Bambang, Bagian I

Andaris Dikarina
Kecubung Asin
Published in
2 min readAug 17, 2020

Bambang meninggal hari Minggu, 8 Januari 2017, tepat pukul 10 Malam.

Kematiannya datang begitu mendadak. Bahkan, malaikat belum siap untuk membawa nyawa lelaki paruh baya itu untuk ikut serta ke alam bazrah.

Sambil melayang, Bambang terbengong memandang tubuhnya yang telanjang. Tubuh yang tak lagi bernyawa, terbujur kaku di atas ranjang tempatnya bercumbu dengan istrinya.

Tepat tiga jam lalu, Bambang dan istrinya, Lembayung saling mencium, menyalurkan hasrat yang cukup bergelora di usia pernikahan mereka yang baru mencapai 4 tahun.

Meski seumur jagung, pernikahan keduanya begitu pelik. Bagaimana tidak, ada dua perempuan dan dua laki-laki lain yang ikut serta meramaikan kehidupan rumah tangga yang tak pernah hening.

Entah siapa yang memulainya, tidak ada yang tau. Kabarnya, dendam yang jadi dasar dari hubungan mereka. Rumor lainnya mengatakan, keduanya sengaja membuat pertengkaran agar bisa mengakhirinya dengan adegan panas di atas ranjang.

Pengeras suara di Masjid perumahan mulai menyiarkan kabar bahwa Bambang telah berpulang. Jenazahnya akan dimakamkan setelah matahari menampakan wajahnya.

Di kediamannya, banyak kerabat mulai berdatangan. Kini Bambang melayang di atas jasadnya yang sudah tertutup kain kafan. Di sisinya ada Ibu dan Ayah kandungnya yang terus menangis memandang putra tunggal mereka.

Keduanya tampak lebih tua dan merana, wajah yang sudah termakan usia semakin pucat. Sama pucatnya dengan warna rambut dan kain kafan di tubuh Bambang.

Bambang tak menyangka setelah pertengkaran hebat karena memilih kawin lari bersama Lembayung, Ayah dan Ibu masih menangisi jasadnya.

Jika masih bisa menangis, pasti Bambang akan menangis saat ini juga. Tapi dengan tubuh transparan, Bambang hanya bisa memandang dengan hampa tanpa ada tetesan air mata, tanpa ada ucapan maaf dan tanpa bisa menyentuh keduanya.

Tak ingin terus bersedih, Bambang mengalihkan pandangannya ke arah istrinya. Yang terdiam di ujung ruangan, jauh dari jasadnya.

Bambang memandang wajah Lembayung. Kedua mata yang begitu indah, kini semakin terasa kosong. 3 bulan sebelum menutup usia, Bambang tak bisa memahami apa arti tatapan istrinya, Bambang tak lagi bisa membaca arti. Tak ada lagi tatapan hangat seperti awal perkenalan mereka.

Bambang tak bisa mengartikan arti dari pandangan-pandangan yang dilemparkan oleh Lembayung padanya. Tiap kali memandang matanya, Bambang seperti menyelam ke lautan dalam yang gelap, entah di mana dasarnya, Bambang tak pernah tau. Yang jelas ia terus menyelam.

Bambang tak mengalihkan matanya dari istrinya itu, lalu Lembayung bangkit dari tempatnya duduk, menolak bantuan kedua teman dekatnya yang duduk di sampingnya.

Lembayung menaiki tangga, tidak menghiraukan orang-orang di sekelilingnya. Ia pergi ke kamar, tempat Bambang menghembuskan nafas terakhirnya.

Bambang terbang, mengikuti istrinya, kini memandang belakang kepala istrinya. Rambut hitamnya sebahu, dibiarkan terurai, sedikit berantakan. Bambang selalu senang mengusap rambut istrinya, yang selalu wangi.

Lembayung tak suka rambutnya lepek, ia sering keramas. Bahkan jika ia malas mandi, Lembayung akan merengek kepada Bambang, minta diantar ke salon untuk creambath.

Bambang dan Lembayung kini sampai di depan kamar, Lembayung membuka pintu kamar, menutup perlahan dan memandang kamar yang kini terasa kosong. Ranjangnya masih berantakan, bau keringat Bambang masih menempel di sana, bersama dengan rambut-rambut halus yang rontok.

Lembayung menangis perlahan, bahunya terguncang. Perempuan itu masih berusaha menguasai dirinya dari kesedihan, tak ingin dikalahkan oleh perasaan, ia membuka mulutnya dan berbisik

“Bajingan emang lo Bambang”

Bogor, 17 Agustus 2020.

--

--