A Fresh Start

Sara Fiza
Kata Sara Fiza
Published in
3 min readMar 9, 2019

Awal yang baru biasa disambut dengan sukacita. Tahun baru, masuk jenjang sekolah yang baru; SD, SMP, SMA, hingga kuliah, pertama kali masuk kerja, pertama kali mendapat gaji pertama, masuk semester baru setelah libur panjang, ramadan hari pertama, hingga awal baru ketika Idul Fitri, bergabung dengan komunitas baru, menempuh kehidupan awal pernikahan bagi yang telah menikah, memulai sebuah tulisan baru dengan ide yang tengah menggebu-gebunya, hari pertama berlibur, atau bagi para orang tua yang baru saja memiliki anak; segala ‘pertama’ yang anak kerjakan begitu sangat berkesan.

The Honeymoon Phase

Ketika kita pertama kali menjejakkan kaki di sebuah awal yang baru, contohnya saja masuk jenjang sekolah yang baru dulu, begitu antusiasnya kita. Segala hal disiapkan. Seragam baru dengan warna putih yang menyilaukan satu kecamatan (*lebay) dan tentunya masih kaku, segala alat tulis baru. Meski kadang tidak semua orang merasakan segala kebaruan tersebut, layaknya Ron Weasley yang mendapatkan ‘warisan’ dari kakak-kakaknya. Namun, perasaan antusias sekaligus cemas bergabung dengan sebuah lingkungan baru tetap memenuhi dada-dada murid-murid baru itu. Belum lagi jika bertemu dengan orang baru yang berhasil mencuri perhatian kita (Ekhem…), rasa-rasanya kita punya semua waktu di dunia untuk bisa mengenalnya lebih baik dan lebih dekat.

Hari-hari pertama biasanya dilalui dengan semangat. Setiap resolusi yang tercatat di dinding kamar atau hanya di kepala sekalipun terasa mudah dan dapat dicapai. Dunia serasa ada dalam genggaman.

Titik Jenuh

Perjalanan yang baru itu berangsur-angsur tiba pada sebuah titik jenuh, sebuah titik di mana beban semakin bertumpuk, konflik mulai bermunculan atau bahkan sudah di titik puncak perselisihan, lelah sudah memaksa kita untuk menyerah. Inilah mengapa biasanya tugas akhir macam skripsi, tesis, disertasi terasa memuakkan, karena selain berat dan banyak halangan, kita berada di titik puncak kejenuhan. Tidak hanya jenuh dengan rutinitas, tapi juga jenuh dengan pertanyaan yang itu-itu saja, seperti “Gimana skripsinya?” dan pertanyaan senada lainnya.

Seorang penulis yang tengah menulis sebuah kisah panjang, tergoda untuk membuat sebuah dokumen baru dan membuat kisah baru, karena ia menemukan titik buntu harus dibawa kemana kisahnya yang sudah setengah jalan ini.

Sekolah yang terasa sebagai masalah, pernikahan yang awalnya menyenangkan terasa melelahkan karena tanggung jawab semakin maju ke hadapan, teman-teman yang dulu terlihat baik semakin nampak kekurangannya, hingga pekerjaan yang terasa tidak memuaskan dan membuat kita bertanya-tanya pertanyaan filosofis semacam, “Apakah aku hidup hanya untuk banting tulang seperti ini?”, “Apakah passion saya benar-benar di sini?”, “Tidak adakah pekerjaan yang lebih baik di luar sana?”, “Untuk apa aku hidup?”, “Sebenarnya apa yang aku cari dalam hidup?”

Segala resolusi awal tahun yang terasa mungkin, kini terasa terlalu muluk dan menjelma menjadi ketidakmungkinan. Kini, kita dan rasa jenuh itu seolah duduk bersisian merenungi tentang sesungguhnya apa yang mesti kita perjuangkan.

A Fresh Start All Over Again

Ketika kita rindu-rindunya dengan sebuah awal yang baru pada titik jenuh, ketahuilah bahwa sebuah awal yang baru tidak perlu ditunggu nanti, karena awal yang baru selalu hadir setiap hari.

Tiap hari ketika malam berganti matahari, maka hari yang baru telah menyapamu lagi dan lagi. Anggap saja, setiap pagi itu adalah hadiah berupa awal yang baru yang dihadiahi kepadamu setiap harinya. Ketika kau berada dalam titik jenuh, anggap saja bahwa kita adalah kita yang baru setiap pagi. Temukan makna hidup itu dan kebelakangkan saja dulu semua patah hati, sakit, lelah, dan masa lalu yang menjegalmu untuk melangkah maju. Semua itu adalah luka perang yang menunjukkan bahwa kamu adalah penyintas (survivor) kehidupan yang memiliki pengalaman untuk dapat menghadapi musuh yang sama itu di kemudian hari.

Setiap pagi menyapamu lagi, maka semangatmu harus baru lagi; mengerjakan pekerjaan seolah itu adalah pekerjaan pertamamu, mengerjakan tugas akhir seolah itu adalah hari pertamamu mengerjakannya, bimbingan seolah itu adalah bimbingan pertamamu, belajar memahami seseorang seolah kamu baru mengenalnya lagi. Segala semangat pertama itu kita tempelkan setiap hari pada diri kita.

Pagi ini kita adalah kita yang baru. Kita yang siap menebarkan kebaikan lebih banyak lagi, kita dengan bekas luka perang yang lebih kuat lagi, kita dengan hati yang baru lagi.

Ditulis dalam posisi berada di titik jenuh ketika mengerjakan tugas akhir dan rindu dengan semangat ketika awal memulai semua ini. Awal yang baru itu selalu ada, wahai diri. Bahkan bukan hanya pagi, tapi lima kali sehari. Ketika kau menoleh untuk salam ke kanan dan ke kiri setelah mengadu pada Tuhanmu. Ya, kamu adalah jiwa yang baru lagi.

Menguatlah!

--

--

Sara Fiza
Kata Sara Fiza

The one who survives and tells the tale. Selain menulis, saya menyuarakan keramaian dalam kepala melalui podcast Urai di bit.ly/podcasturai