Park Chan Wook, Lelaki yang Menyematkan Sinema Korea dalam Peta

Sang sutradara ini menggabungkan humor gelap, kepekaan pelukis pada komposisi dan banyak darah muncrat. Namun di balik kekerasan itu ada kemanusiaan yang dalam — dan cinta yang absurd.

Arif Abdurahman
Kearipan
2 min readAug 23, 2019

--

Kami sedang di warung mie yang ramai di Paju, Korea Selatan, saat Park Chan Wook mengeluarkan dua kamera dan pemutar musik digital dari tasnya dan meletakkannya di meja kami. “Ini adalah perpanjangan tubuh saya,” katanya.

Chan Wook, yang berusia 54 tahun ini, bisa dibilang sutradara film Korea Selatan yang paling kondang, dikenal secara nasional dan internasional untuk trilogi balas dendamnya tahun 2002–05 — “Symphaty for Mr. Vengeance,” “Oldboy” dan “Lady Vengeance” — film yang membantu membawa sinema Korea ke panggung dunia sekaligus menegaskan Chan Wook sebagai seorang penyelidik ​​yang tak kenal takut atas kekerasan dalam hati orang-orang. Quentin Tarantino menganggapnya sebagai salah satu pembuat film favoritnya, dan Spike Lee sangat mengagumi hit internasional “Oldboy,” yang ia buat ulang pada tahun 2013. Sekarang, Chan Wook mengalihkan perhatiannya pada seks. Tahun lalu, ia merilis film terbarunya, “Aghassi,” atau “The Handmaiden,” sebuah adaptasi dari novel Sarah Waters tahun 2002, “Fingersmith,” yang telah dipuji secara internasional sebagai karya film erotis. Film ini sangat populer di Korea sehingga ia mengilhami komunitas penggemar yang luas yang biasanya hanya terjadi pada para idola K-pop remaja, dengan papan buletin forum internet yang dikhususkan untuk fanfiction, art tribute buatan fan, lencana, stiker, saputangan dan alat tulis, surat dan bahkan lagu rap dengan dialog dari film yang diubah ke beat hip-hop. “Saya tidak pernah merasakan cinta fans yang seperti ini,” katanya.

--

--