Di Balik Hutan

Nasywa Nathania Putri, Leavi Darryllin Wijaya

Dosen Krim
Kelas Kriminologi
2 min read4 days ago

--

Ilustrasi oleh kelompok Misqueen

Sejak bergabung dengan Indonesia pada tahun 1969, Papua terus mengalami perlawanan politik dan pemberontakan bersenjata yang menuntut kemerdekaan. Hal ini memicu ketegangan antar-komunitas masyarakat dan konflik terkait tata kelola wilayah. Orang Asli Papua merasa tidak diakui dalam berbagai kebijakan negara, seperti program transmigrasi dan pengakuan tanah ulayat. Demonstrasi damai sering dilakukan oleh masyarakat Papua, tetapi terkadang berakhir dengan kekerasan oleh pihak keamanan.

Pada tahun 1998, tragedi di Biak memicu serangkaian kekerasan terhadap pengibaran bendera bintang kejora di Papua. Pembentukan paramiliter seperti Satgas Papua dan Satgas Merah Putih juga terjadi, meningkatkan polarisasi di masyarakat. Meskipun status DOM dicabut pada tahun yang sama, rakyat Papua masih merasa tidak aman karena pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh aparat keamanan.

Ekstraksi sumber daya alam di Papua, seperti penebangan kayu dan pertambangan, juga menjadi pemicu konflik. Demonstrasi di Jayapura tahun 2005 menuntut penutupan tambang Grasberg Freeport Indonesia, perusahaan terbesar di Papua. Penduduk Papua, yang mayoritas tinggal di desa, memiliki hubungan yang dekat dengan alam dan menggantungkan hidup pada sumber daya alam.

Masyarakat adat di Papua melihat alam sebagai bagian dari identitas kolektif mereka dan memiliki hubungan spiritual dengan tanah adat. Proses pembangunan di Papua harus memperhatikan kearifan lokal dan nilai-nilai tanah adat sebagai bentuk penghormatan terhadap budaya lokal. Keuntungan ekonomi tidak boleh mengorbankan kepentingan dan kebutuhan masyarakat adat.

Papua masih dihadapkan pada berbagai tantangan yang harus diatasi untuk mencapai perdamaian dan keadilan bagi semua penduduknya. Diperlukan pendekatan yang inklusif dan menghormati keberagaman budaya dan hak asasi manusia untuk menciptakan harmoni di wilayah tersebut.

Polarisasi baik secara horizontal (antara masyarakat madani) maupun vertikal (antara negara dan rakyat) meningkatkan kesenjangan dan konflik di Papua. Perbedaan pemahaman mengenai identitas kebudayaan dan nasionalisme menjadi pemicu. Protes terhadap bendera bintang kejora dianggap sebagai tindakan separatis. Militerisme juga memecah belah opini publik, dengan pembentukan paramiliter Barisan Merah Putih yang menimbulkan kekhawatiran di Papua.

Pakaian militer dan simbolisme terkait sering dikenakan oleh individu di Papua, menunjukkan ketidaksepakatan tentang batas antara identitas Papua dan nasionalisme Indonesia. Pemiskinan yang belum teratasi menunjukkan kegagalan Otsus, yang lebih menguntungkan elit politik dan birokrasi daripada masyarakat Papua. Kasus korupsi yang terjadi menyebabkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat, memperkuat polarisasi antara pemerintah dan masyarakat.

Papua kekurangan pelayanan yang memadai dari elitnya sendiri, sementara Otsus hanya memberikan keuntungan kepada golongan tertentu. Fenomena orang kaya baru yang cepat muncul setelah menjabat sebagai pejabat lokal menjadi pertanda kekayaan yang tidak adil di Papua. Memegang jabatan dianggap sebagai cara untuk memperkaya diri sendiri daripada melayani kepentingan publik. Sehingga, perbedaan sosial di Papua semakin mendalam, memperburuk situasi polarisasi yang ada.

Referensi

Sugandi, Y. (2008). Analisis konflik dan rekomendasi kebijakan mengenai Papua. Friedrich-Ebert-Stiftung Indonesia. https://doi.org/https://library.fes.de/pdf-files/bueros/indonesien/06393.pdf

--

--