Selalu Ada Alternatif: Tak Mungkin Ada Perubahan Melalui Sistem yang Rusak!

KBMP Bali
Kelompok Belajar Mahasiswa Progresif (KBMP)
8 min readNov 30, 2017
TML Weekly

BAGAIMANA kita seharusnya menyikapi pemilihan umum mahasiswa (“Pemilu Raya”) di tengah semrawutnya tata kelola birokrasi kampus? Apakah mandulnya mahasiswa untuk menjadi instrumen kontrol terhadap birokrasi adalah semata karena tidak kompetennya presiden BEM yang terpilih? Jika demikian yang terjadi, apakah itu berarti bahwa jalan yang paling efektif untuk memperbaiki tata kelola birokrasi di kampus adalah dengan menggantikan “presiden BEM yang tidak kompeten” dengan “individu yang lebih berkualitas?”

Tulisan ini mencoba untuk menguraikan suatu analisis mendalam yang membantah premis bahwa yang menjadi persoalan utama dari impotennya kontrol mahasiswa terletak pada “individu-individu yang memimpin di BEM”, melalui analisis struktural. Atau dalam bahasa yang lebih sederhana: alih-alih melihat akar masalah terletak pada “individu (Presiden BEM)”, kami justru melihat bahwa sumber persoalannya terletak pada “sistem lembaga Pemerintahan Mahasiswa (PM)” itu sendiri yang secara inheren memang tidak akan pernah bisa menjadi oposisi nyata terhadap semrawutnya birokrasi di kampus, bahkan jika lembaga PM dipimpin oleh individu yang berkualitas sekalipun.

Naskah ini sekaligus menjadi pledoi KBMP yang dituding hipokrit (munafik) karena menolak masuk ke sistem untuk mengubah dari dalam. Melalui studi empiris, pembedahan sejarah, dan perbandingan dengan gerakan mahasiswa di kampus lain, kami akan menawarkan solusi/alternatif lain yang bisa menjadi model gerakan mahasiswa yang lebih efektif dalam menjalankan peran mahasiswa sebagai mitra kritis birokrasi di kampus.

***

SEJARAH PEMERINTAHAN MAHASISWA DI INDONESIA

Sebelum masa Orde Baru, universitas-universitas di Indonesia pernah memiliki pemerintahan pelajar yang disebut dengan Dewan Mahasiswa (Dema) dan Majelis Mahasiswa (MM). Pemerintahan mahasiswa yang eksis pada masa kemerdekaan ini adalah organisasi yang sangat independen, dan karena kekuatan politiknya yang kuat terhadap pemerintahan negara, model organisasi seperti ini diberangus di masa Orde Baru pada tahun 1978 dengan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK/BKK). Akibatnya, Dema dan MM yang sifatnya partisipatoris dibekukan dan dilarang untuk didirikan kembali.

Seperti yang telah diketahui, NKK/BKK adalah upaya pemerintah untuk mengebiri aktivitas politik mahasiswa kala itu. Dan selama masa kevakuman itu, muncullah aksioma di perguruan tinggi bahwa “kehidupan normal di kampus yang terpusat semata pada aktivitas pembelajaran akademik, merupakan satu-satunya pola kehidupan yang layak dan mesti dijalani”.

Meskipun di awal tahun 1990-an, kebijakan NKK/BKK dicabut dan Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK) dikeluarkan sehingga memberikan ruang kembali bagi hadirnya organisasi mahasiswa, akan tetapi PUOK ini memberikan batasan-batasan bahwa organisasi kemahasiswaan yang diakui hanyalah Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), yang terdiri atas Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). SMF yang memegang fungsi eksekutif inilah yang kemudian menjadi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di kemudian hari.

MENGAPA BEM KEMUDIAN BERMASALAH?

Ketika pemerintah mengeluarkan regulasi yang sedikit memberikan keleluasaan untuk terhimpunnya organisasi mahasiswa kembali, kita perlu memahami bahwa kebijakan tersebut tidak terlepas dari kepentingan politis pemerintahan untuk memfragmentasikan model pemerintahan mahasiswa yang lebih terorganisir dan representatif seperti Dema, menjadi pemerintahan perwakilan yang tetap berada di bawah kontrol birokrasi kampus seperti BEM.

Inilah alasan pertama mengapa model pemerintahan seperti BEM justru problematik untuk menjadi front pergerakan politik mahasiswa. Karena struktur BEM yang berada di bawah relasi kuasa birokrasi kampus, maka terdapat garis demarkasi yang tidak bisa dilewati oleh BEM secara kelembagaan. Terdapat kontradiksi internal antara “kebutuhan politik mahasiswa” terhadap “kepentingan politik birokrasi”, yang hanya menciptakan konflik kepentingan antara keduanya. Ketika konflik kepentingan ini meledak, maka BEM secara kelembagaan tidak akan bisa melakukan apa-apa akibat dari patronase yang sifatnya legal dari birokrasi kampus atas BEM. Jadi secara de facto, model pemerintahan seperti BEM tidak akan pernah bisa untuk otonom dari birokrasi kampus itu sendiri.

Selanjutnya, karena secara struktural pemerintahan mahasiswa seperti BEM memberikan distingsi antara “fungsionaris aktif” dan “massa pasif”, maka BEM bukanlah organisasi yang sifatnya partisipatoris. Satu-satunya momen di mana mahasiswa dilibatkan secara langsung hanyalah ketika Pemilu Raya. Akan tetapi, setelah Presiden Mahasiswa telah terpilih, maka relasi antara mahasiswa dengan wakilnya berubah menjadi “perwakilan penuh”. Tidak ada pola kelembagaan yang menjamin keterlibatan mahasiswa dalam perumusan program kegiatan. Semua program kerja hanya dirumuskan oleh “wakil-wakil yang telah terpilih” secara tertutup. Prinsip yang terbentuk bukan lagi demokrasi kerakyatan, tapi demokrasi perwakilan.

Jika secara struktur kelembagaan BEM telah membagi peran antara fungsionaris yang aktif dan massa pemilihnya sebagai agensi yang pasif, maka secara inheren lembaga seperti BEM tidak akan mungkin bisa memiliki daya tawar politik terhadap birokrasi, karena posisi kelas BEM sebagai lembaga telah terlepas dari massa. Akibat dari posisi kelembagaan BEM ini, maka wajar saja jika output yang dihasilkan berupa proker yang tidak mengangkat persoalan yang riil terjadi di mahasiswa maupun massa rakyat secara luas.

Selain itu, mekanisme pemilihan Presiden Mahasiswa yang menggunakan sistem voting, tidak mungkin menjamin representasi suara yang adil terhadap keseluruhan aspirasi mahasiswa. Sebab, asumsi teoretis yang mendasari sistem voting adalah ketersediaan “informasi sempurna” bagi pemilih (voters) untuk membuat keputusan berdasarkan kualitas calon presiden yang akan dipilihnya.

Asumsi teoretis ini jelas sangat bermasalah. Sebab, para pemilih bukanlah manusia yang 100% rasional. Dalam hal ini, pemilih bisa diyakinkan untuk memilih “calon yang buruk” melalui pencitraan yang dilakukan melalui kampanye; kampanye hitam yang menyerang paslon lawan; hingga melalui serangan fajar yang dilakukan oleh pasangan calon terhadap pemilih, dan seterusnya. Yang artinya, secara teori pun tidak akan mungkin ada “informasi sempurna” bagi pemilih, karena informasi yang diterima oleh pemilih bisa dimanipulasi.

Pada konteks Pemilu Raya yang telah dilakukan di Universitas Udayana tempo hari, kurang dari 20% Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang melakukan pemilihan calon, yaitu hanya 4.483 orang yang memilih dari kurang lebih 25ribu pemilih tetap, yang secara jelas memperlihatkan bahwa mekanisme kelembagaan seperti BEM tidaklah berbasis kepada massa nyata dan sangat tidak representatif. Tidak hadirnya massa terhadap pemilihan calon jelas menunjukkan bahwa lembaga seperti BEM tidak akan pernah bisa untuk menjadi instrumen aktivitas politik mahasiswa.

Jika mengacu pada realitas objektif di kampus ini, lembaga seperti BEM ibarat pedang tumpul yang tidak akan mungkin bisa menjadi kontrol atas birokrasi. Sebab, masih banyak massa di kampus ini yang belum memiliki kesadaran politik seperti di daerah-daerah lain (seperti Sulawesi dan Jawa). Oleh sebab itulah, pada konteks kampus ini, BEM pada hakikatnya memang hadir hanya untuk meredam kontradiksi kepentingan antara mahasiswa (yang mulai sadar) dengan birokrasi kampus, ketika pihak birokrasi merampas hak mahasiswa.

Ketika mulai terjadi perlawanan ekstraparlementer yang terorganisir sebagai upaya kepeloporan untuk memantik kesadaran mahasiswa lainnya, lembaga PM ini justru hadir — meminjam istilah Lewis Coser — sebagai “katup penyelamat” untuk meredam tensi agar perlawanan yang ada tidak menciptakan instabilitas (ketidakstabilan) lebih jauh di kampus. Padahal, konflik sosial yang sifatnya vertikal (terhadap birokrasi) diperlukan untuk memperbaiki sistem birokrasi yang tidak akuntabel.

Konflik terhadap birokrasi melalui cara ekstraparlementer (dari luar sistem) dianggap sebagai sesuatu “yang tidak elegan” dan “bukan cara akademisi-terpelajar” karena instabilitas yang dihasilkannya, dan timbul asumsi bahwa alternatif satu-satunya adalah dengan masuk ke dalam sistem. Padahal, jika kita belajar dari gerakan-gerakan rakyat secara luas, perbaikan sistem selalu terjadi dengan memulai konflik dari luar sistem. Gerakan Bali Tolak Reklamasi di Bali adalah model gerakan yang bisa menjadi contoh bahwa metode ekstraparlementer lebih efektif, ketimbang berpikir bisa mengubah kebijakan dari dalam. Kenyataannya, mahasiswa di sini masih “terlalu angkuh” (atau mungkin belum tahu) untuk belajar dari gerakan rakyat seperti kaum buruh dan tani, yang juga menggunakan cara di luar parlemen dalam memperjuangkan hak-haknya — sebuah otokritik tersendiri kepada gerakan kepeloporan yang belum berhasil mendidik massa.

Kita perlu memahami bahwa pemerintahan mahasiswa bukanlah satu-dua kepala pemerintahan (Presiden BEM) saja. Ibarat sebuah mesin, Presiden BEM hanyalah salah satu sekrup yang memutar roda-roda agar tetap berputar, dan bukan inti utama dari sebuah sistem. Meskipun, misalnya, kader terbaik KBMP sekali pun yang masuk ke dalam sistem seperti BEM, yang akan terjadi justru “keterasingan” (alienasi) terhadap sistem yang sejak awal sudah rusak, dan pada akhirnya ikut terjebak ke dalam event-event yang tidak relevan.

Tidak hadirnya kader KBMP dalam Pemilu Raya didasari oleh analisis mendalam atas situasi konkret di kampus ini. Proses demokrasi yang dilihat sebatas pemilihan Presiden Mahasiswa, telah mereduksi makna sejati demokrasi yang seharusnya bertujuan untuk kedaulatan rakyat (yang dalam konteks ini, adalah mahasiswa). Dan KBMP tidak melihat adanya prakondisi bahwa melalui lembaga seperti BEM, demokrasi sejati akan tercapai. Oleh sebab itulah, diperlukan model kelembagaan alternatif untuk memperbaiki proses demokrasi di kampus ini.

SELALU ADA ALTERNATIF

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, lembaga pemerintahan mahasiswa seperti BEM sudah rusak sejak dari intinya, karena beberapa faktor: relasi kuasa birokrasi dengan aparatus pengetahuannya terhadap BEM; terdapat distingsi antara fungsionaris aktif dan massa yang pasif, yang membuat BEM secara kelembagaan terlepas dari massa; dan tidak hadirnya massa luas dalam pemilihan calon, menjadi bukti bahwa BEM tidak representatif untuk massa. Ditambah realitas objek di kampus ini, di mana masih banyak sekali massa yang kesadaran politiknya masih dekaden (mundur), yang masih tunduk di bawah postulat kehidupan kampus yang normal hanyalah aktivitas akademik saja. Sebagai hasil sintesa atas tesis dan anti-tesis dari situasi konkret di kampus inilah, kami menawarkan dibentuknya Komite Sentral Mahasiswa.

Komite Sentral Mahasiswa adalah perhimpunan yang khusus dibuat untuk melakukan pemetaan rencana strategis terkait gerakan politik di kampus ini, dengan melibatkan seluruh elemen mahasiswa: BEM/BPM di 13 fakultas; Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM); organisasi intra kampus; hingga seluruh publik mahasiswa. Karena sifatnya yang dikonsolidasikan dari bawah, maka komite ini bersifat sangat independen dari relasi kuasa birokrasi di kampus, karena dibuat sebagai front sentral perjuangan politik mahasiswa.

Sebagai gambaran, ini adalah rancangan struktural dari Komite Sentral Mahasiswa:

Rancangan Struktural Komite Sentral Mahasiswa

ELEMEN-ELEMEN YANG TERLIBAT DALAM KOMITE SENTRAL:

- BEM/ BPM dari 13 Fakultas dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) berhak mendelegasikan minimal 2 orang anggotanya ke Komite Sentral;

- Organisasi Intra Kampus, hingga seluruh mahasiswa memiliki hak untuk terlibat ke dalam Komite Sentral;

Secara struktural, Koordinator-koordinator bersama Departemen-Departemen Khusus bertugas untuk merancang Rencana Strategis terkait gerakan politik mahasiswa di internal kampus. Rencana Strategis yang dibuat, akan didiskusikan secara bersama kepada seluruh elemen yang tergabung di dalamnya melalui forum konsolidasi untuk disepakati secara demokratis. Hasil penyesuaian pandangan inilah yang kemudian akan menjadi arah gerak politik kita.

Mengenai mekanisme pemilihannya, koordinator dipilih secara demokratis melalui musyawarah-mufakat yang melibatkan mahasiswa, untuk menganulir kelemahan dari sistem voting yang telah disebutkan sebelumnya. Musyawarah-mufakat dilakukan agar aspirasi minoritas ikut dipertimbangkan, tidak seperti prinsip voting yang hanya berdasarkan pada suara terbanyak.

Konsep yang ditawarkan oleh Komite Sentral Mahasiswa ini adalah Demokrasi Langsung, dan bukan model Demokrasi Representatif (perwakilan), sehingga tidak ada fungsionaris aktif dan massa pasif, tapi seluruh elemen dianggap sebagai satu tubuh yang menggerakkan mesin — sehingga partisipasi politik seluruh mahasiswa terjamin. Dan tidak seperti lembaga BEM yang terpecah fokus dengan proker-proker yang banyak, komite ini adalah semacam lembaga ad hoc untuk membahas persoalan yang terjadi di kampus.

Model Komite Mahasiswa seperti ini, tentu saja bukanlah hal yang baru. Di beberapa kampus seperti Universitas Brawijaya, terdapat Komite Pendidikan yang juga memiliki fungsi serupa. Berpijak pada analisis material dan situasi konkret di Bali, maka KBMP menyarankan untuk mencoba mengadopsi model Komite Sentral Mahasiswa sebagai front politik mahasiswa. Dengan adanya Komite ini, pendidikan politik terhadap mahasiswa secara keseluruhan juga dapat dilakukan secara efisien karena mekanismenya yang bersifat kolektif-kolegial bersama publik mahasiswa.

Sudah saatnya konflik horizontal (antar sesama mahasiswa) diubah menjadi konflik vertikal (kepada penguasa). Jika aksi-aksi KBMP terahadap sistem turut menghantam lembaga-lembaga mahasiswa lain secara tidak langsung, maka hal itu wajar terjadi karena lembaga tersebut masih menjadi bagian dari “sistem yang rusak”. Maka konsolidasi antar seluruh elemen mahasiswa perlu dilakukan “dari luar sistem”, karena sebenarnya mahasiswa adalah pihak yang dirugikan oleh tidak akuntabelnya birokrasi kampus.

Posisi kami tegas menolak tesis Thatcher yang mengatakan bahwa tidak ada alternatif lain, sehingga muncul anggapan bahwa hanya dari dalam sistemlah perubahan dapat tercapai. Selalu ada alternatif-alternatif yang layak dicoba untuk menuju perubahan yang sejati.***

--

--