Resiliensi Bangunan Terhadap Bencana Alam dalam Perspektif Arsitektur
Tinggal di Indonesia memiliki konsekuensi mengalami berbagai bencana alam. Indonesia terletak pada pertemuan 4 lempeng yaitu Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik dan Lempeng Filipina, menyebabkan Indonesia selalu terkena dampak dari interaksi lempeng-lempeng tersebut. Indonesia juga terletak di garis khatulistiwa yang berdampak pada iklim tropis yang hangat dengan suhu rata-rata 26–36 derajat celcius sehingga meningkatkan tingkat penguapan yang mengakibatkan curah hujan yang tinggi. Garis pantai Indonesia dengan panjang 99.000 kilometer juga memberi konsekuensi untuk berhadapan dengan bencana alam yang disebabkan oleh laut. Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan frekuensi berbagai bencana alam yang tinggi di Indonesia.
Latar Belakang
Arsitektur harus menjadi tempat bernaung yang memberi kenyamanan bagi penggunanya dalam menghadapi bencana. Diperlukan adanya resiliensi arsitektur untuk menghadapi berbagai kondisi yang tidak diinginkan. Resiliensi sendiri memiliki definisi kemampuan suatu hal untuk mempertahankan maupun mengembalikan fungsionalitas ketika menghadapi kejadian-kejadian yang memberi dampak negatif. Resiliensi merupakan bentukan yang lebih baru dan kompleks dari kata keberlanjutan dimana resiliensi menekankan tidak hanya pada kontinuitas, namun juga kemampuan arsitektur tersebut untuk kembali bangkit setelah menghadapi gangguan yang merusak. Resiliensi merupakan gabungan yang komprehensif dari ketahanan dan adaptivitas dalam menghadapi perubahan-perubahan keadaan.
Terdapat kesalahpahaman dalam usaha untuk mencapai resiliensi arsitektur. Pembangunan pada zaman ini seringkali memprioritaskan penggunaan arsitektur kontemporer, dikarenakan dianggap sebagai perwujudan paling maju dari teknologi membangun. Hal ini tidak sepenuhnya salah, dikarenakan arsitektur kontemporer merupakan buah karya dari modernisasi pembangunan. Namun, kekurangan dari arsitektur yang kontemporer adalah ketidakmampuan bangunan untuk merespon konteks alam maupun lingkungan tempat bangunan tersebut berada. Hal ini dikarenakan arsitektur yang kontemporer merupakan hasil duplikasi dari negara lain yang sebenarnya memiliki lingkungan dan keadaan alam yang berbeda sehingga sudah pasti kurang mampu merespon keadaan alam Indonesia. Penduduk Indonesia sesungguhnya telah mencapai resiliensi arsitektur sampai tahap tertentu dengan penggunaan arsitektur vernakular dalam membangun rumah tinggal maupun ruang interaksi lainnya. Arsitektur vernakular merupakan hasil pengetahuan membangun yang terakumulasi secara turun temurun, terus disesuaikan dan dikembangkan sesuai dengan keadaan alam dan lingkungan Indonesia. Pengetahuan yang terakumulasi pada arsitektur vernakular idealnya ikut dimanfaatkan dalam usaha mencapai resiliensi arsitektur. Arsitektur kontemporer tidak boleh melupakan arsitektur vernakular untuk mencapai resiliensi arsitektur.
Bencana alam merupakan hal yang tidak bisa dihindari, namun harus dihadapi sebagai bagian dari berkehidupan di Indonesia. Kemampuan arsitektur merespon bencana-bencana tersebut menentukan tingkat kemampuan bertahan hidup penduduk dalam kondisi yang tidak diinginkan. Resiliensi arsitektur yang dapat berupa regulasi dan teknik membangun harus dapat mengakomodasi kebutuhan keamanan penduduk dari bencana-bencana yang terjadi.
Resiliensi Bangunan Indonesia terhadap Bencana
Bangunan Indonesia dapat dikatakan relatif kurang memiliki resiliensi terhadap bencana. Hal ini dapat dilihat dari dampak yang dihasilkan dari bencana-bencana yang terjadi pada lingkungan Indonesia. Dampak yang ditimbulkan dari beberapa bencana seperti banjir, tanah longsor, gelombang pasang dan gempa sangat memprihatinkan. Dampak yang dihasilkan oleh bencana pada suatu bangunan memperlihatkan baik buruknya resiliensi suatu bangunan terhadap bencana.
Banjir merupakan salah satu bencana yang sering terjadi di Indonesia. Bangunan-bangunan yang terletak di daerah rawan banjir pada umumnya tidak dapat beradaptasi terhadap banjir tersebut. Bangunan yang terletak di daerah banjir tidak dirancang berbeda dengan bangunan yang terletak di daerah tidak rawan, sehingga tidak kontekstual terhadap bencana di lingkungannya. Pembangunan kerap kali tidak disesuaikan dengan kebencanaan daerah, dan merupakan hasil generalisasi pembangunan yang lazim.
Lantai dasar bangunan seringkali terlalu rendah untuk mencegah air banjir masuk. Bangunan yang terletak di daerah rawan banjir juga tidak dirancang dengan materialitas yang menyesuaikan, dan disamaratakan dengan bangunan yang terletak di tempat lain, sehingga tidak memiliki ketahanan terhadap air yang dibutuhkan oleh bangunan tersebut untuk mempertahankan fungsionalitasnya ketika banjir terjadi. Bangunan juga lemah secara struktural dalam menghadapi tekanan air banjir.
Penanganan banjir yang seringkali mengarah pada infrastruktur aliran air menyebabkan perancangan bangunan yang menyesuaikan dengan banjir jarang dilakukan. Peningkatan resiliensi terhadap banjir harus dilakukan tidak hanya dari pencegahan terjadinya bencana tersebut, namun juga dengan membenahi perancangan bangunan tempat beraktivitasnya penduduk untuk lebih tahan terhadap perubahan kondisi.
Longsor juga merupakan bencana yang lazim terjadi di Indonesia yang memiliki curah hujan tinggi. Longsor terjadi pada lahan yang memiliki kemiringan. Longsor juga dipengaruhi dengan susunan material tanah lokasi tersebut. Semakin tinggi tingkat kemiringan meningkatkan kemungkinan longsor, namun juga dipengaruhi dengan material tanah, misalnya bebatuan akan tetap stabil pada sudut yang lebih curam daripada tanah basah.
Longsor bukanlah sebuah keniscayaan dari kemiringan lahan, namun merupakan konsekuensi dari buruknya perancangan yang ditujukan untuk mencegahnya terjadi. Minimnya pengalokasian vegetasi pada perancangan tapak bangunan menyebabkan tidak ada penahan tanah miring tersebut untuk mempertahankan posisinya. Grading pada perancangan tapak yang tidak efisien dan tidak diintegrasikan dengan perancangan dinding penahan tanah yang sesuai juga meningkatkan kemungkinan terjadinya longsor.
Selain banjir dan longsor, salah satu bencana lain yang sering terjadi di Indonesia adalah gelombang pasang. Gelombang pasang merupakan konsekuensi dari beberapa faktor, seperti gravitasi bulan dan juga hembusan angin. Gelombang pasang memberi konsekuensi yang menyerupai banjir, yakni air dengan intensitas berlebih yang mengganggu fungsionalitas sebuah bangunan. Resiliensi yang minim oleh bangunan memperparah dampak yang ditimbulkan oleh bencana tersebut.
Bencana lainnya adalah gempa bumi. Getaran yang disebabkan oleh gempa bumi menguji integritas struktur bangunan untuk mempertahankan bentuknya. Kerusakan terjadi ketika getaran yang disebabkan melampaui beban maksimum yang dapat ditanggung oleh kekakuan bangunan. Gempa bumi merupakan konsekuensi dari letak Indonesia yang terletak di cincin api, namun bangunan-bangunan di Indonesia tidak dirancang tahan terhadap bencana ini.
Material bangunan memiliki beban sendiri yang berbeda-beda. Beban sendiri dari material tersebut bukanlah masalah apabila diimbangi dengan rasio kekuatan berbanding beban yang baik. Tetapi kenyataannya penggunaan material tidak dicermati, sehingga bangunan memiliki rasio kekuatan berbanding beban sendiri yang tidak memadai untuk menghadapi gempa yang terjadi. Material yang seharusnya dapat menghasilkan kekuatan struktur yang memadai, dengan penanganan yang tidak baik menghasilkan kekuatan yang tidak sesuai kriteria perancangan di daerah rawan gempa.
Indonesia dengan polarisasi kebencanaan yang beragam tidak memiliki perancangan bangunan yang beragam pula. Bangunan Indonesia zaman sekarang tidak kontekstual terhadap kebencanaan, dikarenakan hanya merupakan hasil penyamarataan teknik membangun yang dianggap modern. Perancangan tidak disinergikan dengan peta kebencanaan menghasilkan perancangan yang tidak memiliki ketahanan menghadapi kondisi yang tidak diinginkan. Paradigma masyarakat maupun pemerintah terhadap arsitektur tradisional maupun vernakular yang negatif menyebabkan kecenderungan merancang yang ikut-ikutan perancangan negara lain. Perancangan bangunan kehilangan kemampuan untuk mengikuti konteks lingkungan tempat suatu bangunan didirikan.
Resiliensi Ideal
Bangunan haruslah memiliki ketahanan terhadap bencana yang mungkin terjadi di lingkungannya. Implikasi dari bangunan yang tidak dapat mempertahankan kemampuannya menjalankan fungsi sebagai ruang beraktivitas adalah menurunnya produktivitas dari pengguna bangunan tersebut. Seperti bencana banjir yang dapat menggenang dengan lama waktu yang beragam, mulai dari hitungan jam sampai hitungan bulan. Produktivitas dari wilayah yang terdampak menurun secara drastis, aktivitas perekonomian, pendidikan dan sebagainya menjadi terhenti. Hal ini tentunya juga berlaku terhadap bencana lainnya seperti longsor, gelombang pasang dan gempa bumi yang memakan korban pada saat kejadian, dan juga membutuhkan waktu pemulihan untuk suatu lingkungan kembali produktif seperti sebelum terjadi bencana.
Resiliensi adalah tentang elastisitas, yang merupakan syarat utama untuk mencapai adaptivitas. Hal ini harus dicapai dengan tiga hal, yang pertama perancangan bangunan yang memungkinkan bangunan tersebut belajar dari lingkungan dan kemudian menyesuaikan diri, menjadi ruang kehidupan di berbagai kondisi termasuk bencana alam. Yang kedua adalah arsitek yang mampu belajar dari hasil performa rancangannya dan menggunakan hasil pelajaran tersebut pada rancangan berikutnya. Yang ketiga adalah pelibatan pengguna pada perancangan, sebagai orang yang akan menggunakan rancangan sebagai ruang kehidupan, dan juga sebagai orang yang mengetahui konteks.
Resiliensi yang baik merupakan gabungan yang komprehensif dari perancangan, ketahanan, dan efisiensi. Perancangan yaitu bagaimana suatu bangunan menunaikan fungsinya, sebagai tempat bernaung dan beraktifitas penggunanya. Ketahanan, yaitu bagaimana bangunan mempertahankan fungsinya tersebut pada berbagai kondisi khususnya kondisi yang tidak diinginkan ketika bencana terjadi. Efisiensi, yaitu bangunan tepat guna dalam mencapai dua aspek sebelumnya, dan tidak berlebihan.
Perancangan harus meminimalisir kemungkinan terjadinya kerusakan, meminimalisir dampak dari kerusakan apabila kerusakan tidak dapat dihindari, dan pemulihan yang cepat setelah terjadi kerusakan akibat bencana. Resiliensi tidak hanya mengenai kekuatan, namun juga adaptivitas bangunan menghadapi perubahan kondisi. Bangunan harus memiliki ketahanan untuk mempertahankan fungsi, juga kemampuan untuk kembali mendapatkan fungsinya setelah fungsionalitasnya terganggu oleh bencana. Resiliensi sebuah bangunan harus mencangkup bagaimana bangunan tersebut menunaikan fungsi sebelum, ketika dan sesudah bencana terjadi.
Resiliensi memiliki beberapa prinsip yang harus ditaati. Resiliensi suatu bangunan harus ditinjau pada masa pra rancangan, penyusunan program dan perencanaan untuk memperkirakan kemampuan bangunan beroperasi pada kondisi ekstrim. Perencanaan mitigasi terdiri dari enam langkah, yakni mengidentifikasi bahaya, menilai kerentanan, menganalisis dampak, membuat program yang disesuaikan dengan hasil yang diinginkan, membuat target performa dan melakukan perancangan, implementasi, menilai hasil dan mengevaluasi rancangan tersebut. Kemudian peninjauan resiliensi juga mencangkup nilai yang diinginkan dalam pencegahan gangguan yang dihasilkan bangunan terhadap pengguna dan lingkungan. Biaya awal dan biaya operasional jangka panjang juga harus diseimbangkan untuk mencapai resiliensi. Perancangan harus merupakan hasil dari integrasi berbagai bidang keilmuan.
Untuk mencapai tingkat adaptivitas yang diinginkan agar mencapai resiliensi, harus diingat bahwa suatu perancangan belum tentu dapat menjawab permasalahan di masa depan dengan konteks yang berbeda. Peninjauan bahaya dan kerentanan harus dengan memproyeksikan perubahan zaman seperti perubahan iklim, peringatan bencana yang mungkin akan terjadi dan sebagainya. Perancangan bangunan yang dihasilkan juga harus memungkinkan untuk dilakukan perubahan atau modifikasi secara gradual maupun inkremental untuk menyesuaikan kebutuhan mendatang. Bangunan harus menyesuaikan dengan siklus-siklus alam yang ada, seperti siklus udara, air maupun kemampuan regenerasi suatu sumber daya alam. Selain memiliki kemampuan menyesuaikan dengan alam, bangunan juga harus dapat menyesuaikan dengan perubahan konteks buatan seperti kota tempat bangunan tersebut terletak.
Resiliensi seringkali tidak tercapai dikarenakan kesalahan pada penerapan prinsip yang kontradiktif pada perancangan. Contohnya adalah efisiensi dan redundansi. Perancangan harus efisien agar bangunan tepat guna dan tidak menghasilkan rancangan yang mubazir, namun harus sedikit berlebih dari yang dibutuhkan untuk mencapai resiliensi. Redundansi atau keberlebihan ini diperlukan dikarekan untuk mencapai resiliensi diperlukan rancangan yang dapat menghadapi kondisi buruk, sehingga aspek perancangan misalnya kekuatan struktur harus dibuat lebih kuat daripada yang dibutuhkan agar dapat menghadapi beban diluar rencana misalnya bencana gempa. Contoh lainnya adalah teknologi membangun modern dengan teknologi membangun tradisional. Teknologi membangun modern merupakan hasil pertukaran pengetahuan berbagai negara sehingga merupakan bentukan paling maju dari teknik membangun. Namun untuk mencapai rancangan yang kontekstual perlu melibatkan teknik membangun tradisional yang merupakan hasil pewarisan pengetahuan turun-temurun yang disesuaikan dengan kondisi alam dan lingkungan. Hal-hal ini secara definisi kontradiktif namun penerapannya harus seimbang.
Rekomendasi
Perancangan harus kontekstual terhadap kondisi lingkungan. Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan teknik membangun tradisional arsitektur vernakular sebagai referensi dalam merancang. Pengembangan teknologi membangun sebaiknya melibatkan teknik membangun tradisional agar teknologi menjadi tepat guna. Arsitektur vernakular merupakan coping strategy struktural masyarakat hasil dari menganalisis kondisi alam, melakukan perancangan dan mengevaluasi performa rancangan yang dilakukan secara turun temurun.
Paradigma mengenai bangunan tradisional yang dianggap kuno dan tidak layak huni harus diubah, baik oleh pemerintah maupun masyarakat itu sendiri. Pendefinisian rumah tidak layak huni yang menyebabkan rumah tradisional yang sudah kontekstual diganti oleh pemerintah dengan rumah yang merupakan hasil generalisasi teknik membangun sehingga tidak sesuai konteks lingkungan harus diubah. Naluri masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam menjadi berkurang, yang berimplikasi pada resiliensi.