Hantu dalam Kebudayaan Batak: Begu Ganjang

Adinda Chantika, Claudia Elnaia, Laura Sitanggang, Safina Ainayya

Dosen Krim
Kelas Kriminologi
4 min readSep 24, 2024

--

Ilustrasi: Kelompok Santet

Kelompok Santet (Adinda Chantika, Claudia Elnaia, Laura Sitanggang, dan Safina Ainayya) memberikan paparan menarik mengenai praktik “Begu Ganjang” dalam komunitas Batak, dengan menyoroti dampak sosial dan kriminologis dari kepercayaan terhadap entitas mistis ini. Dalam paparan ini, kelompok penyaji mengaitkan fenomena ini dengan contagion theory, untuk memberikan perspektif yang komprehensif dalam menjelaskan kepercayaan terhadap Begu Ganjang yang dapat memicu stigma sosial dan bahkan aksi kekerasan, termasuk aksi main hakim sendiri atau vigilantisme.

Kelompok ini mengajak untuk melihat secara kritis tentang dinamika kepercayaan tradisional yang dapat berkonflik dengan norma hukum dan sosial modern. Dengan menggunakan contagion theory, kelompok penyaji menggambarkan kaitan antara kepercayaan terhadap Begu Ganjang dan tindakan kolektif di tengah masyarakat. Aksi massa yang terjadi sering kali dilandasi oleh rasa takut dan kecemasan yang meluas, kemudian mendorong individu-individu dalam komunitas untuk ikut serta dalam tindakan pengucilan dan bahkan kekerasan.

Refleksi Teori Pengendalian Sosial, Perspektif Katz, dan Teori Pelabelan

Teori Pengendalian Sosial (Social Control Theory) yang dikembangkan oleh Travis Hirschi juga relevan dalam memahami fenomena ini. Teori ini menyoroti bahwa perilaku kriminal atau menyimpang terjadi ketika individu kehilangan keterikatan dengan norma-norma sosial yang mengikat mereka pada masyarakat. Dalam konteks Begu Ganjang, pengendalian sosial yang lemah dalam komunitas, baik itu karena rasa takut atau keyakinan akan ancaman mistis, dapat menyebabkan hilangnya kendali sosial terhadap tindakan kekerasan. Ketika norma-norma hukum atau nilai-nilai sosial yang mengutuk kekerasan tidak lagi diikuti karena ketakutan yang lebih besar terhadap Begu Ganjang, individu-individu mungkin merasa terdorong untuk melakukan kekerasan demi menegakkan aturan menurut standar mereka.

Salah satu aspek penting yang perlu digarisbawahi dalam kajian ini adalah proses tindakan kekerasan terhadap mereka yang diduga memelihara Begu Ganjang seringkali didasarkan pada dorongan emosional. Buku “Seductions of Crime” oleh Jack Katz menawarkan perspektif yang relevan dalam memahami fenomena ini. Katz berargumen bahwa kejahatan, terutama kejahatan kekerasan, tidak hanya dilakukan karena alasan rasional seperti keuntungan ekonomi, tetapi juga karena adanya daya tarik emosional atau moral yang dirasakan oleh pelaku. Dalam kasus pembunuhan terhadap mereka yang dituduh mempraktikkan santet atau memelihara Begu Ganjang, tindakan ini bisa dianggap oleh pelaku sebagai upaya untuk menegakkan “keadilan” berdasarkan norma atau nilai-nilai fundamental masyarakat.

Pelaku aksi kekerasan seringkali merasa bahwa individu, yang dianggap sebagai pemelihara Begu Ganjang, telah melanggar nilai-nilai penting dalam komunitas. Pembunuhan atau kekerasan yang dilakukan terhadap korban kemudian dilihat sebagai tindakan yang “dibenarkan” secara moral. Dalam kerangka pemikiran Katz, kejahatan seperti ini adalah ekspresi dari kondisi emosional yang kuat, yaitu ketika pelaku merasa bahwa mereka sedang menjalankan kebaikan, melawan kejahatan atau kezaliman yang diduga dilakukan oleh korban. Rasa malu, kehormatan yang tercoreng, atau keyakinan bahwa korban melanggar norma adat yang mendasar sering kali menjadi pemicu tindakan kekerasan ini.

Teori Katz ini juga relevan untuk memahami fenomena labelling yang diterapkan pada mereka yang dituduh memiliki Begu Ganjang. Ketika seseorang diberi label sebagai pemelihara Begu Ganjang, mereka tidak hanya menjadi korban dari stigma sosial, tetapi juga dihadapkan pada kemungkinan dikucilkan atau menjadi sasaran kekerasan. Dalam konteks ini, pelabelan terhadap seseorang sebagai “penjahat” atau “pembawa malapetaka” berperan besar dalam memicu respons emosional yang intens dari masyarakat, sehingga main hakim sendiri dianggap sebagai solusi yang benar secara moral oleh pelaku. Teori pelabelan ini menyoroti bagaimana cap atau label sosial yang diberikan kepada seseorang dapat menyebabkan mereka dipersepsikan sebagai pelaku kejahatan, meskipun sebenarnya mereka mungkin tidak bersalah, dan bagaimana hal ini memperburuk diskriminasi dan kekerasan yang mereka alami.

Kesimpulan

Paparan ini memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai cara kepercayaan mistis seperti Begu Ganjang dapat berhubungan dengan tindakan kriminal nyata. Kejadian ini tidak hanya dapat dipahami melalui kerangka budaya, tetapi juga melalui perspektif kriminologis yang mencakup aspek emosional dan moral yang memotivasi pelaku melakukan kekerasan. Dengan mengacu pada teori Katz dan teori kriminologi lainnya, dapat dilihat bahwa tindakan seperti pembunuhan terhadap orang yang dituduh sebagai pelaku santet bukan sekadar kejahatan, melainkan juga didorong oleh rasa kebenaran yang terdistorsi. Dalam pandangan pelaku, kejahatan yang dilakukan dipersepsikan sebagai tindakan yang bermoral atau “baik.”

Walaupun presentasi ini telah berhasil menghubungkan fenomena Begu Ganjang dengan berbagai teori kriminologi, beberapa aspek lain, seperti dampak gender dan peran pemerintah dalam menangani masalah ini, masih memerlukan eksplorasi lebih lanjut. Misalnya, bagaimana peran tokoh agama atau pemuka adat dalam membatasi penyebaran kepercayaan ini serta mencegah kekerasan berbasis keyakinan? Selain itu, apakah ada perbedaan dalam reaksi masyarakat terhadap laki-laki dan perempuan yang dituduh memelihara Begu Ganjang? Menyertakan perspektif gender atau membahas efek psikologis dari fenomena ini juga akan menjadi tambahan yang menarik dan penting.

--

--