Managing Life as a Full Time Mom Working Remotely in Kata.ai

A written experience and guide about being mom and remote-worker

Dewi Oktaviani
Kata.ai Tech Blog
5 min readJul 12, 2019

--

Photo by Daria Nepriakhina on Unsplash

My Journey in Kata.ai

Saya bekerja di Kata.ai sejak pertengahan tahun 2017. Di tahun pertama, saya mengawali journey di Kata.ai sebagai Software Engineer Enterprise, dengan job desc membuat bot menggunakan skema Kata-ML — saat itu Kata Platform masih under-development — dan maintain content blast dan feature bot agar jumlah pengguna dari bot bisa meningkat. Tahun kedua hingga saat ini, saya bergabung dengan Back-End Engineer yang bertanggungjawab untuk handle server-side application logic dan integrasi dengan Platform dan command line interface (CLI).

Working Culture at Kata.ai

Menurut saya, kultur kerja di Kata.ai cukup unik. Karena dalam 1 pekan weekdays terdapat 2 hari di mana karyawan bebas bekerja remote di mana saja. Bahkan, ada beberapa case tertentu di mana karyawan diperbolehkan bekerja remote secara full-time. Interesting, huh?

Sejak awal 2018, saya mendapatkan kelonggaran untuk bekerja dari rumah karena hamil dan ikut suami tinggal di Surabaya. Mulai saat itu, saya memulai fase hidup baru sebagai remote worker. Tidak banyak perusahaan yang bisa memberikan fasilitas tersebut bagi karyawannya. Kali ini saya akan berbagi pengalaman sebagai seorang ibu dan remote worker.

Challenges when working remotely as a Mom

Rutinitas kerja remote sangat berbeda dengan kerja di kantor. Jika bekerja ke kantor, saya harus mandi dari pagi hari, mempersiapkan kebutuhan yang harus dibawa ke kantor, kemudian commuting ke tempat kerja. Tetapi dengan status remote ini, saya bebas bekerja dari mana saja, baik dari rumah, coffee shop, co-working space maupun daycare.

Hidup seperti sempurna dan seimbang: bisa bekerja memenuhi kebutuhan aktualisasi dan mengurus keluarga secara concurrent. Namun, setelah cuti melahirkan habis, saya merasakan tantangan baru yakni: bagaimana menemukan pattern bekerja sambil memenuhi kebutuhan anak. Ya, menjadi orang tua adalah pekerjaan yang 24/7/365 — tidak mengenal hari libur. Berikut ini adalah tantangan yang dihadapi ketika bekerja secara remote:

FOMO (Fear of Missing Out)

FOMO adalah suatu kondisi dimana seseorang takut dianggap tidak update, gaul dan ketinggalan berita. Kecemasan ini wajar terjadi pada full-time remote worker karena jarang terlibat percakapan secara langsung dan hadir secara fisik di meeting, diskusi dan acara lain yang diadakan kantor. Bahkan jika berlarut-larut, remote worker akan merasa kurang memiliki kontribusi terhadap perubahan-perubahan yang ada di kantor. Tidak jarang saya juga merasakan hal yang sama.

Untuk mengatasi rasa FOMO dan kesepian yang bisa setiap saat menghantui, saya encourage diri sendiri untuk bersikap active, available dan responsive. Beberapa cara yang saya terapkan antara lain:

  • Aktif berkomunikasi dengan team melalui chat maupun video call baik pekerjaan kantor maupun non-kantor.
  • Sesekali bekerja dari Kata.ai branch di Malang, sehingga bisa berinteraksi secara fisik dengan team engineers disana.
  • Mengisi waktu akhir pekan untuk berkontribusi di komunitas lokal di Surabaya.
  • Bergabung di komunitas engineers di Surabaya yang juga bekerja secara remote work sehingga bisa saling berbagi pengalaman, agar tidak merasa sendirian.

Time Management

Sebelum memiliki anak, setiap hari saya memulai kerja sejak membuka laptop jam 8 pagi dan selesai saat jam 12 malam. Bekerja di jam kerja yang panjang ini sangat tidak ideal untuk mencapai work-life balance. Selain tidak fokus menyelesaikan task, mental dan fisik terasa sangat exhausted, apalagi saat itu sedang hamil. Sebuah riset menjelaskan bahwa penentuan deadline cukup efektif untuk mengurangi kemungkinan melakukan procrastination.

Setelah memiliki anak, saya harus membagi waktu dan konsentrasi antara pekerjaan kantor dan mengurus anak. Jam kerja saya menjadi yang pendek (selama jam tidur anak) dan interrupted jika anak menangis. Pola seperti ini juga melelahkan, karena tidak ada pembagian jam yang jelas antara jam kerja dan jam untuk mengurus keluarga.

Melalui hal ini saya belajar bahwa dengan remote working, saya bisa fleksibel menentukan tempat bekerja namun tetap terikat dengan jam kerja kantor, yakni 40 jam/minggu. Sinkronisasi pekerjaan akan susah dilakukan jika kita bekerja dalam rentang waktu yang berbeda dengan teman kantor. Nah, untuk itu kita butuh effort untuk menciptakan sebuah environment bekerja dan mendedikasikan waktu-waktu produktif kita untuk bekerja.

Berbicara tentang waktu produktif, setiap orang memiliki zona waktu produktif masing-masing. Ada yang fokus bekerja di pagi hari, setelah makan siang, atau menjelang malam. Bagi saya, dengan konteks sudah berkeluarga, saya pun mengalokasikan me-time — yang biasanya digunakan untuk menonton dorama — menjadi waktu produktif. Me-time saya dimulai dari jam 1 dini hari sampai menjelang subuh. Waktu 3 jam tersebut bisa saya gunakan sebebas-bebasnya! Terkadang saya mereview pekerjaan kantor, supaya tidak terlalu lama saat sync-up pekerjaan esok hari, atau bahkan scrolling slack kantor dan membaca link menarik yang di-share teman kantor, supaya nggak FOMO.

Kuncinya adalah determination — sebagai motivasi intrinsik — untuk mengembangkan diri dan menyelesaikan pekerjaan sebaik-baiknya.

Tapi, bagaimana dengan mengurus anak?

Task management

Penyesuaian jam kerja dan mengasuh anak sangat terasa sulit pada awalnya. Terkadang saya tidak bisa mengikuti meeting sampai selesai karena anak bangun karena lapar. Belum lagi saat ada bug yang high priority sementara anak menangis kencang karena popoknya penuh. Bahkan untuk coding saja, suara mengetik di keyboard harus diredam agar si bayi tidak terbangun.

Tidak semua pekerjaan bisa dilakukan sendiri, ask help dan delegasikan hal yang biasa dikerjakan sendiri kepada orang lain. Karena kita memiliki tanggungjawab yang berbeda sesuai peran yang melekat, saya berusaha untuk memisahkan tugas sesuai peran saya sebagai karyawan di kantor dan ibu bagi keluarga. Alhasil, hingga anak saya berumur 11 bulan, saya memutuskan untuk menitipkannya ke daycare dekat rumah.

Saya juga menggunakan automation-tools untuk beberapa hal demi meningkatkan produktivitas. Salah satunya bot reminder— yang dibuat dengan platform Kata.ai — untuk memantau perkembangan fisik (berat/tinggi badan) dan mengingatkan jadwal imunisasi anak. Sesederhana itu bisa membuat kita fokus menyelesaikan hal lain dengan tenang.

Final thoughts

Selama kurang lebih 1,5 tahun bekerja sebagai remote worker di Kata.ai, saya sangat mengapresiasi fleksibilitas waktu kerja yang diberikan. Dalam rentang waktu tersebut, saya belajar untuk menyesuaikan ritme kerja sebagai karyawan dan menjadi orang tua, serta berkompromi untuk beberapa hal yang less essential.

Kata.ai selalu membuka kesempatan bagi siapapun yang ingin berkarya dan berkontribusi bersama. Tidak terkecuali bagi perempuan berstatus jomblo/menikah/punya anak. Kunjungi https://kata.ai/career untuk mengetahui posisi yang sedang kami cari, atau kirim CV ke careers@kata.ai dan ceritakan siapa dan apa pengalaman Kamu.

--

--