Para Pembaca yang Mati

KBMP Bali
Kelompok Belajar Mahasiswa Progresif (KBMP)
4 min readDec 7, 2017
Global Freedom Fighters

LIMABELAS tahun yang lalu, Carlos Maria Dominguez menuliskan salah satu karya besarnya yang berjudul Rumah Kertas (La casa de papel). Melalui buku ini, ia menarasikan kisah tentang bibliofil (pecinta buku), yang secara ironik, terkena musibah dan mati karena buku: mulai dari profesor sastra yang tewas tertabrak mobil di tikungan jalan ketika sedang membaca puisi Emily Dickinson; profesor sepuh pengajar bahasa kuno yang lumpuh setelah ditimpa lima jilid Encyclopaedia Britannica; seorang yang kakinya patah akibat terpelanting dari tangga ketika mencoba menjangkau karya Faulkner yang menyempil di rak — hingga yang paling konyol, adalah anjing yang mati salah cerna gara-gara menggigiti halaman novel Karamazov Bersaudara karya sastrawan Rusia, Fyodor Dostoyevsky.

​Matinya para pembaca karena kegilaannya atas buku adalah sebuah metafora yang memproyeksikan sinisisme terhadap semesta penggila buku. Dominguez bahkan menggambarkan kesinisannya lebih jauh melalui tokoh Carlos Brauer yang terjebak ke dalam “kesadaran skizofrenik” setelah ia menghabiskan hampir seluruh hidupnya untuk mengoleksi buku-buku langka. Di akhir cerita, Brauer memilih untuk mengasingkan diri ke pesisir paling jauh di Uruguay dengan memboyong seluruh buku-bukunya. Nyaris di batas laut sana, Brauer menjadikan buku-bukunya sebagai bata dan mencampurkannya bersama semen untuk membangun gubuk pengasingannya.

​Berserakan di seputar pintu dan jendela gubuk pengasingannya, terdapat karya Huidobro, Neruda, dan Bartolomeo de las Casas yang disatukan jadi bata yang kukuh; potongan Eliot, potongan Lorca, dan El Renacimiento karya Burckhardt mengeras bersama kerang-kerang kecil, hingga Palliere yang sudah tidak bisa dikenali telah bercampur dengan lanyau — dan semuanya berharga dua puluh ribu dolar.

​Pengasingan yang dilakukan oleh Brauer dapat dibaca secara semiotis sebagai alegori bagi penggila buku yang tercerabut dari realitas sosial di sekitarnya. Di saat petani Kulon Progo dirampas tanahnya untuk pembangunan bandara; ketika petani Kendeng berjuang mempertahankan ruang hidupnya dari pembangunan pabrik semen; hingga di tengah banyaknya orang yang tidak dapat mengakses pendidikan yang mahal — tidak sedikit dari bibliofil ini yang justru mengasingkan diri ke dalam kastil aksaranya. Buku berubah menjadi candu yang hanya menggambarkan “status sosial” sebagai kelas menengah terpelajar, yang dipampangkan di rak-rak sebagai sebuah “kebanggaan”, hingga akhirnya buku tidak lagi menjadi instrumen yang membebaskan, melainkan hanya menjadi “kurungan” bagi pembaca yang hidup di atas menara gading meski disaat yang sama penindasan terjadi di sekitarnya.

Bukan sesuatu yang sifatnya berlebihan, jika para pembaca — apalagi mereka yang mendaku sebagai filsuf — terikat oleh “kodrat politis” untuk terlibat dalam kerja-kerja pembebasan. Sebab, “membaca” itu sendiri adalah tindakan yang sangat politis, karena teks tidak pernah hadir dari ruang kosong: teks lahir dengan konteks ekonomi-politik tertentu; relasi-relasi sosial yang spesifik; dan wacana-wacana ideologis yang dominan. Oleh sebab itulah, teks adalah sebuah “medan perang”, dan membacanya berarti terlibat ke dalam “medan perang” tersebut.

Bagi rezim yang totaliter, puisi bisa menjadi sesuatu yang sangat subversif, hingga Soeharto harus menghilangkan figur seperti Widji Thukul atau membredeli Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Menarik ke belakang lebih jauh, di saat Konstantinopel runtuh, ratusan ribu buku yang tidak sesuai dengan ajaran penguasa dibuang ke laut. Di Abad Kegelapan, banyak buku yang dibakar oleh otoritas gereja karena dianggap sebagai sesuatu yang menyesatkan. Bahkan perpustakaan Alexandria, yang pernah menjadi perpustakaan terbesar di dunia, lenyap tak tersisa. Umberto Eco pun menggambarkan tentang perpustakaan biara yang terbakar habis di novelnya Il nome della rosa, yang ia tulis di akhir abad ke-19 ketika logika dan rasionalisme menjadi diskursus filsafat yang sentral di Eropa.

Medan perang seperti ini, khususnya di Indonesia, pun dapat ditilik secara spesifik dengan membuka kembali sejarah tentang konflik kesusastraan antara “sastrawaran kiri” yang meyakini bahwa kerja budaya (seni, sastra, dll) harus mengabdi pada pembebasan kaum tertindas, dengan politik sebagai panglimanya, dan ideologi yang berada di atas seni, terhadap gerombolan “sastrawan reaksioner” dengan Manifesto Kebudayaannya yang menolak politisasi atas kerja budaya, karena dianggap melanggar prinsip-prinsip estetika. Jelas, bahwa teks tidak pernah hadir sebagai entitas yang netral, melainkan selalu bersifat politis, hingga kontestasi ideologis pun sedang berlangsung di sana.

Orde Baru menjadi titik patahan sejarah yang mengubah konfigurasi politik dari teks-teks yang kita baca. Jika hari ini, rak populer di toko buku justru diisi oleh buku-buku motivasi yang berisi petuah praktis oleh motivator ngehe, maka sudah seperti itulah hasil dari pembodohan selama bertahun-tahun dan relasi kekuasaan yang melakukan kurasi atas buku yang kita baca. Bahkan sebelum memasuki medan perang yang sesungguhnya, para pembaca telah dibunuh oleh “struktur”.

Namun, yang menjadi persoalan sesungguhnya, adalah mereka yang berhasil masuk ke “medan perang”, namun terbunuh oleh dirinya sendiri: ketika hari ini, petani berbaris menantang alat berat yang akan menghancurkan ruang penghidupan mereka, namun para terpelajar yang khatam membaca ribuan buku justru sibuk dengan seminar-seminar di ruangan ber-AC, bahkan yang paling ironis adalah pembaca yang keranjingan bercerita tentang revolusi dan kehidupan yang lebih baik setelahnya, tetapi tidak pernah melakukan kerja-kerja pengorganisiran — maka sejatinya para pembaca itu tak ubahnya dengan Brauer yang terjebak ke dalam “kesadaran skizofreniknya”.

Mereka mencintai buku, hidup di dalam teks, namun tercerabut dari realitas sosial yang nyata. Begitulah gambaran dari pembaca yang mati, yang menjadikan buku-bukunya hanya sebagai alat untuk mencitrakan diri sebagai yang paling maju dan yang paling canggih, teralienasi di atas menara gadingnya sendiri, dan pada akhirnya hanya menunggu jasadnya untuk membusuk di tempat yang tidak akan mungkin bisa dijangkau di atas sana.***

--

--