapat membahayakan jiwa jika bangunan yang ia tempati tidak kokoh melalui Kementerian Kesehatan mengenai hal tips siaga bencana. Indonesia juga sudah memiliki SNI 03–2397–1991 sebagai perencanaan bangunan sederahana tahan angin mulai dari perencanaan atap, dinding, dan pondasi sebagai mitigasi dari bencana tersebut. Penanggulangan bencana ini juga sudah diatur di UU no. 24 Tahun 2007 dan Pendanaan dan Pengelolaan di PP no. 22 tahun 2008 yang kemudian dikembangkan di Peraturan Badan Nasional Penanggulangan Bencana no. 11 Tahun 2008 tentang Pedoman Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana.
Kondisi Aktual di Indonesia
Masyarakat di Indonesia masih belum sadar akan pentingnya standar akan membangun rumah yang baik dan tahan akan bencana. Banyak bangunan rumah di pelosok bahkan di daerah pinggiran kota yang dibangun oleh tenaga tidak ahli dalam konstruksi rumah. Untuk pasca bencana pemerintah melalui Kementrian PUPR sudah meggemborkan RISHA kekalangan publik. RISHA adlaah rumah layak huni dan terjangkau yang dibangun secara bertahap berdasarkan modul dengan waktu pengerjaan 24 jam oleh 3 pekerja. Rumah ini telah digunakan di berbagai daerah kejadian pasca bencana, seperti Tsunami Aceh dan Gempa Lombok.
Negara Amerika Serikat Merekonstruksi Pascabencana Angin
Tahun 2007 Greensburg 95% bangunan yang ada di kota pertanian itu di lululantahkan oleh angin tornado. Seluruh bangunan yang ada di kota tersebut sampai tidak kelihatan lagi fisiknya. Pemerintah setempat melalui Walikota sangat menggemborkan untuk membangun kembali kota tersebut dengan prinsip Go Green, dimana setiap pembangunannya menggunakan prinsip Pembangunan Berkelanjutan dan segala pemanfaatan energi harus terbaharukan. Tidak hanya di bangunan rumah, namun jalan-jalan harus diterangi oleh lampu yang hemat energi atau LED, turbin dibangun untuk menggerakan sistem yang ada di pertanian dan perkebunan karena menggunakan energi angin yang ada di daerah tersebut. Setiap bangunan yang dibangun pun di atur dalam sertifikat bangunan LEED yang telah di rancang oleh pemerintah setempat. Alhasil kota yang dulunya hancur lebur, dapat diubah menjadi kota yang baru yang lebih hijau.
Ditulis oleh: Syakal