Konflik Agraria di Pulau Rempang: Perspektif Kriminologi Anarkis terhadap Ketidakadilan Struktural
Anet Dening
Konflik agraria adalah sebuah permasalahan struktural yang tak kunjung usai. Sepanjang tahun 2022, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat ada 212 konflik agraria yang melibatkan lahan seluas 1,03 juta hektare dan merugikan 346.402 kepala keluarga (Muhammad, 2023). Selama ada kelompok kuat yang melihat tanah sebagai komoditas, konflik agraria bisa terus terjadi. Hal ini berkaitan dengan persepsi pemodal bahwa tanah perlu dikomersilkan, sedangkan penduduk setempat melihat tanah sebagai sumber penghidupan dan penghubung dengan leluhur (Sumardjono, 2020).
Salah satu konflik agraria terjadi di Pulau Rempang, Batam beberapa waktu lalu. Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh rencana pemerintah untuk merelokasi 7.500 warga karena 45,89% luas pulau tersebut akan dibangun kawasan Rempang Eco City (CNN, 2023). Rencana ini ada sejak tahun 2004 dan telah masuk ke program strategis nasional tahun 2023. Dengan fokus pengembangan di kawasan industri, perdagangan jasa, dan pariwisata, target Rempang Eco City ini dikatakan bisa menarik investasi sampai 381 triliun di tahun 2080 (CNN, 2023).
Warga menolak untuk direlokasi sebab sudah lama mereka mendiami tempat tersebut. Mahfud Md, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhumkam) menjelaskan bahwa terjadi kekeliruan pencatatan hak antara penduduk desa dan pemerintah pusat. Penduduk memiliki hak atas lahan, tetapi di sisi lain surat Hak Guna Usaha (HGU) juga sudah dikeluarkan sejak 2001 (Gading, 2003).
Konflik di atas bisa dilihat dari perspektif Kriminologi Anarkis yang menekankan pada kapitalisme negara sebagai kejahatan (Nocella II, et.al, 2020). Kapitalisme, dalam kasus ini komersialisasi lahan penduduk, adalah sebuah bentuk ketidakadilan dan pencurian yang dilegalisasi pemerintah. Nocella II (2020) melihat bahwa kejahatan korporasi dan negara adalah hasil dari keserakahan yang memprioritaskan pencarian kekayaan di atas masalah moral dan sosial yang berkaitan dengan keadilan kolektif. Hal ini juga yang ditemukan dalam contoh kasus yang tengah dibahas. Kelompok penguasa melihat tanah sebagai sumber keuntungan ekonomi yang perlu diolah dan diusahakan, tak peduli meski hal tersebut akan menimbulkan kesengsaraan kelompok bawah, seperti mereka kehilangan sumber penghidupan dan warisan para leluhur (Sumardjono, 2020).
Kriminologi Anarkis menolak adanya kekuasaan yang mengatur perilaku manusia (dalam hal ini negara) sebab pada dasarnya negara tidak netral secara politik dan mendukung pihak yang berkuasa (Nocella II, et.al, 2020).
Jika kita hubungkan dengan konflik di atas, tentu pemerintah pusat di sini akan mementingkan kelompok pemilik modal sebab ada keuntungan yang akan mereka dapatkan. Sumardjono (2020) mencatat bahwa secara yuridis dan politis, kelompok pemilik modal akan lebih diuntungkan. Secara yuridis, bukti formal kepemilikan lahan adalah hal yang penting, tetapi faktanya pendaftaran tanah belum semuanya tuntas dilakukan oleh masyarakat pedesaan. Salah satu faktor penyebabnya adalah kurangnya pemahaman masyarakat akan cara dan prosedur pendaftaran tanah (Aulia, 2020). Hal ini yang kemudian membuka peluang akan terjadinya konflik klaim wilayah. Kemudian secara politis, pemerintah cenderung memprioritaskan pengesahan peraturan perundang-undangan yang menguntungkan pemilik modal. Sebagai contoh, UU Omnibus Law Cipta Kerja disahkan kurang dari 1 tahun sejak diusulkan RUU-nya (Finaka, 2020). Sedangkan RUU Masyarakat Adat belum juga disahkan meski sudah 1 dekade diperjuangkan (Makuba & Sepriandi, 2023).
Kriminologi Anarkis mendorong terbentuknya komunitas-komunitas tanpa pemusatan kekuasaan agar mereka bisa melakukan banyak hal untuk diri mereka sendiri. Pandangan ini menekankan pada anti-otoritarianisme sebab negara lah yang menciptakan ketidaksetaraan. Seperti dalam kasus Pulau Rempang, konflik juga didasari oleh kekeliruan penerbitan surat izin. Jika kekeliruan seperti ini bisa terjadi dan solusi pemerintah tidak menyelesaikan masalah (justru malah memperparah masalah), maka apa fungsinya negara? Inilah salah satu poin yang dibawa oleh Kriminologi Anarkis.
Pada bulan September yang lalu, telah terjadi bentrok antara warga dengan aparat gabungan TNI-Polri dan BP Batam. Lagi-lagi rakyat menegaskan bahwa mereka tidak mau digusur dan aparat sudah melakukan pengukuran dan pematokan lahan. Maka dari itu, terjadilah kericuhan hingga polisi menembakkan gas air mata karena dinilai tidak kondusif (CNN, 2023), Sebanyak 7 orang ditangkap aparat dan beberapa hari kemudian, kericuhan kembali terjadi. Kali ini mereka juga menuntut 7 orang tersebut untuk dibebaskan, tetapi aparat malah menahan 43 demonstran lainnya.
Komnas HAM menemukan adanya pelanggaran HAM di sini sebab aparat menggunakan kekuasaan mereka secara berlebihan, termasuk menahan warga dan melemparkan gas air mata yang tak terukur (CNN, 2023). Dengan perspektif Kriminologi Anarkis, bisa dilihat bagaimana aparat penegak hukum ada untuk melanggengkan kapitalisme dan dengan ini mereka semakin menindas kelas pekerja (Nocella II, et.al, 2020).
Anarkisme menolak pemerintahan, hierarki, dominasi, properti privat, dan otoritas yang bersifat memaksa. Maka dalam kasus ini, bentuk perlawanan rakyat di jalan adalah produk langsung dari kapitalisme yang ada. Tindakan mereka dianggap melawan hukum, tetapi hukum pun juga ada sebagai produk dari sistem kapitalis. Menurut perspektif Kriminologi Anarkis, kesetaraan di depan hukum adalah sebuah kekeliruan (Nocella II, et.al, 2020).
Jadi pada dasarnya, negara adalah produk kapitalisme yang menciptakan kejahatan. Seperti yang disebutkan, hukum dan penegak hukum tidak netral; mereka mendukung kepentingan para pemilik modal; dan dengan ini, masyarakat menjadi korban kejahatan. Jika sistem negara tidak bisa membawa masyarakatnya ke arah yang lebih baik, maka apa fungsinya negara?
Klik di sini untuk referensi.