Melihat Komersialisasi Pendidikan Secara Utuh

KBMP Bali
Kelompok Belajar Mahasiswa Progresif (KBMP)
7 min readJun 12, 2018
Michael Fleshmen/Flickr

Akhir Mei 2018 lalu muncul sebuah wacana adanya Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) dengan nominal 10–150 Juta di Universitas Udayana. SPI tersebut hanya dibebankan kepada mahasiswa baru yang masuk melalui jalur mandiri berdasarkan aturan dari Permenristekdikti. Pembayaran uang SPI (“uang pangkal”) ini belum termasuk Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang harus dibayar setiap semester — yang hanya dibatasi pada golongan IV dan V. Universitas-universitas lain pun turut dibebani oleh kebijakan serupa seperti UNNES atau UNHAS yang nominalnya bahkan berada di margin 30–200 juta.

Meskipun konstitusi dengan tegas menyatakan bahwa pendidikan adalah “hak” — yang berarti kewajiban bagi negara untuk memenuhinya — dibebankannya uang pangkal ke masyarakat hanyalah salah satu ekspresi lain ketika pendidikan tinggi berada dalam jerat fundamentalisme pasar: bahwa pendidikan (dan prasyarat untuk sejahtera) adalah persoalan pribadi, dan bukan tanggung jawab sosial yang menjadi urusan negara. Logika tersebut adalah pondasi dari segala bentuk komersialisasi pendidikan hari ini. Dari pemungutan UKT hingga penarikan uang pangkal, asumsi yang mendasarinya adalah sentralitas individu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa intervensi kolektif (negara) untuk memberikan akses yang adil atas pendidikan.

Persoalannya, jika memang payung hukum yang mengatur pendidikan saat ini tidak adil, mengapa pemerintah tetap memberlakukannya? Sebelum berangkat lebih jauh, penting untuk memahami secara utuh latar belakang ideologis yang memungkinkan komersialisasi pendidikan mewujud dalam rupa-rupanya yang ganjil.

Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Udayana memasang spanduk yang berisi tuntutan transparansi Uang Kuliah Tunggal (UKT), Kamis (7/4/2016) di lingkungan kampus FIB Jln. Pulau Nias №13 Denpasar.

HEGEMONI NEOLIBERALISME

Komodifikasi pendidikan di Indonesia setidaknya dimulai ketika Indonesia bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) setelah diratifikasinya perjanjian dagang multilateral yang menjadi UU №7 Tahun 1994 di masa Orde Baru. Perjanjian tersebut mengatur mengenai tata perdagangan barang, jasa, dan hak atas kepemilikan properti. Pada Mei 2005, Indonesia sebagai anggota WTO melakukan penyesuaian struktural atas paket kebijakan yang dikeluarkan oleh IMF dan Bank Dunia, yaitu General Agreement on Trade Servise (GATS), yang bertujuan untuk meliberalisasi 12 sektor jasa, yang salah satunya adalah sektor pendidikan.

Liberalisasi pendidikan — dengan melepaskan kontrol pemerintah melalui pengurangan subsidi dan membiarkan pendidikan diatur oleh pasar — pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan daya saing sumber daya manusia, khususnya di pasar tenaga kerja global. Paradigma tersebut berangkat dari asumsi filosofis ekonomi neoklasik yang melihat persaingan pasar akan meningkatkan kualitas suatu komoditas. Melalui pengandaian bahwa “individu memiliki kecenderungan untuk memaksimalkan kepentingan dirinya sendiri”, maka pendidikan yang diatur secara privat akan memberi insentif bagi produsen penyedia jasa pendidikan untuk meningkatkan kualitasnya agar mampu bersaing dengan penyedia jasa (universitas) lainnya demi menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya.

“Konsekuensi tak terduga” (unintended consequences) dari persaingan pasar ini dirangkum oleh Adam Smith melalui diktumnya bahwa “dalam kompetisi, ambisi individual kita akan memberikan kebaikan bersama”. Sederhananya, jika pendidikan diserahkan pada mekanisme pasar, maka kita akan mendapatkan pendidikan yang berkualitas, sebagai konsekuensi logis dari “rasionalitas pasar” untuk meregulasi dirinya sendiri. Inilah jangkar dari ideologi neoliberalisme hari ini.

Hal ini kemudian membawa kita ke persoalan berikutnya: karena pasar bebas menyaratkan tidak adanya campur tangan pemerintah demi tercapainya “kompetisi yang adil”, maka adanya pemberian subsidi di kampus negeri hanya akan mengacaukan persaingan pasar. Bahkan subsidi itu sendiri dianggap sebagai bentuk pemborosan anggaran negara. Ketimbang mengalokasikan proporsi anggaran yang besar untuk membiayai pendidikan secara tidak produktif, lebih baik jika anggaran ini digunakan untuk membangun “sektor-sektor produktif” untuk memutar roda ekonomi secara langsung. Karenanya, pengetatan biaya sosial dengan mengebiri berbagai jaminan sosial, merupakan salah satu tesis penting untuk mendorong “pertumbuhan ekonomi” dalam kerangka neoliberalisme.

KETERBATASAN MEKANISME PASAR PENDIDIKAN

Sudah menjadi diskursus yang normatif dalam buku ekonomi manapun bahwa mekanisme pasar adalah cara yang paling efisien untuk mendistribusikan sumber daya yang dibutuhkan oleh konsumen. Karena individu dianggap menentukan pilihannya demi pemaksimalan kebutuhannya sendiri (“termasuk pilihan untuk membeli komoditas tertentu, atau memilih universitas tertentu”), maka terdapat praduga bahwa pelaku pasar pasti rasional dalam menentukan pilihannya. Praduga ini mengandaikan tersedianya informasi objektif secara sempurna bagi konsumen, sehingga konsumen bisa secara rasional memutuskan pilihannya berdasarkan harga dan kualitas semata. Kondisi demikian justru mustahil hadir di dalam jejaring pasar yang kompleks, terlebih di pasar pendidikan.

Apakah keputusan seseorang untuk mengeluarkan uang sebesar 10 juta sebagai sumbangan pendidikan untuk berkuliah di Universitas Udayana, semata karena memang secara objektif kualitas pelayanan Universitas Udayana memang baik? Atau justru karena perguruan tinggi — sebagaimana korporasi di pasaran — mampu membentuk persepsi “calon konsumennya”, karena sifat perguruan tinggi yang mampu memonopoli informasi sehingga nominal uang yang dibayarkan tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas pelayanannya?

Slavoj Zizek memberikan perumpamaan yang sempurna: konsumen yang membeli kopi Starbuck, misalnya, tidak hanya sekadar membeli komoditas tersebut, namun juga membeli “ideologi” yang terkandung di dalamnya. Mereka (konsumen) sesungguhnya merasa bersalah dengan overkonsumerisme yang dilakukannya, namun karena sekian persen keuntungan dari pembelian kopi Starbuck akan disumbangkan untuk air bersih di Afrika, maka konsumen tetap membeli kopi tersebut agar merasa ikut terlibat di dalam penyelesaian persoalan air bersih.

Bukankah ini kenyataan yang terjadi hari ini? Keputusan seseorang untuk membayar mahal di Universitas Udayana dan bukan universitas lain di Bali, tidak serta merta karena kualitas yang ditawarkan, melainkan bisa saja karena “nilai mistik” yang dikonstruksikan secara sosial (seperti prestis berkuliah disini). Karenanya, asimetri informasi ini justru dapat dikondisikan untuk memanipulasi harga tanpa harus menjamin mutu pelayanan, terlebih dalam konteks Bali, Universitas Udayana dianggap sebagai salah satu universitas terbaik — yang ternyata tidak demikian. Konsekuensi terburuknya, kita justru membayar mahal untuk kualitas pendidikan yang tidak sesuai dengan uang yang dikeluarkan. Itu sebabnya pengelolaan keuangan di perguruan tinggi harus dilakukan secara demokratis dan transparan sebagai bentuk pertanggung-jawabannya — yang sampai saat ini masih menjadi masalah, karena tertutupnya pengelolaan keuangan oleh birokrasi universitas.

Jelas, dalam jejaring pasar yang kompleks, pertimbangan rasional untuk memilih universitas tidak memiliki bobot yang sama ketika seseorang memilih sayur di pasar tradisional. Di sistem pasar yang kompleks, persepsi seseorang sangat rentan untuk dibiaskan oleh iklan yang tidak serta-merta menjamin kualitas yang ditawarkan.

Selain itu, biaya sosial yang harus dibayarkan karena pendidikan yang mahal adalah putusnya aksesibilitas pendidikan oleh masyarakat ekonomi rendah. Namun dalam logika neoliberalisme, ketimpangan ini bukanlah suatu masalah melainkan keniscayaan pasar. Di banyak negara, solusi yang ditawarkan dari putusnya akses pada pendidikan ini adalah Student Loan atau pinjaman mahasiswa seperti yang sempat diwacanakan oleh Jokowi. Pada praktiknya, model Student Loan ini justru menyimpan banyak kecacatan serius: sebab, setelah menyelesaikan studinya, mahasiswa akan lulus dengan hutang yang tinggi, sehingga menurunkan daya beli nyatanya.

Terlepas dari carut-marutnya logika pasar atas pendidikan, pendidikan mahal sebenarnya merupakan bagian dari skema politik upah untuk menjaga upah buruh tetap murah di pasar kerja. Angkatan kerja yang tidak mendapatkan akses ke pendidikan tinggi memiliki posisi tawar yang lebih rendah untuk mendapatkan pekerjaan dengan upah layak. Mengacu pada laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2018 lalu, rata-rata upah nominal angkatan kerja lulusan menengah berkisar di antara 1,8–2,6 juta, yang bahkan masih berada di bawah rata-rata upah buruh nasional (2,65 juta). Sedangkan rata-rata upah untuk lulusan perguruan tinggi berada di nominal 4,42 juta.

Terlebih dengan modus produksi di Indonesia yang didominasi oleh sektor manufaktur padat karya, banyaknya pasokan angkatan kerja yang tidak mampu melanjutkan ke perguruan tinggi, semakin memperketat persaingan atas lapangan pekerjaan tersebut, sehingga lebih efisien untuk menyerap tenaga kerja yang bersedia diupah murah di tengah banyaknya permintaan untuk bekerja. Belum lagi jika melihat pola transisi perekonomian Indonesia ke sektor jasa sebagai akibat dari revolusi teknologi dan informasi, yang jelas akan membutuhkan keterampilan yang diperoleh dari perguruan tinggi. Akibat dari pergeseran modus produksi ini, yang diikuti oleh putusnya akses pada perguruan tinggi, hanya berimplikasi pada meningkatnya pergeseran tenaga kerja ke sektor-sektor informal.

UNDANG-UNDANG PERGURUAN TINGGI NO.12/2012 SEBAGAI PRODUK NEOLIBERALISME

Mayday 2018/KBMP

Semua masalah tersebut memiliki asas legalnya melalui Undang-Undang Perguruan Tinggi 12/2012. Hadirnya UUPT ini merupakan skema untuk “mereformasi pendidikan tinggi” sesuai dengan kepentingan neoliberalisme, yang tidak hanya hadir di Indonesia melainkan juga di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara lainnya. Jika ditilik lebih jauh, upaya untuk melakukan privatisasi perguruan tinggi bahkan sudah terjadi semenjak keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999, tentang Penetapan Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum. Inti dari PP №61/1999 tersebut adalah pemberian “otonomi” pada perguruan tinggi yang memiliki status Badan Hukum Milik Negara (BHMN) untuk mengelola keuangannya sendiri, sehingga subsidi oleh pemerintah bisa dipangkas secara gradual.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi sebenarnya telah membatalkan konsepsi otonomi perguruan tinggi berbadan hukum — yaitu UU №9 tahun 2009 tentang Badan Hukum atau UU BHP — karena dianggap tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Pembatalan UU BHP ini adalah reaksi atas mandat yang dikeluarkan oleh Bank Dunia, di mana Indonesia dianggap menjalankan sistem pendidikan yang bermasalah dan hanya memberikan alokasi dana yang sangat kecil terhadap sektor pendidikan. Namun pada tahun 2010, muncul rancangan UU Perguruan Tinggi yang menggantikan UU BHP tersebut; atau yang saat ini berlaku: UU PT 12/2012.

Pada UU PT 12/2012, konsep otonomi keuangan pada universitas, khususnya diatur di pasal 64 (mengenai otonomi di bidang non-akademik); pasal 65 yang memberikan kewenangan bagi PTN Badan Hukum (PTN-BH) untuk mendirikan usaha dan mengembangkan dana abadi; dan secara spesifik di pasal 85 yang menyatakan pembiayaan pendidikan tinggi oleh mahasiswa.

UUPT 12/2012 adalah sebuah payung legitimasi atas kasus-kasus pendidikan di Indonesia, seperti UKT dan SPI. Mengenai SPI sendiri, sebagai salah satu produk UU PT faktanya mengalami dinamika yang kian dimainkan sekalipun kecaman nyata terus menerus menggoyangi. SPI ini adalah bukti konkret dari semangat komersialisasi yang dilegalkan. Adanya UU PT ini secara eksplisit merupakan bentuk pengkhianatan terhadap UUD 1945 dan Pancasila. Sistem pendidikan yang seperti ini sudah sangat jelas bukan usaha mencerdaskan kehidupan bangsa apalagi implementasi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selama Undang-Undang Perguruan Tinggi 12/2012 masih berlaku, maka kedepan akan muncul bentuk-bentuk lain dari praktik komersialisasi di perguruan tinggi. ***

--

--