Pergi ke Toserba, Kim Aeran
Aku pergi ke toko serba ada. Paling banter beberapa kali dalam sehari, paling sedikit seminggu sekali, aku pergi ke sana. Dan tentu saja, seringnya, aku selalu berakhir memerlukan sesuatu.
Seoul, 2003, ketika perjanjian-perjanjian dan kesempatan saling bertemu serta bencana-bencana berlalu seperti kotak-kotak yang dipakai untuk pindahan. Bagi kami, sambil menatap hampa pada tangan kosong kami, hadirlah toserba, seperti sebuah legenda yang asal-usulnya telah hilang dalam kabut waktu. Seperti seorang simpanan suami yang duduk di ruang tamu, bertingkah tanpa perasaan berdosa. Atau seperti waktu vakum — tertutup dalam kaleng makanan. Tak ada yang membangkitkan kecurigaan.
Bagi orang Seoul tahun 2003, kebiasaan menjadi isu yang sama pentingnya dengan keselamatan. Dan bagi mereka yang pucat pasi, orang-orang yang terus-menerus memeras otaknya untuk mengatasi masalah yang dihadapi orang Seoul tahun 2003, toserba datang. Bertebaran di sana. Mereka muncul dalam sekejap.
Banyak orang datang dan pergi ke toserba. Siapa mereka? Tidak mungkin kita tahu pasti, tetapi mereka semua adalah orang-orang yang setidaknya punya satu album foto mereka sendiri. Orang-orang yang, berada di tempat kedua saat lomba lari di hari olahraga sekolah, terkejut bersitatap dengan bocah di tempat pertama yang melirik ke belakang; atau yang mengemis minta uang dari saudara mereka untuk kencan dengan seorang gadis; atau melihat pertanyaan-pertanyaan di halaman pertama di tiap buku ujian memuakkan yang mereka dapatkan; atau yang mencari kata-kata seperti “alat kelamin” atau “hubungan seksual” di kamus, meski mereka tahu betul apa artinya. Atau orang yang akan melakukannya suatu hari nanti. Tetapi kita tetap tidak bisa saling mengenal. Hal semacam itu bukan kebiasaan kami — belum.
Orang yang pernah kujumpai sekali, atau mungkin tidak sama sekali, mampir di toserba beberapa kali dalam sehari. Di antara mereka, akan ada pasangan muda yang makan ramyeon setelah berhubungan seks di ruang video pribadi, dan mungkin ada wanita yang membeli susu, haus setelah melakukan aborsi di rumah sakit terdekat, lalu seorang sarjana pengangguran yang hendak membeli rokok setelah mendapat cacian dari ayahnya, seorang seniman yang berkarya dengan menyembunyikan namanya, seseorang yang baru saja kehilangan pekerjaan, mata-mata, atau mungkin Yesus yang menyamar jadi pengemis. Tetapi toserba tidak akan bertanya. Itu benar-benar penyambutan yang paling hangat dan murah hati.
Tempat ini adalah lingkungan perumahan di dekat sebuah universitas. Ada tiga toserba. Berpusat di sekitar perumahan, tiga toserba itu membentuk pola sebuah segitiga, terpisah satu sama lain kurang dari tiga puluh meter. LG25 berada di samping perumahan, Family Mart berada tepat di seberang jalan, dan 7-Eleven agak jauh dari Family Mart.
Dalam garis lurus dari perumahan adalah LG25, berbelok sedikit ada Family Mart, dan berbelok lagi ada 7-Eleven.
Aku tidak ingat kapan ketiga toserba itu berdiri di sana. Hal-hal akan terus muncul dan menghilang di tempat ini, dan toko-toko yang muncul sekali kemudian akan muncul lagi. Motel murah, warnet, kedai kopi, pub, gereja … Dan tak lama kemudian, toserba mulai nongkrong di antara toko-toko ini seperti siswa pindahan berpakaian rapi yang duduk di antara murid lain.
*
Toko yang paling sering kukunjungi adalah 7-Eleven. Tidak ada alasan khusus, hanya karena lokasinya; saat berjalan pulang, toko itulah yang pertama kali terlihat. Aku selalu mampir ke toserba itu saat jam kerja ketika mobil-mobil membentuk karangan bunga Natal yang panjang dan berkelap-kelip. Dalam perjalanan pulang, 7-Eleven akan berdiri di sana, papan tandanya bersinar terang. Tempat itu, memamerkan isi perutnya dari lantai ke langit-langit lewat dinding kaca, seolah-olah tidak ada yang disembunyikan. Ketika aku melewati 7-Eleven, aku mulai ragu, “Mungkinkah tidak ada satu pun yang kuperlukan di antara banyak barang itu?” Kemudian, seperti seorang guru dengan lembut menepuk kepala muridnya, memberi tahu jawaban yang benar untuk sebuah soal matematika yang dijawab salah, 7-Eleven selalu menawarkan sesuatu yang akan kubawa.
Aku masih punya tisu toilet di rumah, tetapi kita tidak pernah tahu kapan semua akan habis, jadi aku akan membeli tisu toilet. Aku tidak punya persediaan nasi di rumah, tetapi karena nasi adalah sesuatu yang selalu ada, aku akan membeli sekaleng tuna. Karena aku sudah membeli sekaleng tuna, aku harus memakannya dengan nasi, dan jika aku punya sajian makanan seperti itu, aku ingin menutupnya dengan pencuci mulut yang manis, jadi aku akan beli yoghurt.
Suatu hari pemilik 7-Eleven dengan rompi seragam hijau menyapaku.
”Halo.”
Saat mata kami bertemu tak terduga, alat pembaca barcode memindai ramyeon kemasan dengan tangan terlatihnya.
“Kamu tinggal di sekitar sini?”
Dia memiliki kulit berwarna tembaga dan perawakan gempal. Saat aku menyerahkan 650 won untuk ramyeon kemasan, kujawab, “Ya,” dan aku bergegas keluar dari toserba itu. Tetapi sejak itu, setiap kali aku ke 7-Eleven, lelaki itu mulai tanya macam-macam tiap kali aku membayar belanjaanku.
“Kamu mahasiswa, ya?”
“Iya.”
“Tahun ketiga?”
“Iya.”
“Tinggal sendiri?”
“Iya.”
“Kuliah di Universitas K?”
“Bukan.”
“Di universitas mana?”
Pelahan kusebut nama universitasnya. Dan setelah itu, kupikir, ya tuhan, pertanyaan berikutnya semoga bukan, “Apa yang kamu pelajari?” Dan ternyata pertanyaannya memang ini:
“Apa yang kamu pelajari?”
Tak diragukan lagi, jika kukatakan bahwa yang kupelajari kesusastraan, tentu dia akan memberikan pidato yang berapi-api tentang pandangan sastrawinya, dan jika kukatakan bahwa aku kuliah di jurusan seni, dia akan mengabsen nama-nama seniman terkenal yang dia tahu. Jika kukatakan bahwa aku mempelajari manajemen pementasan atau hubungan internasional, boleh jadi aku akan dilempari dengan lebih banyak pertanyaan lagi, seperti, “Apa itu?” “Kapan dilaksanakan?” “Apa yang akan kaulakukan setelah lulus?” Dan kemudian dia akan mengatakan bahwa dia “tahu” siapa aku.
Aku berbohong padanya. Kuliner. Dengan itu ia mencoba berseloroh, “Wah! Pasti kamu hebat ngurus rumah!” Lelaki itu akan mulai lagi melanjutkan, “Jadi, kapan kamu akan lulu…”
Jika pada saat itu microwave tidak mengeluarkan bunyi ping, dan semangkuk nasi yang telah dipanaskan tidak diserahkan padaku, dia mungkin akan bertanya lagi, “Jadi, nanti mau kerja di mana?” Ketika aku mulai bergegas pergi, membawa sebuah tas plastik dengan logo 7-Eleven, dia berbicara pada gadis SMA yang telah menunggu di belakangku.
“Bagaimana kakak perempuanmu? Yang ada di universitas kota itu …”
Sejak saat itu, aku tak lagi pergi ke 7-Eleven.
Sebuah jongko makanan ringan muncul di antara LG25 dan perumahan. Kios itu menjual barang-barang seperti tteokbokki, sundae, dan kue ikan kenyal dengan kaldu bening. Pramusajinya seorang wanita paruh baya dan anak lelakinya. Jongko itu selalu ramai oleh orang-orang yang bosan dengan makanan ringan tengah malam yang disediakan di toserba. Saat aku lapar malam-malam, aku pergi ke sana juga, tentu saja. Di sana kubeli pangsit goreng berbentuk jelek dicampur tteokbokki seharga dua ribu won. Ibu dan anak itu tidak bertanya, apa yang sedang kupelajari, tetapi ketika aku membeli tteokbokki saja, mereka akan menambahkan potongan pangsit goreng atau irisan ubi goreng. Sebagai pelayanan ekstra, wanita tua itu akan selalu membungkukkan tubuhnya ke arahku saat aku berdiri.
Seperti di waktu-waktu lainnya, aku pergi ke jongko itu untuk membeli tteokbokki. Hari itu, tidak ada si wanita tua. Jadi anak laki-lakinya itu yang menjalankan jongkonya sendirian. Ia tampak berusia sekitar akhir dua puluhan dan berkulit gelap, namun memiliki cara bicara yang tak biasa. Saat dia sedang melapisi pangsit goreng dengan saus tteokbokki pedas, seperti yang pernah dilakukan pemilik 7-Eleven,
dia mulai bertanya kepadaku ini itu. Aku menanggapi pertanyaannya dengan seperlunya. Seperti yang dilakukan ibunya, dia membungkuk untuk pelayanan ekstra. Aku menahan napas sampai dia kembali ke postur tubuhnya yang biasa. Dia bertanya, apa yang kupelajari. Setelah ragu sejenak, aku berbohong: “Sastra Korea.” Dengan rasa ingin tahu yang tulus, dia bertanya lagi, apa yang dapat kulakukan dengan gelar sarjana sastra Korea. Aku berkata, apa yang terlintas dalam pikiran, “Nah, Anda bisa menjadi seorang akademisi, atau mungkin seorang jurnalis, atau guru.” Memikirkan tentang hal itu sekarang, aku mengatakannya tanpa ketulusan, tetapi juga tidak membuat sakit hati. Di balik asap yang mengepul dari tong berisi sup, ekspresi lelaki itu tampak muram. Berdiri di hadapanku, mengaduk kaldu ikan dengan sendok panjang, tampak ia berpikir sebentar, lalu bicara dengan nada tertekan.
“Aku juga lulusan universitas. Kerja begini sekadar menjalankan kehidupan yang sederhana.”
Keheningan yang aneh menyapu kami sejenak.
Sejak itu, aku tidak lagi pergi ke jongko itu.
Setelah itu, tiba-tiba segalanya seperti menjadi masalah, apakah aku harus menyapa mereka saat aku lewat, terutama si lelaki. Jika aku menyapanya, tentu akan merepotkan, sebab aku harus melewatinya beberapa kali setiap hari, tetapi kemudian aku khawatir tentang bagaimana mereka akan memandangku, jika aku tak mampir ke jongkonya. Ketika aku harus jalan melewatinya, beberapa meter sebelumnya pikiran itu akan mulai menggangguku. Melewatinya tanpa menyapa sepatah kata pun, bagiku terasa lebih alami dan lebih nyaman. Jika mereka dan aku menghindari tatapan masing-masing, aku pura-pura tidak tahu, seolah-olah sudah ada kesepakatan bersama.
Toserba kedua yang sering kukunjungi adalah Family Mart. Di Family Mart, penjaga konternya wanita, yang kutaksir, berusia di empat puluhan akhir. Rambutnya acak-acakan dengan alis disulam. Dikelilingi barang dagangan di semua sisi, perempuan itu selalu tampak mampus kebosanan. Kadang aku makan ramyeon kemasan di sana dengan punggung membelakangi wanita itu, berusaha keluar dari jangkauan temperamen buruknya.
Family Mart menjalankan bisnisnya paling boyot dibanding tiga toserba yang ada. Mungkin karena, tidak seperti 7-Eleven, pemiliknya tidak merasa wajib someah. Hanya ada satu waktu ketika Family Mart ramai. Saat toserba LG25 di seberang jalan tutup. Plang toko LG25 diturunkan dan bagian dalamnya benar-benar dikosongkan dengan cepat. Hal pertama yang dilakukan Family Mart saat itu adalah menyingkirkan meja plastik tempat pelanggan biasa duduk dan makan ramyeon atau bubur instan. Wanita itu tampak sibuk dan jengkel, dan meja plastik tempat pelanggan makan atau duduk-duduk membunuh waktu membuatnya tambah sebal. Dia mungkin tidak membayangkan bahwa beberapa bulan kemudian Q-Mart yang jauh lebih besar dan mentereng akan muncul di tempat LG25. Setelah pembukaan Q-Mart di seberang jalan, bisnis di Family Mart kembali bergerak tenang seperti sebelumnya. Tapi aku terus pergi ke Family Mart. Seseorang yang hidup sendiri seperti aku memang membutuhkan jalur gerak yang tetap dan kebiasaan tetap. Yang membuatku tak lagi ke Family Mart adalah saat wanita penjaga konter itu meminta identitasku saat aku menyodorkan satu pak kondom di meja kasir. Alasanku membeli kondom di toserba itu, karena mesin penjual otomatis di stasiun kereta bawah tanah terlalu jauh, dan aku tidak punya keberanian untuk masuk, atau keberanian untuk keluar dari toko khusus orang dewasa. Berpikir kalau perasaan malu lebih baik daripada tidak bertanggung jawab, aku meletakkan satu pak kondom seperti pada permainan kartu; dan tepat pada saat itu, pemilik toko yang tampak bosan, atau mungkin juga karena dia benar-benar bosan, bertanya dengan pandangan penuh curiga, “Berapa umurmu?”
Saat aku mengeluarkan dompet untuk mengambil KTP, aku sadar ada tatapan penasaran dari orang-orang yang mengantre di belakangku. Mereka bertanya, mengapa begitu lama membayar, aku berkeringat. Dalam sekejap, wanita itu sudah sembarangan mempermalukan seorang pelanggan perempuan yang untuk membeli satu kotak kondom harus berpikir sepuluh kali, dan harus membeli makanan ringan yang sebenarnya tidak dia butuhkan untuk mengakalinya. Sejak itu, setelah 7-Eleven, aku tidak lagi pergi ke Family Mart. Untuk toko kelontong besar, macam 7-Eleven atau Family Mart, kehilangan satu pelanggan bukanlah masalah serius, tetapi tetap saja, saat itu aku berpikir bahwa aksi boikotku merupakan sebuah balas dendam mematikan. Bayanganku, setiap kali aku membeli sesuatu di Family Mart, wanita itu mungkin akan berpikir, “Cewek yang beli kondom, cewek yang beli kondom.” Ya, pikiran itu juga yang ikut berperan pada keputusanku untuk tidak lagi pergi ke sana.
*
Jadi, melalui pengalaman yang memalukan dan sepele ini, dengan alasan yang cukup adil, pilihan terakhirku Q-Mart. Fitur pertama yang paling kentara dari Q-Mart adalah pintu otomatisnya. Seperti binatang buas dengan indera penciuman yang tajam, pintu otomatis Q-Mart akan meringkuk, dan kemudian jika ada pelanggan yang masuk ke dalam, ia akan terbuka lebar-lebar, menyalak. Pintu otomatis selalu terbuka seolah menawarkan keselamatan.
Pasangan yang menjalankan bisnis Q-Mart berusia akhir empat puluhan. Mereka mungkin membuka Q-Mart dengan kelebihan dana talangan dari krisis keuangan beberapa tahun yang lalu. Aku tidak tahu pasti. Tetapi karena pasangan itu punya wajah yang lembut, aku yakin tentang dugaanku. Orang-orang dengan kepribadian begitu, jarang mencurigai orang bahkan pada usia seperti itu, cenderung memilih tinggal di lingkungan yang membuat mereka tetap jatmika. Mereka tidak tahu tentang penipuan, pengkhianatan, eksploitasi, atau ketidaksetaraan. Mereka mungkin orang-orang yang telah mendapatkan keuntungan setara dengan kerja keras mereka, atau bahkan memperoleh lebih. Ada semacam kekejaman yang tersembunyi dalam kelembutan ini, yang tidak mereka sadari. Jika itu bukan kebenaran, alasanku memaksakannya menjadi kenyataan adalah bahwa setelah melakukannya, keadaanku terasa agak nyaman. Dalam hal itu, tanpa disadari, aku mungkin menyerupai salah seorang pemuda kulit hitam yang menjarah Koreatown selama kerusuhan 1992 di LA. Dengan melunakkan pandangan pada pasangan yang lembut ini, aku bisa sedikit iri pada lingkungan mereka. Aku jujur dan sangat miskin, dan mereka kaya berkat ketidakjujuran mereka. Kebajikan adalah kelebihanku; sifat baik seperti barang dagangan di toko kelontong, bisa ditukar dengan kapan saja.
Hal kedua tentang Q-Mart adalah musiknya. Selalu ada musik yang diputar, biasanya musik klasik yang santai dan menenangkan. Musik di Q-Mart membuat para pelanggan bertahan lebih lama dengan produknya. Seperti tindakan sederhana membungkuk pelan-pelan untuk memungut bunga cantik yang jatuh di jalan setapak, di Q-Mart, gerakanku yang mengambil sebungkus rumput laut siap makan Yangban atau air mineral Jeju SamDaSoo terasa jadi elegan. Alasanku merasakan semacam kepastian setiap kali aku pergi ke toserba mungkin karena, dengan pergi kesana, aku berpikir bahwa aku bisa membeli kehidupan sehari-hari, bukan hanya barang dagangan. Ketika aku pulang dengan suara gemerisik kantong plastik, aku merasa bukan mahasiswa yang sedang bergulat atau wanita yang hidup dalam kesendirian, tidak hanya merasa menjadi konsumen biasa dan pemerhati kota Seoul. Di toko itu, aku membeli kertas toilet Klean Nara, minuman yoghurt Io, kantong sampah sepuluh liter yang dikeluarkan kantor distrik Dongdaemun, pembalut NiceFeel, dan sabun Dove.
Hal terakhir tentang Q-Mart adalah perkara pekerja paroh-waktu. Karyawannya seorang pemuda di usia pertengahan dua puluhan yang tampak apatis dan tidak banyak bicara. Dia bukan lelaki yang tampan, tetapi dia punya wajah yang tampak akrab saat kita melihatnya. Terasa semacam kehangatan. Tetapi, wajahnya seperti seseorang yang bisa kita lihat beberapa kali setiap lima menit jika kita berdiri di stasiun kereta bawah tanah. Tentu saja, apakah dia yang paling ganteng atau paling jelek, tidak berpengaruh bagiku. Yang penting bagiku hanyalah, apakah dia banyak bicara atau tidak. Pemuda di Q-Mart hanya mengatakan apa yang benar-benar diperlukan. Seperti, “Totalnya 2.500 won” atau “Perlukah ini dipanaskan microwave dulu?” Atau “Butuh sedotan?” Tetapi, aku sangat menyukainya. Ketika dia meletakkan tanda barcode dari berbagai produk ke pemindai, monitor yang menghadap pelanggan menunjukkan segalanya, harga setiap item dan jumlah total yang harus dibayar. Jika kami menginginkannya, kami tidak perlu mengatakan apa-apa.
Q-Mart itu biasanya dijalankan si pemuda tadi. Pemiliknya tidak punya banyak waktu. Mungkin saja aku akan sering melihat pemuda itu karena giliran paruh waktunya dan perjalananku ke toserba bertepatan.
Berseragam rompi kerja hijau dengan logo Q-Mart, dia cocok dengan Q-Mart. Dia formal dan profesional, dan bagiku, terlihat seksi. Terkadang karena berbicara dengan gaya Times New Roman, terkadang karena sikap diamnya atau karena status sosialnya yang ditunjukkan lewat baju seragam — dengan “mengenakan” peran tertentu, aku membayangkan diri tersembunyi di baliknya.
*
Setelah selalu pergi ke Q-Mart, aku kembali ke 7-Eleven untuk pertama kalinya. Tiba-tiba aku ingin makan gimbap berbentuk segitiga yang dijual di sana. Tiga toko swalayan semuanya memiliki barang yang sama, ada beberapa produk yang bervariasi sedikit. Sementara ada yang menjajakan banyak produk impor, yang lain menyajikan beberapa produk Korea tersendiri, ada juga pilihan bagus untuk penganan tengah malam. Di tengah malam, saat aku menyeberang dengan pakaian olahraga menuju 7-Eleven, pemiliknya tersenyum lebar seperti yang selalu dia lakukan.
“Lama tak jumpa, ke mana saja?”
Aku mengangguk sedikit sebagai respons sopan. Menanggapi reaksiku, dia bertanya lagi, dengan lembut.
“Mengapa tidak pernah ke sini?”
Setelah memilih gimbap, kulihat-lihat sekeliling toko. Semuanya ada di tempat yang sama.
“Totalnya 700 won.”
Lelaki di kasir menatap lurus ke arahku. Dia menunggu dengan penuh semangat untuk bayaran belanjaanku. Sorot matanya tampak begitu naif, seolah aku baru memikirkannya, aku merogoh jaketku. Tetapi tidak ada sama sekali di sakuku. Aku meraba-raba mencari dompetku. Di depan, lelaki itu tersenyum saat melihatku begitu bingung, aku berkeringat dingin.
“Hm … kurasa aku lupa membawa dompetku.”
Ketika aku beralasan dengan suara lemah, lelaki itu dengan lembut menarik gimbap berbentuk segitiga ke arahnya dan berkata, “Sebaiknya kamu ambil dulu.”
*
Q-Mart berukuran sekitar 700 kaki persegi. Di sepanjang dinding di kedua sisi toko itu ada freezer dan mesin pendingin kaca besar. Barang-barang tersusun rapi di dalamnya, seperti produk daging dan susu serta makanan beku. Di dinding dengan jarak paling jauh dari pintu otomatis, ada mesin pendingin tinggi, terutama untuk minuman. Di balik dinding kaca sebelah pintu otomatis, ada freezer lain dan di dalamnya ada es krim. Jadi, bagian dalam Q-Mart diselimuti sekotak pendingin raksasa dan freezer. Dan itu tidak berbeda dengan toserba lainnya. Toko adalah tempat berbagai jenis waktu membeku ketimbang di dunia luar.
Konter di Q-Mart berada tepat di sebelah pintu otomatis. Di balik konter, berbagai minuman keras dan rokok dipamerkan, dan di sebelah kanan ada pesawat telepon. Di bagian depan konter ada surat kabar dan kupon lotre. Koran-koran ditampilkan di bawah, yang berarti pelanggan menjingjing air mineral, tisu toilet, dan pisau cukur yang ingin mereka beli di atas jenggot Chan Ho Park, di atas senyuman Presiden Kim Dae-jung, atau di atas potret kepala yang tertunduk dari seorang bintang rock yang tertangkap basah kasus narkoba.
Setelah kembali dari mudik, aku menyadari bahwa aku ketinggalan charger teleponku. Sebuah panggilan datang dari rumah mengatakan bahwa mereka akan mengirimkannya. Sampai saat paket tiba, aku memutuskan untuk mengisi ulang teleponku di konter isi ulang di Q-Mart. Masing-masing toserba dilengkapi dengan konter isi ulang baterai telepon semacam itu. Biayanya seribu won untuk tiga puluh menit. Kuberikan teleponku pada pemuda di Q-Mart. Dengan rompi hijau, pemuda itu membuka bagian belakang teleponku untuk memeriksa baterai jenis apa dan kemudian memasukkannya ke salah satu kompartemen di konter isi ulang.
“Kode rahasianya mau apa?” tanya pemuda itu.
Tak tahu, bahwa aku perlu membuat password untuk itu, aku tidak bisa berpikir apa pun dan mulai bingung. Dengan jarinya yang siap di atas keypad, pemuda itu menatapku dengan tatapan kosong.
Aku berseru, “Nol-tujuh-dua-empat.”
Itu adalah hari ulang tahunku. Aku bergumam, “Nol-tujuh-dua-empat …” pemuda itu menekan angka yang mungkin “kode” mungkin “rahasia,” siapa yang tahu, ke dalam mesin. Aku melihat sebentar saat dia mengetik angka ulang tahunku.
“Berapa won?” kataku segera akan membayar biayanya.
Seorang lelaki berada di depanku. Lelaki itu menyodorkan botol bayi dan pemuda itu memindainya. Penasaran seperti apa orang yang membeli botol bayi itu, aku menoleh, tetapi dia sudah bergegas keluar. Setelah menerima pembayaran 1.000 won, pemuda itu tidak lagi punya urusan denganku. Aku berdiri menunggu di konter selama tiga puluh menit. Ketika aku merasa agak malu berdiri tepat di depan pemuda itu, aku mencuri pandang ke dalam Q-Mart, berpura-pura melihat produk yang dijual. Tak terasa, aku sudah terlalu dekat dengan pintu otomatis, jadi ia terbuka lebar. Aku terkejut, dan seolah-olah untuk membuktikan ketakbersalahanku, aku mundur ke belakang. Tampaknya, pemuda itu tidak benar-benar memperhatikanku. Setelah berkeliling di sekitar lorong rak logam, aku membeli beberapa barang yang sebenarnya tak kuperlukan.
Setelah tiga puluh menit, pengisi baterai telepon akhirnya memancarkan cahaya berkelebat yang menandakan pengisian baterai sudah selesai, dan pemuda itu bertanya lagi padaku.
“Tolong, nomornya.”
Bersamaan dengan saat aku membisikkan “Nol-tujuh-dua-empat….” seorang lelaki berkata, “Bisakah saya dulu?”
Lelaki itu menaruh lima bungkus tusuk gigi di meja kasir. Itulah lelaki sarjana “lulusan universitas” dari jongko makan yang belum lama kukunjungi. Kami berpandangan. Syukurlah dia cepat pergi, pura-pura tidak memperhatikanku.
Beberapa saat setelah itu, aku kembali ke Q-Mart untuk mengisi ulang teleponku. Dengan pengisian berkecepatan tinggi, baterai telepon tidak bisa bertahan lama. Pemuda itu akan bertanya nomor rahasia dan setiap kali pula aku menjawab sama dengan “nol-tujuh-dua-empat.” Bahkan setelah paket kiriman dari kampung datang, beberapa kali aku masih mengisi teleponku di Q-Mart.
*
Meski sering ke Q-Mart ini, khayalan terbesarku yang kupikirkan adalah karena aku tidak mengatakan apa pun tentang diriku kepada pemuda berseragam hijau muda itu, kehidupan pribadiku tidak akan terungkap sedikit pun. Sejauh yang kutahu, Q-Mart adalah dunia “Selamat Datang” dan“Terima kasih.” Tepatnya, ketertarikannya pada barang yang dia jual, ketertarikanku pada barang-barang yang kubeli. Tapi setelah menjadi pelanggan tetap Q-Mart untuk beberapa lama, aku baru ngeh, bahwa tanpa kesadaran atau kehendakku, informasiku diakses melalui pemindai yang dipegang pemuda itu dari hari kehari. Misalnya, dia tahu semua preferensiku. Seperti air kemasan yang paling kusuka di antara empat atau lima jenis produk yang ditawarkan, minuman yoghurt yang sering kubeli adalah rasa stroberi atau apel, yang kusukai antara nasi hitam dan nasi putih biasa. Jika dia mau, dia bisa mengetahui ukuran kamarku. Kerap aku membeli kantong sampah ukuran sepuluh liter, tidak mungkin aku tinggal di ruangan yang besar. Dia juga bisa tahu status hubunganku. Seorang wanita yang datang sepanjang malam untuk membeli nasi yang dipanaskan microwave, seorang perempuan muda yang membeli kebutuhan rumah tangganya sendiri, perempuan yang hanya mengambil satu set sumpit sekali pakai, pasti ia masih lajang dan tinggal sendirian. Dia juga tahu kampung halamanku. Ketika aku pergi untuk mengirim sekotak pakaian musim dingin, dia mengkonfirmasi alamatku saat dia menerima biaya layanan. Dia tahu frekuensi menstruasiku. Dia melihat saat aku membeli pembalut secara berkala. Dia melihatku meletakkan satu pak kondom di meja menghadap ke bawah. Dari kebiasaan makan sampai kehidupan seksku, dia tahu dan “melihat” semuanya, karena toserba tempat menjual segala sesuatunya. Dengan kebaikan Q-Mart sebagai tempatku yang paling lama berjalan berkeliling saat berbelanja, tanpa ada percakapan, tanpa sepatah kata pun tentang diriku, tetapi dia lebih mengenalku daripada orang lain. Bahkan, mungkin dia tahu pula kebiasaanku saat aku tidak sadar akan diriku sendiri.
Dia tidak bertanya apa yang kupelajari. Aku ingin memberitahunya. Ini akan membedakan diriku dari sekadar seorang perempuan yang datang untuk membeli kantong sampah. Aku tak berkata, bahwa aku ingin memulai hubungan asmara dengannya. Hanya saja aku merasa tidak senang padanya, karena tahu kehidupan pribadiku. Dia tahu semua, tetapi dia tetap diam, ketidakpeduliannya, telah menjadi tidak meyakinkan. Aku penasaran pada pemuda yang tidak mengatakan apa pun selama satu menit dan tiga puluh detik yang dibutuhkan untuk memanaskan satu pak nasi di microwave, atau dua puluh detik yang diperlukan untuk menghangatkan sebotol Seoul Milk. Aku mengambil bagian dari tubuhku beberapa kali sehari dan mengungkapkan kebiasaan makan dan ekskresiku, tapi engkau, dengan seragam hijaumu itu, selalu acuh tak acuh. Aku tidak tahu apa-apa tentang dirimu. Tapi di lingkungan di mana mereka mengenalku di 7-Eleven sebagai mahasiswa teknik kuliner, di jongko makan sebagai mahasiswa jurusan sastra Korea, di Family Mart sebagai cewek di bawah umur yang beli kondom, dialah satu-satunya orang yang mungkin benar-benar tahu kebenaran sekecil apa pun.
Aku membayangkan. Suatu hari, di tengah jalan yang dikepung ketiga toserba itu, seorang perempuan tertabrak mobil dan terbunuh. Pemilik ketiga toko, jadi saksi, keluar dan bersaksi bahwa mereka “mengenalnya”, tetapi semua pernyataan mereka berbeda. Dalam kesaksian mereka yang berbeda-beda itu, para pemilik toko kelontong akan mulai meragukan ingatan mereka, dan mengubah pikiran mereka, lalu mengatakan bahwa sebenarnya, mereka tidak mengenalnya, mereka “tidak tahu” dia. Dalam menghadapi tiga bantahan seperti itu, lalu, apa yang terjadi dengan perempuan yang jadi korban itu? Siapa dia? Sama seperti cara itu, saat si pemuda mengetik teks dengan punggungnya ke meja kasir, tidak ada yang tahu siapa pembeli yang menaruh hati pada pemuda itu. Bahkan jika seseorang lari ke jalan sekarang, penasaran dengan semua ini, jawabannya tidak akan ditemukan. Jadi aku tidak pergi ke tengah jalan, aku malah pergi ke toserba.
*
Saat itu malam Natal dan Seoul membeku parah. Jalan sepi, lingkungan sepi, banyak orang merayakan Natal di pusat kota. Perusahaan asuransi telah beriklan sejak musim gugur bahwa jika salju turun pada Hari Natal, mereka akan memberikan semua polis kepada kliennya. Salju turun sejak pagi, dan adik perempuanku yang baru saja mengikuti ujian masuk universitas, akan datang ke Seoul untuk mengunjungi beberapa tempat bimbingan belajar persiapan ujian. Rencananya, pertama-tama dia akan datang ke tempatku dan menginap, lalu pergi ke Noryangjin keesokan harinya untuk mencari tahu tentang beberapa universitas pilihan, dan kemudian pulang lagi ke kampung. Setelah mendapat telepon bahwa dia sedang dalam perjalanan, aku berjalan-jalan di antara warnet dan restoran-restoran di dekatnya, tidak keluar dari lingkungan sekitar. Tapi sekitar pukul sepuluh, tidak lama ada telepon dari adik perempuanku yang mengatakan bahwa dia baru saja tiba di Seoul dengan bus terakhir, aku mendapat telepon darurat dari seorang teman. Dengan suara sedih dia mengeluh karena sakit perut dan memintaku untuk datang. Aku mengambil kartu ATM dan teleponku, lalu berangkat. Tetapi, sesaat kemudian, aku tidak tahu harus berbuat apa. Adik perempuanku tidak punya kunci kamarku. Jika hanya sekitar satu atau dua jam, aku bisa menyuruhnya menunggu di warnet, tapi tidak ada yang tahu berapa lama aku bisa berada di rumah sakit bersama temanku. Selain itu, adik perempuanku juga tidak tahu jalan di sekitar Seoul. Aku bisa mencoba meninggalkan kunci itu di salah satu toko yang sering kukunjungi, tetapi hari sudah malam dan ini malam Natal sehingga sebagian besar toko-toko itu pasti tutup sepanjang hari. Aku tidak ingin meninggalkan kunci kamar pada siapa pun yang tidak kukenal. Tidak tahu harus berbuat apa, aku tercenung ragu di dekat pintu. Dan hanya ada satu orang yang terlintas dalam pikiranku — pemuda berompi hijau di Q-Mart. Dia salah seorang dari sedikit orang di lingkungan ini yang mengenalku. Aku langsung menuju ke sana.
Ketika sampai di Q-Mart, pemuda itu sibuk mengurus barang-barangnya sendirian. Dia sedang memindai dosi rak plastik; mengambil uang tunai dari sakunya dan memasukkannya ke kasir. Sepertinya dia hendak mengambil kesempatan untuk makan memanfaatkan waktu kosong. Ketika aku berdiri di depan meja sambil menarik napas, pemuda itu menatapku seolah-olah memandangku sebagai makhluk aneh. Aku ragu sejenak dan kemudian mulai berbicara dengan suara perlahan.
“Hm, permisi, maaf, boleh saya minta tolong.”
Tanpa menaruh makanan yang akan dimakannya, dia menjawab, “Ya?”
Sebelum membicarakan pokok masalahnya, kupikir akan membantu jika pertama-tama aku menjelaskan seberapa akrab kami mengenal satu sama lain.
“Anda kenal saya, kan?”
Ia masih memegang makanan kemasan plastik. Dia menatapku. “Saya … tinggal di sekitar sini … saya yang selalu membeli air Jeju SamDaSoo dan rokok Plus itu …” Ekspresi pemuda itu masih kosong, jadi aku mulai menjejalnya lagi, “Saya suka beli tisu toilet Klean Nara dan kantong sampah ukuran 10 liter, dan jika saya membeli nasi microwave, selalu yang berwarna hitam — Anda kenal saya, kan?”
Dia tampak begitu canggung, seolah-olah dia mencoba mengingat perempuan yang menghabiskan malamnya dengan mabuk. Dan akhirnya, dia membuka mulut, “Maaf Nona, tapi SamDaSoo dan semua barang itu dibeli banyak orang.” Kata-kata itu membuatku menciut. Dia menatapku dengan tenang. Kunci kamar masih berada di sakuku, telapak tanganku berkeringat.
Pada waktu itu, jongko makan pun lenyap. Ada kabar bahwa mereka telah membuka restoran besar di lingkungan yang berbeda, bahwa pemilik toserba telah melaporkan mereka ke pihak berwenang, atau bahwa perempuan setengah baya yang melayani jongko makanan itu jatuh sakit. Aku sedikit penasaran dengan apa yang terjadi pada mereka, tetapi aku merasa lega bahwa aku tidak lagi harus mengatasi ketidaknyamanan melewati kios itu.
*
Tepat enam hari setelah Natal, aku terbaring di tempat tidur tanpa melakukan apa pun. Tanpa televisi di kamar, aku hanya meringkuk dengan santai di bawah selimut. Siaran berita yang meliput acara Tahun Baru terdengar sebentar-sebentar dari sebelah. Suara itu penuh dengan kegembiraan menyambut Tahun Baru. Sama seperti di hari Natal, banyak orang pergi ke pusat kota. Merasa haus, aku membuka kulkas mini. Di dalamnya ada botol air kosong dan selebihnya kosong. Aku tetap meringkuk beberapa saat dan akhirnya aku bangun. Pergi mengenakan jaket hangat, dengan telepon genggamku dan membawa beberapa ribu won. Sekarang aku bangun dan merasa sedikit lapar. Ketika melangkah keluar, salju turun. Q-Mart begitu sunyi. Pukul sebelas malam pada tanggal 31 Desember 2002. Di toko yang benar-benar kosong, pegawai paruh waktu dengan rompi berwarna hijau, mengirim SMS kepada seseorang. Pesannya segera akan diteruskan ke penerimanya. Aku melewati lorong yang panjang dan berdiri di depan lemari pendingin. Aku mengambil sebotol air, dan dari pendingin berikutnya aku mengeluarkan satu porsi pangsit. Ketika sampai di depan kasir, pemuda itu berhenti menulis pesan teksnya dan meletakkan ponselnya di atas rak di belakangnya. Mengingat kejadian saat Natal itu, aku mencoba menduga-duga, apa yang sedang dipikirkannya. Seperti saat itu, ternyata dia sama sekali tidak mengenaliku. Atau kalau tidak, dia bersikap acuh tak acuh. Tapi tidak jadi masalah sekarang. Temanku telah pulih dari sakitnya dalam waktu singkat, dan dengan bantuan pemilik rumah, adik perempuanku bisa masuk kamarku. Pemuda itu memegang botol air dan membaca barcode. Saat itu ada sinyal berdengung. Di tengah apa yang sedang dilakukannya, pemuda itu berpaling ke rak di belakangnya dan memeriksa teleponnya.
“Semuanya 2.800 won.”
Setelah memeriksa pesan, pemuda itu menunjukkan ekspresi yang sedikit kecewa, dan mengeluarkan kantong barang.
“Tolong, panaskan ini.”
Aku menyerahkan kue pangsit. Terdengar himne Injil yang diputar di toserba. Sekarang hanya kami berdua di dalam. Sambil bersandar di meja bar di sepanjang jendela, aku melihat pemandangan di luar. Jalan itu kosong. Begitu aku pindah dari meja kasir ke meja lain, pemuda itu mengangkat teleponnya lagi dan mulai menekan tombolnya. Seperti yang akan kita lakukan ketika seseorang baru saja duduk di kursi di sebelah kita dalam bus antarkota, aku hanya menatap ke luar jendela. Mobil-mobil melaju dengan kecepatan apa pun yang mereka suka. Setiap kali seseorang melewati lapisan tipis salju di tanah, segalanya terbawa dalam kesibukan. Plang 7-Eleven bersinar terang seperti biasa, dan plang hijau Family Mart juga menyilaukan mata. Pemuda itu memeriksa teleponnya beberapa kali lagi, tetapi tidak ada suara yang menunjukkan ada pesan masuk.
Seseorang masuk ke Q-Mart. Seorang lelaki berusia sekitar akhir dua puluhan. Ia mengenakan topi bisbol biru yang ditarik rendah. Lelaki itu melewati rak-rak logam untuk memilih ini dan itu.
Saat itulah, mendadak di jalan terdengar suara keras. Aku, pemuda si pegawai Q-Mart, dan lelaki bertopi bisbol, seketika melihat ke luar. Di balik dinding kaca toko, tepat di depan mata kami, seorang gadis SMA melayang ke udara dan terhempas ke aspal. Di depan persimpangan, ada mobil Sonata warna perak berhenti seolah-olah ikut kaget. Kemudian, seperti hendak menenangkan diri, Sonata itu tiba-tiba berhenti mendadak setelah tadi melaju dengan kecepatan penuh. Pemuda karyawan Q-Mart berlari ke luar. Aku hanya berdiri di sana membeku di tempat. Melalui jendela aku bisa melihat, orang-orang mulai berkumpul. Di antara mereka adalah wanita dari Family Mart. Sepertinya beberapa orang menggunakan ponsel mereka untuk menelepon polisi, kekasih atau keluarga mereka. Batok kepala gadis itu hancur, bagian bawah tubuhnya yang pucat terbuka lebar di balik rok seragam sekolahnya yang tersingkap. Orang-orang membentuk lingkaran di sekitar tempat kejadian, tetapi mungkin karena sangat mengerikan, tidak ada yang berani mendekat.
Aku pergi ke konter. Laki-laki dengan topi bisbol biru yang sudah usang, baru saja mengambil segenggam kartu lotre yang ada di meja dan memasukannya ke dalam jaketnya. Dengan tergesa-gesa aku beralih melihat ke layar di rak, tetapi pada saat yang sama, terdengar bunyi pesan masuk dari telepon yang tergeletak di rak. Untuk sesaat, lelaki bertopi bisbol biru itu dan aku bertatapan. Sepertinya aku berhenti bernapas. Sekali lagi, aku coba menghindari tatapannya, tapi dengan bunyi ping, gerakan berputar microwave, berhenti. Dalam tatapan tegang diantara kami, suara itu keluar begitu jelas, seolah-olah suara yang keluar dari senar alat musik. Mata kecil itu menatapku. Di tempat inilah segala sesuatu terasa segar, dan karena beberapa alasan matanya tampak sangat terluka. Dan … rasanya aku pernah melihatnya di suatu tempat sebelumnya. Sambil pura-pura tetap tenang, aku menjelajahi ingatanku. Di mana ya? Apakah aku melihatnya di Family Mart? Di LG25? Di mana lagi? Aku tidak bisa mengingatnya. Hanya pikiran yang terlintas di belakangnya, dia juga mungkin sepertiku, mungkin seseorang itu tidak ada jika tidak ada toserba ini. Segera setelah itu, pemuda si karyawan tadi kembali ke dalam Q-Mart dengan napas tersengal-sengal. Lelaki bertopi bisbol biru dan aku sendiri berdiri tenang di depan konter.
“Anda melihatnya? Celana dalamnya kelihatan jelas.”
Tanpa sedikit pun memberi respons terhadap provokasi pemuda karyawan Q-Mart itu, lelaki bertopi bisbol biru itu langsung membayar sebungkus permen karet dan bergegas keluar. Aku berdiri diam untuk beberapa saat, wajahku pucat kehabisan warna. Setelah menatap wajahku, tiba-tiba menyadari, dia menuju ke microwave.
“Maaf,” katanya.
Aku mengambil sebungkus pangsit panas yang disodorkannya padaku. Setelah transaksi selesai, aku berdiri tak bergerak di depan pemuda itu, dan dia menatapku seolah-olah aku makhluk aneh. Kupikir tidak benar jika aku tak mengatakan apapun padanya. Tapi pikiranku kosong. Aku mengatakan sesuatu dan bermaksud pergi.
“Anda mendapat pesan masuk.”
Baru saat itulah aku mendekati tempat kejadian. Masih banyak orang berkumpul, dan di jalan salju jatuh pada genangan darah. Tetapi, salju mencair begitu menyentuh darahnya. Yang aneh adalah bahwa orang dari Family Mart sangat sibuk. Sambil menunjuk-nunjuk pada siswi SMA yang terbaring di sana, tampak mata si korban terbelalak seperti kuda kayu yang ada di tempat sirkus, wanita itu bersikeras menjelaskan sesuatu kepada orang banyak.
“Percayalah, dia mau beli sekotak coke, jadi saya pergi ke gudang, dan pada saat itu dia mengambil rokok dan kabur. Jadi saya mengejarnya, dan karena dia terburu-buru, dia langsung berlari ke jalan.”
Sepertinya mobil polisi dan ambulans belum sampai. Siswa SMA yang tadi mencuri rokok dan kini masih tergeletak di jalan, belum tersentuh, dan orang-orang yang berkumpul di sekitar mengusir beberapa bocah dan remaja yang ingin melihat jasad korban. Saat itulah aku melihat lelaki bertopi bisbol biru, menunggu di lampu penyeberangan jalan, berjalan kemudian melangkah ke arah kerumunan orang. Aku memperhatikannya dengan saksama. Lelaki yang tadi mencuri segenggam kartu lotre, tampak seperti menghadapi kepahitan yang mendalam, ia semakin dekat kerumunan orang dan jasad korban yang terbaring di jalan dengan kepalanya yang hancur, kakinya terbuka, dan celana dalamnya kelihatan. Aku melihat sosok lelaki bertopi bisbol biru itu dalam keadaan waspada. Dia berjalan melalui kerumunan, mendekati korban dan membungkuk. Lalu dengan hati-hati ia menurunkan rok anak sekolah itu.
Bahkan setelah lelaki itu datang dan pergi, mata si korban masih terbelalak.
Aku pergi ke toserba keesokan harinya, dan sehari setelah itu. Tidak ada kejadian apa-apa. Pemuda berompi hijau di Q-Mart berubah beberapa kali, tetapi karena karyawan di sana selalu mengenakan rompi kerja berwarna hijau, segalanya seperti tidak ada masalah. Aku pergi untuk mengisi teleponku di sana beberapa kali lagi, tapi pemiliknya menyingkirkan konter isi baterai dan mulai menjual baterai telepon sekali pakai. Ada hujan deras, dan kabut, tetapi tidak masalah karena tidak ada kejadian yang tak terduga. Jika, sesekali kita ingin mendengar “gosip”, pergilah ke 7-Eleven bertemu pemiliknya yang cerewet. Guru yang menangkap basah pasangan yang mengunci diri di ruang video sambil makan ramyeon instan; Lelaki yang memaksa si wanita melakukan aborsi, yang haus dan datang untuk membeli bir; dan pemuda pengangguran, yang masih dimarahi ayahnya, karena kehabisan rokok lagi. Dan dengan itu, catatan ini akhirnya tampak sepele.
Di tempat yang tidak pernah ada hari libur nasional, aku — di tempat itu pura-pura tahu apa yang kubutuhkan, tidak perlu bertemu dengan seseorang, tidak perlu pula menahan siapapun di dekatnya. Di saat antara perjalanan ke toserba, aku mengalami perpisahan, pergi menemui seseorang, dan menyadari bahwa aku, orang yang bisa membunuh seseorang. Tapi tidak ada yang tahu semua ini. Sambutan yang paling hangat dan paling murah hati itu begitu asing sehingga aku melayang-layang tidak tahu harus menatap ke mana. Jika kita kebetulan pergi ke toserba, lihat baik-baik di sekitar kita. Ketika wanita di sebelah membeli air di toko itu untuk minum pil, dan saat lelaki di belakang kita membeli pisau cukur, mereka pasti bakal menyayat pergelangan tangannya, saat bocah laki-laki di depan membeli tisu toilet, itu untuk menyeka ibunya yang sakit. Setidaknya kamu tidak pernah tahu. Kamu bisa sering memikirkan hal ini, atau tidak, semua sama saja. Q-Mart, 7-Eleven, Family Mart, tidak akan tahu. Toserba tidak peduli padaku, mereka hanya peduli pada air, tisu toilet, dan pisau cukur. Jadi aku pergi ke toko serba ada. Paling banter beberapa kali dalam sehari, paling sedikit seminggu sekali, aku pergi ke sana. Dan anehnya, seringnya, aku selalu berakhir memerlukan sesuatu.
Diterjemahkan dari I Go to the Convenient Store dari Koreana. Kim Aeran (김애란) lahir di Incheon pada 1980, lulusan Korea National University of Arts. Aeran melakukan debut sastranya dengan memenangkan Penghargaan Sastra Daesan untuk Mahasiswa, dan cerpen ini di rilis di tahun yang sama. Bercerita tentang kunjungan ke toko serba ada yang ditulis menjadi pengalaman eksistensial.