Mengikuti Jejak Agatha Christie

Arif Abdurahman
Kearipan
Published in
2 min readFeb 26, 2016
Agatha Christie

“Mahasiswa keperawatan,” kelakarnya berusaha memulai perbincangan dengan saya yang sedang membaca Dari Jawa Menuju Atjeh-nya Linda Christanty, “tapi bacanya sastra, filsafat, politik.”

Saya tersenyum kecut, tapi masih anteng saja membaca. Ingin sekali sebenarnya membela diri: Hey, tahu enggak Agatha Christie? Dia itu penulis, yang bukunya paling laris terjual di seantero dunia (hanya kalah dari Alkitab — juga Al-Quran, dan karya Shakespeare), dan dia itu asalnya seorang perawat, lho. Dan Jeal-Paul Sartre, sang filsuf eksistensialis dari Paris itu, ketika wajib militer dia jadi juru rawat. Tapi sayangnya, mulut saya tak secerewet kepala saya, dan saya masih menekuri bacaan jurnalisme sastrawi tadi.

Banyak yang menyangka saya anak sastra, dan meragukan ketika saya bilang kalau saya mahasiswa keperawatan. Memang sih, saya sering jajan, utamanya mie ayam, di kantin Fakultas Sastra (sekarang namanya Fakultas Ilmu Budaya) yang memang tetanggaan dengan fakultas saya. Saya hanya doyan baca novel dan cerpen aja sih, dan sebenarnya enggak terlalu peduli masalah kesusasteraannya, saya hanya ingin berekreasi lewat membaca. Dan karena kegiatan membaca tadi, timbul kegairahan untuk menulis juga. Ya, saya ingin menjadi penulis!

Salah satu alasan kenapa saya ambil jurusan keperawatan, karena ingin pergi ke Jepang, selain karena memang waktu itu saya seorang yang enggak punya cita-cita apa pun. Saya ingin jadi Kangofukushisi, perawat di panti jompo (seperti Adachi Kumi di novel 1Q84), yang bekerja untuk kontrak waktu 2 tahun, mengasah kemampuan Bahasa Jepang saya sehingga akhirnya bisa baca karya-karya Kawabata, Akutagawa, sampai Murakami dalam bahasa aslinya.

Pada akhirnya, semoga saya bisa menapaki jalan kepenulisan seperti halnya seorang Agatha Christie.

--

--