Diskriminasi Tak Berujung Transgender Indonesia
Mochamad Kautsar
Mengenal Transgender di Indonesia
Transgender adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan individu yang merasa jenis kelaminnya saat dilahirkan tidak sesuai dengan identitas gender dan ekspresi gendernya (Cicero & Wasp, 2017). Indonesia sendiri memiliki budaya lokal yang mengakui keberadaan LGBTIQ+, khususnya transgender, yaitu Suku Bugis. Selain itu, terdapat pula tari Lengger Lanang dari Banyumas yang menampilkan laki-laki menari sebagai perempuan (Washarti, 2016). Fakta ini menggambarkan bahwa sebetulnya LGBTIQ+ bukan sepenuhnya budaya barat, karena budaya lokal juga telah mengenalnya.
Meskipun begitu, transgender di Indonesia masih mengalami kesulitan dalam kehidupannya sehari-hari. Indonesia memiliki masyarakat yang mayoritas beragama, sehingga perilaku ‘menyimpang’ seperti transgender tidak memiliki tempat dalam masyarakat. Para transgender biasanya berpendidikan minim yang mengakibatkan mereka tidak mampu mendapatkan pekerjaan yang memadai. Akhirnya mereka berada dalam taraf kesejahteraan rendah dan sulit mendapat akses kesehatan yang baik. Permasalahan inilah yang menjadi topik bahasan, serta menimbulkan pertanyaan: Bagaimana permasalahan diskriminasi yang sesungguhnya dialami para transgender di Indonesia?
Kriminologi Queer dan Kajian Transgender Internasional
Kriminologi queer adalah pendekatan teoritis dan praktis yang mencoba melihat stigmatisasi, kriminalisasi, dan penolakan terhadap komunitas queer, sebagai korban dan pelaku kejahatan, melalui sisi akademisi dan sistem peradilan pidana; muncul sebagai bentuk lanjutan dari teori queer yang berusaha menjelaskan batasan tentang pembagian homo/hetero di dalam budaya modern dan tulisan akademik, serta hubungannya dengan penindasan homofobia abad ke-20 (Ball, 2016; Buist & Lenning, 2023).
Transgender di Pakistan, Spanyol, dan Amerika Serikat
Salah satu kelompok masyarakat yang paling terancam menghadapi diskriminasi di Asia Selatan adalah transgender. Mereka dianggap sebagai orang asing sehingga termarjinalisasi dan dikecualikan dari masyarakat. Pengusiran paksa dari rumah serta penggunaan kekerasan verbal, mental, dan fisik merupakan hal yang biasa terjadi pada mereka. Dampaknya adalah sulitnya para transgender mengakses pendidikan formal, layanan kesehatan, serta hak politik yang juga berakibat pada buruknya kehidupan mereka yang mayoritas bekerja sebagai pengemis atau pekerja seks (Rashid et al., 2022).
Transgender di Spanyol juga mengalami permasalahan yang serupa. Lapangan pekerjaan yang tersedia untuk mereka tidak banyak, hanya berpusat di bidang kecantikan, domestik, atau prostitusi. Mereka juga masih mendapat stigma dan stereotype buruk dari masyarakat, mendapat penolakan dari keluarganya sendiri, masih sulit membangun keluarga sendiri terlepas dari legalnya pernikahan sesama jenis, dan juga menghadapi diskriminasi sosial yang dilatarbelakangi lingkungan budayanya (Rondon-Garcia & Romero, 2016).
Amerika Serikat (AS) yang dianggap sebagai ‘markas’ LGBTIQ+ dunia juga masih memiliki permasalahan dengan perlakuan masyarakatnya terhadap transgender. Transgender di AS tidak hanya mengalami pengecualian dari kelompok heteroseksual namun juga dari kelompok homoseksual (gay dan lesbian) serta biseksual (Collins et al., 2015; Neuron, 2019).
Kebijakan publik serta regulasi yang berlaku di AS juga masih berdasar pada ideologi cisgender sehingga kurang inklusif bagi para transgender. Mereka juga merupakan kelompok yang rentan mengalami kriminalisasi dan kemiskinan, namun pengalaman mereka terhadapnya jarang diperhatikan dan dibahas dalam analisis akademis (Yarbrough, 2023).
Permasalahan Nyata Diskriminasi Transgender di Indonesia
Berdasarkan kajian PPKUI dan Kementerian PPPA6(2015), transgender di Indonesia umumnya mengalami penolakan dari keluarga, pengucilan di masyarakat, bahkan penganiayaan fisik. Data dari Arus Pelangi (2021) juga menunjukkan terdapat 51 kasus kekerasan terhadap kelompok LGBTIQ+ dengan 60% korban adalah transgender. Ini diskriminasi diantara anggota LGBTIQ+ lainnya.
Selain kekerasan fisik, kesulitan mencari lapangan pekerjaan juga merupakan momok bagi para transgender karena terbatasnya sektor pekerjaan yang tersedia dan ingin menerima mereka (Rijkers, 2019). Kebanyakan para transgender bekerja di bidang fashion, salon kecantikan, atau rumah makan. Padahal banyak transgender yang sebenarnya memiliki kemampuan memadai untuk bekerja di perusahaan, namun jarang ada yang mau menerima. Seandainya diterima pun, para transgender cenderung menyembunyikan identitasnya dalam aktivitas pekerjaan sehari-hari. Para transgender juga mengalami kesulitan akses pendidikan formal dan agama (Davies, 2022; Mazrieva, 2018) serta mengalami diskriminasi dalam mengakses layanan kesehatan, seperti penolakan pengobatan dari dokter (Ayuningtyas, 2022).
Memahami Permasalahan Diskriminasi Transgender Indonesia
Sila pertama Pancasila yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa” menunjukkan Tuhan atau agama menjadi hal pertama dalam fondasi dasar Indonesia. Masyarakat memegang teguh nilai ini dan mengaplikasikannya dalam setiap sendi kehidupan sosial. Maka dari itu, kelompok LGBTIQ+, termasuk transgender, tidak mendapat pengakuan masyarakat, terdiskriminasi, dan terbatas dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari. Tidak hanya di Indonesia, transgender juga mengalami perlakuan serupa di negara-negara lain yang menjadikannya permasalahan global.
Fenomena pendiskriminasian ini juga dapat digolongkan sebagai tindakan hate crime. Menurut Barbara Perry dalam Chakraborti (2018), hate crimes adalah aksi kekerasan dan intimidasi yang diarahkan kepada kelompok yang terstigmatisasi dan termarjinalisasi serta menjadikannya sebagai mekanisme kekuasaan dan opresi dalam rangka menciptakan keteraturan sosial. Kelompok transgender adalah kelompok marjinal yang terstigma di Indonesia. Mereka dianggap sebagai aib dan terkadang tidak mendapat perlakuan manusiawi hanya karena mereka menjadi dirinya. Transgender juga masih dikriminalisasi di Indonesia dengan kurangnya dukungan terhadap kesejahteraan mereka yang mengakibatkan mereka rentan menjadi korban kejahatan karena penghidupan yang kurang layak.
Para transgender juga merupakan wujud nyata dari ‘penyimpangan’ yang mudah diidentifikasi masyarakat sehingga berbagai bentuk diskriminasi bahkan persekusi sering terjadi kepada mereka. Namun status mereka dalam negara belum mendapatkan kepastian yang jelas. Dalam Arbani (2012), dijelaskan bagaimana transgender yang umumnya beraktivitas di jalanan mengalami kekerasan dari pihak berwenang seperti dipukuli, diseret, disundut rokok, disiram, dan sebagainya yang tidak diselesaikan seperti seharusnya karena status mereka tersebut. Minimnya peraturan yang melindungi keadaan transgender juga diperparah dengan banyaknya pengendalian sosial yang mengatur kehidupan transgender. Menurut Parsons dalam Chriss (2019), pengendalian sosial merupakan upaya yang dilakukan dalam rangka mengatasi perilaku-perilaku menyimpang dalam tingkat individu maupun kelompok
Pengendalian sosial juga berdampak pada penggunaan hukum, dimana menurut Trevino (2019), hukum terbagi dua, yaitu hukum positif (positive law) dan hukum yang hidup (living law)10. Dalam kasus transgender, mereka mendapat pengendalian formal (hukum positif) melalui undang-undang atau aturan resmi lain dan pengendalian informal (hukum yang hidup) melalui nilai yang berkembang di masyarakat dan aturan agama. Transgender menjadi korban akibat negara dan komunitas. Seluruh fenomena ini akhirnya saling bertaut dalam menciptakan lingkungan yang menyulitkan dan mendiskriminasi transgender.
Daftar Pustaka
Arbani. (2012). Kejahatan Kebencian (Hate Crime) Terhadap Transgender (Male To Female) dan Waria. Skripsi.
Arus Pelangi. (2021). “Laporan Pendokumentasian: Pendampingan Kasus Focal Point Konsorsium Crisis Response Mechanism.”
Ayuningtyas, K. (2022, 21 Februari). “Gender Minoritas dan Diskriminasi Akses Layanan Kesehatan.” DW.
Ball, M. (2016). Criminology and Queer Theory: Dangerous Bedfellows. Palgrave Macmillan.
Buist, C. L. & Lenning, E. (2023). Queer Criminology (2nd ed.) Routledge.
Chakraborti, N. (2018). “Victims of Hate Crime.” In Handbook of victims and victimology (2nd ed.). Routledge Taylor & Francis Group.
Chriss, J. J. (2019). Social Control: History of the Concept. In C. Wellford, The Handbook of Social Control (1st ed.). John Wiley & Sons Ltd.
Cicero, E. C. & Wesp, L.M. (2017). “Supporting the Health and Well-Being of Transgender Students.” The Journal of School Nursing, 33(2), 95–108.
Collins, J. C., McFadden, C., Rocco, T. S., & Mathis, M. K. (2015). “The Problem of Transgender Marginalization and Exclusion: Critical Actions for Human Resource Development.” Human Resource Development Review, 14(2), 205–226.
Davies, G. S. (2022, 16 Desember). “Bagi komunitas transgender di Indonesia, keimanan bisa memicu diskriminasi — bisa juga menjadi sumber toleransi dan pelipur lara.” The Conversation.
Mazrieva, E. (2018, 6 April). “Transchool, Sekolah Alternatif di Jalan Sunyi.” VOA Indonesia.
Meier, R. F. (2019). Deviance, Social Control, and Criminalization. In C. Wellford, The Handbook of Social Control (1st ed.). John Wiley & Sons Ltd.
Neuron. (2019). “Transgender dalam Dunia Kesehatan”. Spotify.
Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia & Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (2015). “Pandangan Transgender terhadap Status Gender dan Persamaan Hak Asasi Manusia di Jakarta, Bogor, Depok dan Tangerang.” Kemenpppa.go.id.
Rashid, M.A.u.H., Ghazi, F. & Manzoor, M.M. “Symbolic violence and social adjustment of transgender(s) in Pakistan.” Qual Quant (2022).
Rijkers, M. (2019, 25 Mei). Waria Juga Butuh Pekerjaan. DW.
Rondón García, L. M., & Romero, D. M. (2016). “Impact of Social Exclusion in Transsexual People in Spain From an Intersectional and Gender Perspective.” SAGE Open, 6(3).
Trevino, A. J. (2019). Law as Social Control. In C. Wellford, The Handbook of Social Control (1st ed.). John Wiley & Sons Ltd.
Washarti, R. (2016, 25 Februari). LGBT, budaya Indonesia dan lintas gender. BBC Indonesia.
Yarbrough, D. (2023). “The carceral production of transgender poverty: How racialized gender policing deprives transgender women of housing and safety.” Punishment & Society, 25(1), 141–161.