Orang-Orang yang Merundung

Sara Fiza
Kata Sara Fiza
Published in
7 min readApr 11, 2019

Aku berusaha menahan mereka untuk pergi, tapi memang sudah saatnya teman-temanku pergi dan pulang ke rumah masing-masing. Aku juga tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak dapat melindungiku selamanya. Aku akhirnya harus pulang, dan mereka pun begitu.

Aku akhirnya pulang ke dalam rumahku. Rumahku yang gelap. Ketika aku masuk ke dalam rumahku, orang-orang dalam rumah yang sangat kukenal itu tidak membiarkanku istirahat, mereka langsung menarikku ke dalam kegelapan dan mebantingku ke tempat duduk dengan kasar.

Setiap orang itu memuntahkan kata-kata menyakitkan, dan menurutku meski menyakitkan itu memang benar.

“Kamu jelek. Kulitmu gelap. Kayak kopi. Kalau bersebelahan sama temenmu, kayak kopi susu jadinya.” Seorang memulai kata-kata yang sudah ia hapal itu. Oh dan itu hanya permulaan. Ia melanjutkan memaki-maki setiap detail wajahku yang tidak ada cantik-cantiknya menurutnya. Setelah wajah sudah habis, ia melanjutkan pada tubuhku, bagaimana lekuknya begitu ia benci. Jauh dari definisi cantik di dunia ini. “Tidak ada orang yang menginginkanmu. Apalagi tampilan visual itu penting untuk semua orang. Matilah sendiri hingga nanti”

Aku mulai menangis, tapi tidak bisa melawan. Betapa piciknya orang itu hanya menilai aku dari fisik saja. Kenapa pikirannya sangat terbatas seperti itu? Aku tidak habis pikir.

Sambil menggerutu dan menghakimi setiap keburukan dalam tubuhku, orang lainnya angkat bicara. “Apa kerjamu hari ini? lagi lagi tidak cukup baik.” Ia mulai mengkritik semua hal yang telah aku lakukan hari ini. “Selalu jadi manusia tidak berguna. Kamu sudah berbuat apa untuk bermanfaat? Memangnya ada yang mau menikmati hasil karyamu? Itu yang memujimu itu hanya karena mereka baik saja, bukan karena karyamu yang baik. Mau sampai kapan kamu jadi tidak berguna seperti ini?”

Orang lainnya berteriak-teriak tepat di depan telingaku, “Kamu harusnya jadi dosen saja, Sar. Kuliah terus yang tinggi. Kamu ingat tidak kata orang-orang di luar sana, mereka ingin kamu jadi….” Lalu ia menyebutkan profesi-profesi hebat di luar sana yang seharusnya aku lakukan, jumlah digit gaji yang mesti aku capai, semua ilmu yang hanya terbuang sia-sia jika aku tidak segera mengetahui akan melakukan apa. “Kamu harusnya sudah menikah. Orang tuamu sudah berapa kali memintamu untuk menikah. Kamu mau mengecewakan orang tuamu? Mereka tidak akan tenang sampai kamu menikah. Anak durhaka!”

Apakah aku sedurhaka itu?

Belum selesai aku menangis, orang yang selalu memaki-maki kejelekanku menimpali, “Iya itu karena dia memang sejelek itu. Sudah jelas tidak ada yang mau.”

Ada suara lain di sudut ruangan, “Tidak. Jangan menikah! Kamu tahu sendiri betapa menyakitkannya melihat rumah tangga yang gagal. Apalagi harus mengalaminya. Bayangkan…” suara itu kemudian menjabarkan kemungkinan-kemungkinan terburuk dari sebuah pernikahan, bersatu dengan memori-memori buruk.

Aku bingung harus mengiyakan yang mana, tidak lagi bisa membedakan mana yang benar.

Satu orang lagi hanya duduk-duduk di sofa, ia menatapku dan berkata dengan sinis dan membanding-bandingkanku dengan manusia lain di seluruh dunia. Aku semakin kecil. Semakin tidak berarti. Airmataku semakin tumpah.

Ketika semua sudah kehabisan kata-kata. Ada orang lainnya lagi yang selalu dalam kondisi sakit, ia yang semula berbaring, lalu duduk. Ia menatapku. Ketika ia akan memulai berbicara, orang-orang lain yang sudah bergantian merundungku itu diam. Orang itu menceritakan ulang semua kesalahan, semua memori buruk di masa lalu, ia bahkan menyebutkan nama-nama orang yang pergi dalam hidupku dan menceritakan bahwa aku adalah orang yang selalu ditinggal pergi, selalu tidak pernah dipilih, ia juga bilang bahwa aku terlalu hancur untuk bisa direkatkan kembali. Lalu, ia melanjutkan dengan menyebutkan masalah-masalah hidupku kini yang belum usai. Ia bilang bahwa aku tidak pantas untuk bahagia, bahwa apa yang aku lakukan selama ini belum cukup membuatku berarti.

Selain mereka, masih ada orang-orang lain yang memuntahkan berbagai kata-kata menyakitkan lainnya. Aku hanya terdiam. Menerima semua makian dan ejekan mereka. Mau sampai kapan aku jadi korban bully mereka?

Aku sudah biasa sih membiarkan semua ini terjadi seumur hidupku. Setiap pulang ke rumah, mereka lah yang selalu aku hadapi. Pernah suatu saat aku mengusir mereka pergi karena saking sudah tidak kuatnya dimaki-maki. Namun, rumahku jadi kosong dan sepi. Memang tidak cukup lama. Dalam beberapa waktu, mereka sudah kembali dan mendobrak masuk, lalu siap merundungku lagi.

Biasanya aku memaksa orang-orang lain di luar rumahku untuk tinggal. Jika aku sudah nyaman dengan seseorang di luar rumah, aku berusaha untuk menahan mereka untuk diam lebih lama, karena aku takut kembali dalam rumahku itu. Aku takut dengan mereka. Tapi, kadang, ketika aku merasa orang lain di luar rumahku terlalu baik padaku, aku merasa aku tidak layak mendapatkannya, dan entah kenapa aku sudah tahu ia akan pergi sebentar lagi. kadang aku sudah siap-siap akan ia tinggal. Meski ketika ia pergi, aku tetap merasa sakit karena harus kembali ke rumah tanpa teman. Ah tapi tak apa. Aku toh akhirnya terbiasa lagi dengan rumahku yang gelap itu. Semua pengalihan-pengalihan di luar rumah itu hanya sementara.

Aku menatap wajah mereka satu-satu. selama ini wajah mereka gelap, namun ketika mereka mendekat kali ini, aku dapat melihat satu per satu wajah mereka. Mereka sangat mirip denganku. Ah bukan mirip, mereka adalah aku.

Aku terhenyak. Selama ini aku merasa menjadi korban bully. Padahal nyatanya aku sendirilah yang menjadi pembully itu sendiri. Betapa dari dulu aku merasa lemah, tidak berdaya, padahal begitu kasarnya aku ketika merundung diri sendiri. Dulu aku sangat marah dengan orang-orang yang melakukan body shamming pada orang lain, sedangkan aku melakukan body shamming pada diriku sendiri. Betapa munafiknya aku. Betapa pikiranku sangat terbatas pada definisi cantik di luar sana. Padahal aku yang sering berkoar-koar untuk melepaskan diri dari definisi fisik di luar sana.

Aku terdiam. Air mata masih mengalir, tapi aku seka perlahan. Aku menarik napas lama sekali. Awalnya aku ingin mengusir orang-orang dalam rumah kepalaku ini yang selalu merundungku sepanjang waktu. Tapi, setelah kuperhatikan baik-baik, orang pertama yang selalu membully fisikku itu adalah karena ia selama ini menerima kata-kata itu dari luar, selama lebih dari dua puluh tahun begitu banyak orang yang mengejeknya, dan ketika dia terluka dan tidak tahan, dia menyalurkan kesakitan itu padaku. Aku memeluknya kali ini. Meminta maaf dan berkata padanya bahwa ia dengan segala keadaanya sudah cukup buatku. Aku juga menenangkannya bahwa ia baik-baik saja. Anugrah fisik ini adalah anugrah terbaik yang pernah Sang Pencipta berikan. Aku bilang padanya bahwa warna kulit hanyalah warna, sama seperti pelangi yang warnanya berbeda-beda, ya hanya berbeda saja, tidak ada yang lebih baik dari warna lainnya. Perihal bentuk tubuh lainnya juga hanya perihal bentuk saja. Aku dan dia akhirnya sama-sama bersepakat untuk tidak membuat standar fisik yang picik, yang terbatas hanya pada pandangan manusia. Aku lega. Ternyata berdamai dengannya tidak seburuk yang aku pikirkan.

Aku memeluk orang-orang yang merundungku selama ini itu satu-satu, mendengarkan semua kegelisahan mereka, lalu berkata pada mereka bahwa menjadi tidak sempurna itu tidak apa-apa, memiliki impian yang berbeda dari ekspektasi manusia di dunia juga tidak mengapa, aku bilang pada mereka bahwa bermanfaat dan berbuat baik sekecil apapun juga adalah kebermanfaatan, bahwa keberadaanku di dunia ini berguna untuk membuat dunia ini berjalan sebagaimana mestinya, bahwa rezeki dari Yang Maha Memberi rezeki akan hadir pada masanya, bahwa setiap manusia itu memliki perjalanan dan kehidupan yang berbeda dan membanding-bandingkan diri dengan orang lain itu sangat tidak adil dan tidak sepadan.

Pada orang yang selalu mengulang-ngulang masa lalu yang menyakitkan, aku berkata padanya bahwa aku bisa belajar banyak hal karena semua hal yang menyakitkan itu. Dari semua kepergian dan kehilangan manusia di luar sana, aku belajar bahwa setiap orang memiliki rentang waktu tertentu untuk mendampingi. Mereka yang pergi bukan karena aku yang tidak berharga, tapi karena memang sudah saatnya mereka pergi. Yang ditakdirkan untukku akan selalu tinggal. Aku lalu menyebutkan begitu banyak hal baik yang tinggal hingga saat ini.

Panjang sekali aku bercakap dengan mereka. Aku menenangkan mereka satu-satu. Mengajak mereka keluar dari ruangan gelap itu. Mengajak mereka melihat langit yang luas dan biru itu dan mengajak mereka untuk menjelma menjadi langit yang luas itu agar bisa lapang dan menerima semua kesakitan di dunia, lalu aku mengajak mereka menjelma menjadi laut yang luas dan dalam, mengajak mereka untuk menenggelamkan semua luka. Lalu aku menunjukkan bentuk awan yang menggumpal-gumpal, melihat daun-daun yang dihembuskan angin, melihat air yang mengalir. Sederhana, tapi Pencipta dunia ini sejak dulu selalu memberi tanda untuk melihat lebih dekat dan dunia ini begitu indah dan menakjubkan.

Kadang-kadang ketika mengajak mereka berjalan-jalan, mereka sesekali mengejek lagi, mendengus kesal dan memaki-makiku lagi. Biasanya kalau begitu mereka sedang gelisah dan khawatir. Kadang mereka khawatir takut ada orang-orang yang meninggalkan lagi. Aku bilang pada mereka, bahwa Ada yang Maha Menciptakan dan Maha Mendatangkan Kebaikan. Ia akan mendatangkan kebaikan-kebaikan setiap kita merasa ditinggalkan. Dan ketika orang-orang dalam rumah kepalaku itu takut bahwa tidak ada orang di luar sana yang mampu menerima rapuhnya mereka, takut tidak menerima ketidaksempurnaan diri, dan merasa tidak mungkin ada yang mau menemani mereka, aku bilang pada mereka, “Kalau kita berharap pada manusia yang sama rapuhnya, memang kita akan merasa tidak mungkin. Tapi yang menggerakkan semua manusia itu Yang Maha Menciptakan, kan? Apakah kalian tidak percaya kalau Yang Maha Baik akan memberikan yang terbaik dan mendatangkan orang-orang terbaik dalam hidup kita?”

Mereka terdiam, mereka nampaknya sadar bahwa selama ini keyakinan mereka tentang Pencipta begitu lemah. “Kita belajar yakin lagi, ya?” kataku pada mereka. Mereka dengan perlahan mengangguk.

“Kalau soal masa depan, bagaimana?” satu orang khawatir lagi.

“Kita lakukan yang terbaik yang bisa kita lakukan sekarang saja. Nulis dulu misalnya. Senyum dulu misalnya. Masa depannya masih jauh di depan sana, kalau sakit hatinya sekarang, lelah kita nantinya. Yang Maha Melindungi akan melindungimu. Yang Maha Tahu yang Terbaik tahu yang terbaik untukmu. Kita tidak tahu apa-apa. Mungkin hanya sok tahu perihal masa depan. Tenang saja. Yang Maha Memberi yang Terbaik tahu yang terbaik untuk kita”

Perlahan aku berjalan dengan mereka, mengenal luka apa yang menyebabkan mereka melakukan semua perundungan itu, aku semakin paham dengan mereka. Betapa mereka selama ini terluka, hingga menyalurkannya padaku. Tapi aku tidak pernah peka dan malah merelakan diri dirundung. Padahal mereka rindu dipeluk dan diterima apa adanya, mereka rindu ditenangkan. Aku perlahan-lahan sayang dengan mereka yang merundungku itu.
Sejak dulu aku tidak pernah percaya dapat mencintai mereka — mencintai diriku sendiri. Tapi aku sebaiknya belajar dengan baik.

Mereka kini lebih tenang, sesekali mereka memaki-maki lagi, yang aku lakukan biasanya memeluk mereka dan mengajak mereka berbincang. Mungkin mereka hanya rindu.

Ah, maafkan aku selama ini. Aku akan belajar mencintai lebih baik lagi.

--

--

Sara Fiza
Kata Sara Fiza

The one who survives and tells the tale. Selain menulis, saya menyuarakan keramaian dalam kepala melalui podcast Urai di bit.ly/podcasturai