Bagaimana Universitas Menghegemoni Kesadaran Mahasiswa?

KBMP Bali
Kelompok Belajar Mahasiswa Progresif (KBMP)
6 min readNov 26, 2017
Gambar: Barbara Kruger

BANYAK orang yang resah, jika melihat kebuntuan gerakan mahasiswa hari ini yang konon semakin sepi dari “aktivisme”. Meskipun sebenarnya, keresahan seperti ini lahir akibat dari glorifikasi yang berlebihan terhadap peran mahasiswa yang ditesiskan sebagai agen perubahan — yang kemudian diromantisasi oleh gerakan ’98, ataupun oleh figur-figur yang dikultuskan seperti Soe Hok Gie. Mahasiswa diidentikkan sebagai spesies yang memiliki “posisi lebih” dari rakyat secara umum (seperti kaum buruh dan tani); sebuah kekeliruan yang terus-menerus diproduksi sejak Orde Baru melalui identitas-identitas ekslusif yang disematkan kepadanya seperti penjaga moral, resi rakyat, dan sebagainya.

Jika kita berkaca dari sejarah pada era kolonialisme, yang mempelopori perlawanan terhadap Belanda, toh, bukan “mahasiswa-mahasiswa” melainkan rakyat luas yang masih banyak tidak sekolah kala itu. Pada tahun 1888, petani Banten yang dipimpin ulama tarekatlah yang melakukan pemberontakan; pada tahun 1901–1912, Sarekat Dagang Islam terbentuk, yang nantinya berubah jadi Sarekat Islam beranggotakan jutaan buruh dan tani yang berjuang untuk pembebasan; dan lebih banyak lagi kronik sejarah yang jika dituliskan hanya menunjukkan bahwa peran “mahasiswa” tidak seberlebihan yang seringkali diglorifikasikan. Sebaliknya, tak sedikit dari “mahasiswa-mahasiswa” di zaman Kolonial justru disibukkan oleh pesta dan cinta.

Maka, bukan hal yang sama sekali baru, jika hanya sedikit mahasiswa yang turut mengambil andil dalam gerakan. Meskipun begitu, bukan berarti peran pemuda-terpelajar tidak ada artinya sama sekali. Justru, peran pemuda-terpelajar tidak pernah berubah sejak kita dijajah hingga hari ini: menjadi pelayan atas massa, dan bukannya terjebak oleh sindrom messiah yang melihat diri sebagai juru selamat atas rakyat. Namun kita tidak perlu kaget, jika memang hanya sedikit dari kaum terpelajar ini yang terlibat dalam gerakan kepeloporan.

Minimnya keterlibatan kaum terpelajar dalam gerakan, tidak terlepas dari realitas objektif yang turut membuat kaum pelajar menjadi “anjing penjaga” kemapanan. Semenjak institusi pendidikan seperti perguruan tinggi berada dalam pusaran pasar bebas yang dikomersialisasikan sebagai barang dagangan, peran kampus yang seharusnya mendidik berubah secara brutal hanya untuk mencetak tenaga kerja yang berfungsi untuk memutar modal-modal besar, akibat dari kebijakan neoliberal.

“Sejak Margaret Thatcher, peran pendidikan dan akademisinya hanyalah untuk melayani kemapanan, dan bukan menentang kemapanan yang menindas tersebut atas nama keadilan, tradisi, imajinasi, kesejahteraan manusia, kebebasan berpikir, atau visi alternatif di masa depan.” (Terry Eagleton, The Death of Universities)

Padahal “mencerdaskan kehidupan bangsa” merupakan tujuan negara Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia ‘1945 pada pasal 28 C (1) disebutkan bahwa “setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh menfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia” dan (2) setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.

PROSES HEGEMONISASI PERGURUAN TINGGI

Kemiskinan kesadaran mahasiswa, seperti yang terlihat dari keterjebakan mahasiswa dalam keadaan tak sadarkan diri yang sangat mistis (masturbasi intelektual berlebihan hingga mati dalam ruang kosong kenikmatan) bukanlah sesuatu yang terlepas dari realitas material yang konkret di sekitarnya.

Di satu sisi, posisi kelas mahasiswa sangatlah ambigu: mahasiswa adalah bagian dari borjuasi kecil, yang pada batas-batas tertentu diuntungkan oleh sistem yang menindas kelas di bawahnya, dan pada batas-batas yang lain juga ikut menindas mereka sebagaimana layaknya kelas-kelas buruh. Mahasiswa berada di persimpangan yang membingungkan: karena dirinya memiliki akses pada pendidikan yang menjadi syarat untuk panjat sosial, maka ada kesempatan bagi dirinya untuk mengamankan posisi kelasnya. Namun, di sisi yang lain, persaingan yang eksesif untuk mendapatkan lapangan pekerjaan yang layak, turut mengasingkan dirinya sebagai kelas terpelajar. Maka tak mengherankan, jika kemudian ada mahasiswa lulusan pertanian yang memilih untuk bekerja di perbankan, karena lapangan itu lebih menjanjikan daripada bekerja di sektor tani. Mereka terasing dari ilmu-ilmu yang dipelajarinya di perguruan tinggi, hingga kemudian mereka bukan lagi bekerja untuk hidup, melainkan hidup untuk bekerja.

Di sisi yang lain, kita bisa melihat bagaimana aparatus-aparatus perguruan tinggi memberi setiap mahasiswa sebuah peran spesifik — dengan mencekoki “wacana” — dalam sebuah kepasifan umum: memberi tugas banyak; tidak usah demo-demo panas yang tidak ada gunanya, katanya begitu; kalau kamu teriak di jalan/banyak nuntut hak kalian yang kami rampas, maka kami akan keluarkan kalian (DO) dari universitas, dan seterusnya, dan seterusnya.

Bagi para birokrat kampus, hal tersebut adalah pelatihan peran sementara, sebuah latihan bagi peran utama mahasiswa di kemudian hari sebagai sebuah elemen konservatif yang memfungsikan diri sebagai barang dagang dan siap laku di pasar kerja untuk menjadi “buruh kerah putih”.

Proses dominasi suatu perguruan tinggi terhadap mahasiswa ini — meminjam istilah Althusser — juga turut berlangsung melalui “aparatus-aparatus ideologis” mahasiswa itu sendiri dengan mengkontruksikan kesadaran palsu dalam kegiatan kemahasiswaan yang sebenarnya tidak relevan; membentengi mahasiswa dari pembentukan pengetahuan akan adanya eksploitasi dan penindasan (pungutan liar, pelayanan yang menyesakkan, serta rentetan kewajiban di luar UKT dan di luar kegiatan kuliah yang menghamburkan biaya uang secara sia-sia), serta membentengi mahasiswa dari organisasi progresif-revolusioner melalui kampanye hitam yang dilakukannya.

Kesadaran palsu membuat mahasiswa secara tidak sadar mengamini segala bentuk pembodohan yang dilakukan oleh para birokrat (hingga mempostulatkannya kepada Yang Maha Ada), sekalipun tindakan birokrat tersebut sangat bertentangan dengan nurani dan keinginan mereka, seperti sistem partisipasi yang berbelit-belit; aturan jam malam di kampus; peraturan etis berpakaian, hingga berkomunikasi sesuai aturan kepada dosen, padahal ingin akrab dengan para dosen tanpa adanya kesenjangan; fasilitas yang tidak merata; dan pengelolaan kebijakan yang tidak sesuai dengan prinsip transparansi, akuntabel, dan informatif sesuai perundang-undangan.

Proses inilah yang kemudian disebut proses hegemonisasi, yang membuat dominasi suatu kelas tertentu terhadap institusi pendidikan demi kepentingan eksploitasi agar tetap bertahan sesuai dengan tujuan mereka. Bukan hal yang sifatnya harus ditakuti ketika kita melihat kolaborasi antara “dua kolonial” itu (birokrat kampus dan “aparatus ideologis mahasiswanya”) secara beriringan mengingatkan kita pada masa penjajahan Belanda yang membutuhkan masyarakat pribumi sendiri untuk mengambil hati masyarakat Indonesia agar terpaksa tunduk. Sebab, proses dominasi tidak hanya dilakukan secara koersif (kekerasan fisik), namun juga secara halus melalui konsensus publik yang dibuat oleh kelas dominan dengan bantuan aparatus ideologisnya: “kuliah aja yang bener, dan tidak usah memperjuangkan hak melalui gerakan kekiri-kirian” hingga akhirnya, mahasiswa yang sejatinya dibodohi oleh pihak birokrasi kampus, sepakat untuk dibodohi akibat dari konsensus publik yang direproduksi tersebut.

Tidak sedikit mahasiswa yang tingkat intelegensianya sudah di atas menara gading, mengira bahwa dirinya telah “berlogika” dengan lurus, padahal ia sejatinya hanyalah pelayan atas kemapanan yang menindas. Sistem representatif dianggap sebagai suatu cara yang efektif untuk mengubah keadaan, meski dengan buta mereka tidak mampu melihat bahwa sistem tersebut berada di bawah relasi kuasa birokrat kampus, yang merupakan bagian dari “aparatus ideologis” dari perguruan tinggi itu sendiri.

Terpelajar yang subjektif, individualis, dan tidak praktis dalam berpikir sejatinya pun hanyalah korban dari sistem yang memaksakan kegamangan berpikir dalam kepala mereka. Ketika kampus bukan lagi “pusat kritisisme”, melainkan hanya pabrik yang bertugas memproduksi “budak-budak terpelajar”, maka tak mengherankan jika akan lebih banyak lagi orang-orang terpelajar yang pola pikirnya seperti ini.

Kemiskinan kesadaran mahasiswa adalah sebuah bentukan akronisme dalam masyarakat: belum lagi kemiskinan baru yang akan kita hadapi dalam kehidupan proletariat yang menunggu, ketika kita telah menjadi buruh bagi korporasi-korporasi raksasa dengan upah yang tidak layak.

Ini adalah periode di mana semakin banyak anak-anak muda yang berusaha membebaskan diri dari prasangka moral dan otoritas keluarga, sebagaimana yang mereka jadikan subyek secara blak-blakan yang secara terang-terangan mengeksploitasi masa muda mereka, namun di saat yang sama, menerima tanpa mengeluh ketika diperlakukan seperti seorang bayi oleh otoritas institusi pendidikan yang mengendalikan kehidupan harian mereka.

Mahasiswa menjadi menjijikan bukan hanya karena kemiskinan kesadaran mereka, tetapi juga karena kepuasan diri mereka sendiri atas segala bentuk kemiskinan, kecenderungan mereka yang tak sehat untuk berkubang dalam keterasingan diri mereka sendiri, berharap hal tersebut akan menjadi menarik di tengah ketidakmenarikan mereka — yang semuanya berhulu pada pendidikan yang direproduksi oleh “keluarga mahasiswa” (universitas), yang menciptakan kita secara individual hingga menganggap diri kita sebagai makhluk yang paling “independen”, meskipun pada kenyataannya kita dibuat untuk bersikap patuh pada dua sistem otoritas sosial yang terkuat: keluarga dan negara.

Sebagai akibat dari proses yang hegemonik tersebut, terciptalah mahasiswa yang patuh dan penurut. Mengikuti logika anak penurut, mereka membagi segala nilai-nilai dan mistifikasi sistem, serta mengkonsentrasikannya ke dalam diri mereka sendiri (menganggap penindasan birokrat adalah benar dan wajar, sehingga jalan satu-satunya adalah ikhlas bersabar). Terpelajar yang lulus dengan secarik kertas cum-laude pun hanya bisa menghafalkan nama tokoh dan ucapannya; banyak baca buku dan bacaan tetapi tidak mampu membaca keadaan yang menindas.

Realitas yang seperti ini jelas menunjukkan bahwa masih banyak tugas yang harus diselesikan oleh gerakan kepeloporan untuk menghimpun kesadaran massa untuk melawan penindasan yang diinternalisasi. Setelah genosida yang menghabisi generasi-generasi terpelajar yang sadar, perjuangan untuk menggugat realitas seperti ini tentu saja masih jauh dari tujuan.

Tapi hal ini memberikan satu pelajaran besar: bahwa komersialisasi pendidikan hanya akan terus menerus menciptakan kepatuhan bahkan kepada kaum terpelajar itu sendiri. Tidak ada pendidikan yang ilmiah, ketika pendidikan dianggap sebagai komoditas yang diperjualbelikan. Dan hakikat kita sebagai manusia hanya dapat terwujud jika kita terus-menerus memperjuangkan pendidikan gratis, ilmiah, dan demokratis. Bukan sebagai pelayan yang patuh terhadap kemapanan, tapi sebagai manusia yang memikul tugas sejarah untuk menghancurkan penindasan.***

--

--