Analisis Resensi Lagu Stand Up oleh Cynthia Erivo sebagai Simbolisme Perlawanan Perbudakan Kelompok Masyarakat Afrika-Amerika dalam Film “Harriet”

Rizky Ananda

Dosen Krim
Kelas Kriminologi
7 min readMay 9, 2024

--

Sumber: Billboard

Lagu “Stand Up” yang dinyanyikan dan dipopulerkan oleh Cynthia Erivo merupakan salah satu lagu yang menjadi soundtrack dari film “Harriet” (Aniftos, 2019). Kedua karya tersebut, baik film maupun lagu, dirilis pada tahun 2019. Lagu dengan durasi kurang lebih 5 menit ini dapat digambarkan sebagai lagu ballad yang dipenuhi dengan sentuhan gospel yang menjiwai semangat perjuangan dan perubahan pada lagu ini. Maka dari itu, lagu ini menjadi pelengkap yang sangat baik bagi film “Harriet” yang menceritakan kisah nyata perjuangan seorang aktivis abolisionis berdarah Afrika-Amerika bernama Harriet Tubman yang berusaha menumpas nasib ketidaksetaraan yang secara pahit dialami oleh kelompok masyarakat berkulit hitam Afrika-Amerika pada masa perbudakan dan supremasi politik berkulit putih di Amerika Serikat (Aniftos, 2019). Sebagai bentuk pengakuan terhadap keindahan dan keagungan semangat perjuangan yang diangkat, lagu ini berhasil untuk mendapatkan beberapa nominasi pada ajang-ajang penghargaan dengan prestise yang sangat tinggi seperti Academy Awards dan Grammy Awards.

Makna Perlawanan dan Pemberian Kekuatan dalam Lagu “Stand Up”

Secara umum, lagu “Stand Up” milik Cynthia Erivo merupakan lagu yang memaknai dan mendefinisikan perlawanan terhadap ketidakadilan suatu sistem terhadap kelompok tertentu, sehingga sangatlah relevan dengan bentuk-bentuk perjuangan yang dilakukan oleh Harriet Tubman untuk melawan sistem perbudakan yang secara brutal dan diskriminatif memperlakukan masyarakat berkulit hitam pada saat itu.

Kondisi ini dapat dilihat gambarannya pada bait pertama lagu yang menggambarkan keresahan aktor pada lagu dalam menghadapi situasi, dapat dilihat dari lirik “Weight on my shoulders, a bullet in my gun” dan “I got eyes in the back of my head just in case I have to run”.

Apabila dilihat, lirik tersebut menggambarkan rasa takut dan khawatir aktor tersebut, sehingga membuat mereka merasa perlu untuk mengisi peluru dalam senapannya. Selain itu, metafora pada cuplikan lirik kedua menunjukkan adanya keperluan bagi aktor untuk terus menerus merasa waspada terhadap lingkungan sekelilingnya akibat rasa takut terhadap diskriminasi yang harus dialami. Pemberdayaan dan rasa juang yang tinggi dapat dirasakan dengan sangat kental pada bagian reff, dengan lirik seperti “That’s when I’m gonna stand up, take my people with me” dan “Far across the river, can you hear freedom calling? Calling me to answer, gonna keep on keepin’ on” yang menandai rasa solidaritas terhadap kelompok sendiri serta motivasi untuk menggapai kemerdekaan yang telah dicari dan berusaha diperjuangkan selama ini.

Ajang Oscars 2020 sebagai Saksi Mata Seruan Semangat Perjuangan

Ketika pertama kali mendengarkan lagu ini, penulis sangat terkagum dengan kemampuan vokal Cynthia Erivo yang mampu memberi terang pada emosi dan perasaan yang berusaha untuk ditekankan pada lagu ini. Pendengar rasanya tidak perlu mencari dan membaca lirik lagu ini untuk berusaha memahami perasaan apa yang akan disampaikan oleh lagu ini. Progresi dan perkembangan melodi serta chord yang digunakan pada aransemen instrumental lagu ini sangat dinamis dan kuat, diawali dengan bait-bait lagu yang menyampaikan pesan dengan sangat tegas hingga bagian reff yang menjadi jantung dari lagu ini. Karya ini semakin diindahkan dengan bagian reff terakhir dan outro dari lagu yang menunjukkan beberapa kali perubahan kunci nada, memberi tekanan yang lebih pada rasa perjuangan yang diterangkan pada lagu ini.

Selain keindahan lagu itu sendiri, salah satu penampilan yang menurut penulis meningkatkan kualitas pengalaman mendengarkan karya ini adalah penampilan Cynthia Erivo pada ajang Oscars 2020. Di ajang yang sama, Cynthia berhasil untuk mendapatkan dua nominasi untuk film ‘Harriet’ yakni nominasi pada kategori Best Actress in a Leading Role dan kategori Best Music (Original Song) (Hughes, 2020). Pada penampilan tersebut, Cynthia menggunakan gaun emas yang sangat anggun sembari mengeluarkan suara yang sangat kuat dan berkarakter. Sembari diiringi oleh iringan orkestra yang sangat indah dan iringan gospel yang menciptakan harmonisasi merdu, setiap kata yang ia nyanyikan mengantarkan audiens pada semangat perlawanan dan perjuangan yang dijanjikan oleh lagu tersebut. Dengan emosi dan perasaan yang sangat kental dan terasa, penampilan tersebut tidak hanya memberi keindahan tambahan pada lagu yang sudah indah tersebut tetapi juga meningkatkan kekaguman penulis pada Cynthia Erivo dan perjuangan masyarakat Afrika-Amerika untuk melawan perbudakan di masa lalu. Saksikan penampilan tersebut di sini.

Harriet Tubman sebagai Simbol Perlawanan Abolisionisme Praktik Perbudakan terhadap Kelompok Masyarakat Afrika-Amerika

Untuk memahami signifikansi dari karya yang dihasilkan, kita perlu mengetahui terlebih dahulu siapakan seorang Harriet Tubman dan apa signifikansi Tubman dalam sejarah perjuangan melawan perbudakan di Amerika Serikat. Dalam tulisan Harriet Tubman: A Legacy of Resistance (2014) milik Janell Hobson, Harriet Tubman digambarkan sebagai seorang perempuan dengan keturunan Afrika-Amerika yang merupakan pejuang gerakan abolisionis, penggerak emansipasi terhadap kelompok, serta feminis yang mengusahakan kebebasan perempuan dari diskriminasi dan siksaan. Salah satu inisiatif dan upaya pembebasan masyarakat Afrika-Amerika dari perbudakan pada saat itu hadir dalam gerakan Underground Railroad, gerakan yang ikut didorong oleh Tubman sehingga ia mampu menyelamatkan sekitar 70 orang termasuk beberapa anggota kerabatnya dan memberikan mereka kebebasan dari sistem perbudakan pada saat itu (Campbell, 2004, hlm. 514). Gerakan Underground Railroad berfungsi dengan cara memberikan budak-budak yang ingin membebaskan diri tata cara untuk melarikan diri dan memberi mereka rumah aman untuk meminimalisir risiko tertangkap (Campbell, 2004, hlm. 514).

Mari kita lihat pada gambaran umumnya. Sekitar tahun 1800 hingga 1865, perlakuan terhadap budak-budak di Amerika Serikat sangatlah tidak manusiawi. Dalam tulisan Slavery in America: The Montgomery Slave Trade (2020) milik Equal Justice Initiative, detail-detail menyeramkan dan tragis terkait dengan masa perbudakan di Amerika Serikat dijelaskan.

Literatur tersebut menyebutkan bahwa budak-budak diperlakukan dengan sangat kasar dan biasanya berakhir dengan kondisi yang cukup brutal pada saat itu. Budak-budak akan dihukum secara fisik apabila tidak dapat melakukan tugas dengan baik atau dinilai melawan permintaan pemilik mereka, sehingga hukuman fisik tersebut dinilai akan memberikan peringatan bagi diri mereka. Perlindungan terhadap budak-budak di Amerika Serikat itu pada dasarnya hampir tidak ada, sebab sistem pemerintahan yang hadir memberikan kuasa penuh terhadap pemilik budak yang berkulit putih. Hubungan kekeluargaan yang dimiliki oleh budak-budak pada saat itu juga sangat tidak hargai, sebab mereka selalu dipisahkan ketika satu kerabat kemudian “dijual” pada pemilik budak lainnya. Maka dari itu, kerap kali mereka berpisah dengan anggapan dan realita bahwa mereka tidak dapat bertemu lagi hingga akhir hayat mereka. Kekerasan seksual juga menjadi salah satu permasalahan utama yang sering terjadi pada saat itu, dengan kondisi di mana para pemilik sering meminta budak-budak mereka untuk melakukan aktivitas seksual dengan orang lain dengan ancaman terhadap fisik dan nyawa mereka apabila mereka menolak untuk melakukannya.

Penjelasan pada paragraf sebelumnya menunjukkan bahwa kerentanan yang dihadapi oleh kelompok masyarakat Afrika-Amerika sangatlah besar dan berbahaya. Apabila kita menghubungkan konteks masa perbudakan dan upaya yang dilakukan oleh Harriet Tubman, maka kita bisa melihat bahwa gerakan yang dipimpin dengan sangat berani oleh Tubman meski ia mengetahui segala risiko yang dapat ia terima atas aksinya tersebut menunjukkan keberanian yang sungguh luar biasa besarnya dalam melawan perbudakan. Perbudakan sebagai salah satu kejahatan terhadap manusia dan hak asasi yang mereka miliki merupakan salah satu isu yang sering dikritisi dalam kriminologi.

Salah satu jurnal yang berjudul Strain, coping mechanisms, and slavery: A general strain theory application (2008) oleh Michael Rocque berusaha untuk menunjukkan bagaimana perbudakan menjadi relevan dengan salah satu teori kriminologi yakni general strain theory. Sebagaimana dijelaskan oleh Agnew pada tahun 1992, ketegangan atau strain memiliki dampak dalam memengaruhi pikiran dan tindakan seseorang, baik menjadi baik atau buruk. Tulisan ini kemudian mampu menjelaskan bahwa ketegangan dapat terjadi karena munculnya motivasi dan pendorong apabila kita berbicara dalam konteks perbudakan, secara khusus dalam konteks kesehatan, ketidaklayakan kerja, dan eksploitasi seksual akibat tekanan mental dan konsekuensi fisik yang ditinggalkan oleh permasalahan-permasalahan tersebut. Selain itu, tulisan ini menyambungkan bahwa cara kelompok-kelompok rentan pada saat itu, yakni kelompok budak, mempertahankan resistensi adalah dengan mendapatkan kekuatan dari budaya dan nilai-nilai solidaritas yang mereka bentuk, dukungan mental dari nilai-nilai keagamaan, serta dengan secara aktif melakukan perlawanan. Dengan penjelasan ini, maka nilai-nilai kriminologi menjadi relevan dalam bahasan terkait dengan perbudakan dan perdagangan manusia.

Oleh karena itu, lagu ‘Stand Up’ milik Cynthia Erivo mendukung bentuk resiliensi yang dijelaskan oleh Agnew dalam general strain theory sebagai upaya mempertahankan nilai-nilai solidaritas dan pemberdayaan sebagai respon terhadap ketegangan yang telah hadir dalam masyarakat. Baik dalam konteks perbudakan yang dibahas dalam film berdasarkan kisah nyata tersebut atau dalam kehidupan sehari-hari, diskriminasi masih kerap terjadi pada kelompok ras minoritas dan kelompok rentan lainnya. Maka dari itu, karya ini masih menjadi sangat penting dan relevan sebab berfungsi sebagai pengingat bagi kelompok masyarakat Afrika-Amerika akan perjuangan hebat yang telah terjadi di masa lalu dan untuk menjaga solidaritas kelompok tersebut.

Konklusi: Pentingnya Kelestarian dan Proliferasi Karya Pertanda Perjuangan

Lagu ‘Stand Up’ milik Cynthia Erivo merupakan lagu yang sangat indah dan bermakna. Karya ini, sebagaimana telah penulis katakan pada bagian sebelumnya, menjadi sangat penting merupakan lambang perjuangan dan bentuk pemberdayaan terhadap kelompok masyarakat Afrika-Amerika untuk mempertahankan perlawanan yang telah dilanjutkan selama berabad-abad di tengah masyarakat yang kerap masih melakukan diskriminasi berbasis ras. Meskipun dunia telah menuju pada arah yang lebih progresif, nilai-nilai problematik yang bertahan dari masa lalu masih lestari pada beberapa segmen masyarakat yang memungkinkan diskriminasi tersebut untuk dapat terjadi. Maka dari itu, lagu ini perlu untuk diapresiasi dan sepantasnya dipertahankan semangatnya oleh masyarakat umum agar dapat bertahan dan diingat dalam jangka waktu yang panjang. Dunia tidak akan pernah dikatakan sepenuhnya baik apabila masih terdapat ruang untuk terciptanya praktik diskriminasi dan sistem diskriminatif.

Daftar Pustaka

Aniftos, R. (2019). Cynthia Erivo Delivers the Empowering ‘Stand Up’ for ‘Harriet’ Film: Exclusive. Billboard.

Campbell, J. G. (2004). Review: Beyond Heroic Legend: The Lives of Harriet Tubman. Reviews in American History, Dec., 2004, Vol. 32, №4, hlm. 512–517.

Equal Justice Initiative. (2020). Slavery in America: The Montgomery Slave Trade. Equal Justice Initiative.

Focus Features. (2020). Cynthia Erivo — “Stand Up” — Oscars 2020 Performance.

Hobson, J. (2014). Harriet Tubman: A Legacy of Resistance. Meridians, Vol. 12, №2, Harriet Tubman: A Legacy of Resistance (2014), hlm. 1–8.

Hughes, H. (2020). Cynthia Erivo Soared Through ‘Harriet’ Song ‘Stand Up’ at 2020 Oscars: Watch. Billboard.

--

--