Terjebak Hujan

Sara Fiza
Kata Sara Fiza
Published in
1 min readFeb 2, 2018

Aku terduduk di kursi yang dingin di emperan toko, hujan turun, dan aku tidak bisa kemana-mana. Aku terjebak hujan.

Tapi, setelah kupikir-pikir lagi, sejak kapan hujan menjebak manusia? hujan turun sesuai titah, ia luruh dan menganugrahi bumi dengan basah. Manusia yang memutuskan untuk tidak berjalan di bawah hujan. Manusia yang memutuskan untuk tidak dibasahi hujan. Manusia yang menjebak dirinya sendiri. Kita kah yang menjebak diri kita sendiri dan menyalahkan hujan dengan menciptakan istilah terjebak hujan agar merasa tidak terlalu salah?

Jangan-jangan yang menjebak kita selama ini dalam nestapa, duka, gelisah, amarah, dendam, keluh kesah adalah diri kita sendiri. Hidup sejak awal memang menawarkan semua itu, kan? Tapi, selalu ada pilihan untuk bahagia, syukur, ikhlas, kata maaf, cinta…

Kita bisa memilih terjebak di emperan rasa-rasa yang melelahkan atau berjalan di bawah guyuran rasa-rasa yang menenangkan, kan?

Kita bisa memilih, kan?

Sepertinya terdiam dan terjebak lebih mudah untuk dipilih. Tapi, bukankah menyerahkan diri untuk basah juga tidak sulit? Kita mau atau tidak. Itu saja.

Ah, aku sudah lama terdiam di pinggiran toko ini. Aku harus pulang. Aku akan menerobos hujan ini dan menyerahkan diriku sepenuhnya pada basah. Bukankah kita memang harus sepenuhnya menyerahkan diri?

2 Februari 2018, sebelum melangkah menembus guyuran hujan.

--

--

Sara Fiza
Kata Sara Fiza

The one who survives and tells the tale. Selain menulis, saya menyuarakan keramaian dalam kepala melalui podcast Urai di bit.ly/podcasturai