Kami Bukan Kita: Pentingnya Peran Multidisiplin dalam Dunia Akademisi
Kantin kampus memang selalu menjadi tempat yang menarik bagi saya. Rengutan di kening yang awalnya mereka tunjukkan pada buku catatan dan layar proyektor, kini beralih pada menu makanan dan isi dompet mereka. Untuk masalah perut dan uang, semua terlihat sama, berbeda dengan persoalan mulut dan penampilan. Obrolan yang berbeda-beda terdengar dengan tutur bahasa yang berbeda pula. Serta pakaian yang berbeda terlihat, dari yang memakai kemeja berkerah dan sepatu hitam licin, sampai kaos oblong dan sandal jepit. Tidak jarang pula terdengar omongan penuh keluh kesah, mempermasalahkan mana yang seharusnya disebut sebagai ‘mahasiswa’; yang berbaju rapi atau yang tidak. Kemudian muncullah pertanyaan dalam diri saya; apakah kita memang harus se-eksklusif itu?
Saat itu saya teringat pada salah satu kelas yang pernah saya ikuti. Kelas tersebut dimulai dengan sebuah instruksi dari dosen kami: setiap mahasiswa diminta untuk menggambar ayam di atas kertas. Dari sekitar 50 mahasiswa yang hadir di kelas tersebut, sangat banyak yang menggambar seekor ayam yang menghadap ke kiri maupun ke kanan. Apakah ayam hanya berbentuk seperti itu? Bagaimana dengan paha ayam goreng? Ayam-ayaman karet? Atau bahkan telur ayam? Instruksi tersebut hanya menyebutkan untuk menggambar ayam, bukan seekor ayam hidup. Hal serupa terjadi saat kami ditanya, apa yang terakhir anda baca? Tidak ada yang menjawab pesan selamat tidur dari pacar, status yang diunggah di media sosial, atau label di botol sampo ketika lupa membawa handphone saat buang air besar. Semua menjawab dengan judul serta penulis buku yang terakhir kami baca.
Sejak duduk di bangku sekolah, kita dibiasakan untuk menjawab pertanyaan dengan benar, bukan untuk mempertanyakan pertanyaan dan jawaban dengan baik. Karena adanya sistem penilaian pula, maka jawaban yang dianggap benar tersebut tentu memiliki ketentuan yang pasti. Apa yang menjadi benar, dan apa yang menjadi salah. Jawaban ‘benar’ akan mendapat pujian dan jawaban ‘salah’ akan mendapat hukuman. Sehingga dalam pendidikan, kita akan lebih dihargai berdasarkan hasil belajar, bukan proses belajar. Hal tersebut berlanjut pada tingkat universitas. Saya teringat bagaimana para mahasiswa baru sibuk membanggakan pentingnya kontribusi studi mereka dalam kehidupan saat ini. Namun bila kita hanya mementingkan satu sudut pandang saja, apakah berarti sudut pandang lainnya menjadi tidak signifikan? Keseragaman sudut pandang akan hanya membuat ayam menjadi seekor ayam yang menghadap ke kiri atau ke kanan, dan membaca hanya akan berlaku pada buku.
Kesadaran akan pentingnya melihat berbagai sudut pandang itulah yang menurut saya menjadi penting. Kehidupan itu seperti tubuh manusia. Tiap organ tubuh memang memiliki fungsinya masing-masing, namun fungsi suatu organ dapat terganggu bila ada kerusakan pada organ lainnya. Kerusakan pada mata, misalkan, tentu tidak akan bisa ditangani dengan baik bila kita hanya berfokus pada jari-jari kaki. Begitu pula dengan kehidupan kita. Apabila sebuah pertanyaan yang kita dapat hanya berusaha dijawab melalui satu sudut pandang saja, apakah pertanyaan tersebut dapat terjawab dengan baik? Tentu bisa, namun hanya itulah jawaban yang akan kita dapatkan. Kita tidak lagi didorong untuk berpikir kritis, karena satu jawaban saja sudah cukup dan jawaban itulah yang dianggap benar. Sehingga, tidaklah mengherankan bagi saya bila pandangan akan mana yang seharusnya disebut sebagai ‘mahasiswa’ dapat memantik peperangan identitas.
Begitu, pun, dunia seni dan budaya. Seni yang bukan hanya berfungsi sebagai media ekspresi diri, namun juga bisa menjadi media kritik, tentu akan memiliki dampak yang lebih besar dengan adanya kesadaran akan kondisi sosial, politik, ekonomi, dan aspek lainnya yang tengah terjadi saat ini di sekeliling kita. Ekonomi tidak hanya berkutat pada pertanyaan soal angka-angka yang disajikan di atas secarik kertas, namun juga dalam perhitungan teman mana yang harus kita jaga baik-baik agar kita bisa berhutang pada mereka. Dengan adanya kesadaran akan pentingnya memahami sudut pandang lainnya, maka kita bisa mendapatkan jawaban yang beragam, dan tentunya tidak ada jawaban yang akhirnya menjadi ‘salah’ atau ‘benar’.
Lalu, apakah tulisan yang saya buat ini benar adanya? Tentu saja benar, menurut sudut pandang saya. Toh, saat menulis, yang ada hanyalah pandangan dan jari saya sendiri yang tertuju pada laptop ini. Tidak ada pandangan dan jari-jari kalian yang ikut terlibat. Tunggu. Oh, ini ternyata rasanya menjadi eksklusif. Enak juga ya. Pantas semua orang ingin jadi eksklusif.