Ketika Kemenangan Mengantarkan Pada Penjara Baru: Penggambaran Sex Trafficking di Bawah Pemerintahan Yang Otoriter di Serial “The Hunger Games”

Dosen Krim
Kelas Kriminologi
Published in
6 min readMay 7, 2024

--

afya

(alt text: ilustrasi oleh penulis)

The Hunger Games, serial novel distopia karya Suzanne Collins, merupakan serial kategori young adult yang sering disebut sebagai pelopor kemajuan genre tersebut. Trilogi ini mengalami masa kejayaannya ketika diadaptasi menjadi tiga film pada tahun 2012 hingga 2015. Pembangunan dunia fiksinya yang sangat mencerminkan isu-isu dunia nyata diiringi dengan karakter utama perempuan yang kompleks dan gigih membuat serial ini menjadi salah satu serial yang sangat dicintai lebih dari 10 tahun sejak rilisnya.

Sinopsis The Hunger Games

Serial The Hunger Games bertempat di negara Panem, sebuah wilayah fiksi yang dulunya adalah Amerika Utara yang terbentuk karena adanya sebuah konflik global yang menyebabkan kolapsnya peradaban modern. Panem terbagi menjadi 12 distrik yang memiliki ekspor khas daerah dan dikuasai oleh Ibu kota bernama Capitol. Untuk mempertahankan kekuasaannya atas distrik-distrik lain, pemerintah di Capitol memaksa seluruh distrik Panem untuk mengirimkan seorang anak laki-laki dan perempuan–yang disebut tribute–untuk berkompetisi dalam acara yang disiarkan televisi secara nasional setiap tahunnya bernama Hunger Games. Hunger Games merupakan sebuah acara yang wajib ditonton oleh setiap warga negara, dimana para tributes dipaksa untuk sampai mati hingga tersisa satu orang pemenang (Collins, 2014).

Serial The Hunger Games merupakan sebuah kisah tentang perjuangan atas kemerdekaan dan hak asasi manusia dengan mengikuti kisah tribute distrik 12–distrik paling miskin–pada Hunger Games ke-74, Katniss Everdeen. Meski dia dengan cerdik berhasil memenangkan Hunger Games ke-74 bersama dengan Peeta Mellark, Katniss menyadari bahwa kemenangan mereka dari Hunger Games tidak membebaskan mereka dari cengkraman Capitol. Sebaliknya, Katniss dan pemenang lainnya justru dipaksa menjadi alat oleh Presiden Snow–Presiden Panem–untuk menyebarkan propaganda Capitol dan melanggengkan keberlangsungan Hunger Games. Situasi ini menjadi semakin buruk ketika Katniss menemukan bahwa Presiden Snow juga memperalat beberapa pemenang secara pribadi dengan memprostitusi mereka. Akhirnya, Katniss dan Peeta bersama dengan banyak pemenang Hunger Games bergabung dengan gerakan pemberontakan dan berhasil menggulingkan rezim kejam Capitol (Collins, 2014).

“May the Odds Be Ever in Your Favor”: Ilusi Kebebasan Bagi Pemenang Hunger Games

May the odds be ever in your favor” merupakan salah satu kalimat yang paling ikonik dari serial The Hunger Games yang selalu dielu-elukan oleh pihak Capitol sebelum pemilihan tributes dilakukan. Menurut penulis, kalimat ini menimbulkan keresahan, karena memberikan ilusi seolah arah kehidupan seluruh warga Panem hanya bergantung pada nasib. Kenyataannya, banyak dari “nasib” yang dialami oleh warga Panem adalah hasil dari ketidakadilan yang dikonstruksi oleh Capitol. Meski serial Hunger Games lebih banyak fokus pada aspek pemerintahan yang otoriter, serial ini juga dengan apik menampilkan bagaimana pemerintahan yang otoriter berhubungan erat dengan perdagangan manusia.

Dalam buku ketiga berjudul The Hunger Games: Mockingjay, hubungan ini terlihat jelas pada kisah Finnick Odair, salah satu teman terdekat Katniss dan pemenang Hunger Games ke-65 yang diprostitusi oleh Presiden Snow. Finnick merupakan pemenang Hunger Games paling muda, dia memenangkan perlombaannya di usia 14 tahun. Tidak lama setelah menang, yang Finnick dapatkan bukanlah kebebasan, tetapi kekangan dan trauma yang berlanjut. Untuk memastikan kepatuhannya, Presiden Snow mengancam bahwa orang-orang yang dicintai Finnick akan dibunuh jika dia tidak menurutinya. Finnick mengungkap bahwa dia bukanlah satu-satunya korban yang diprostitusi oleh Presiden Snow: Snow telah memaksa banyak pemenang yang terkenal karena penampilannya ke dalam perdagangan seksual (Collins, 2014). Meski Finnick datang dari distrik yang cukup makmur yaitu distrik 4, dicintai oleh publik, dan berhasil memenangkan Hunger Games, dia kenyataannya tidak dapat bebas dari ancaman eksploitasi seksual dan perdagangan manusia. Hal ini mencerminkan kehidupan nyata, bahwa sesungguhnya tidak ada satupun dari kita yang benar-benar bebas dari ancaman kejahatan perdagangan manusia.

Prostitusi Finnick Odair sebagai Bentuk Sex Trafficking

Trafficking merupakan tindak kejahatan dimana seseorang direkrut, diangkut, ditampung, dipindahkan, atau diterima dengan ancaman kekerasaan, penculikan, penipuan, penjeratan utang, ataupun penyalahgunaan kekuasaan dengan tujuan eksploitasi di dalam negara maupun antar negara (Pratista & Widowaty, 2017). Salah satu jenis eksploitasi yang dapat terjadi adalah eksploitasi seksual, sebagaimana yang dialami oleh Finnick di serial The Hunger Games.

Jika dilihat dari usianya yang sangat muda saat memenangkan Hunger Games ke-65, tidak aneh untuk mengasumsikan bahwa Finnick merupakan korban dari kejahatan child sex trafficking atau perdagangan seksual anak. Seperti yang kita ketahui anak memiliki kebutuhan yang berbeda dari orang dewasa, akan tetapi ia bergantung dengan orang dewasa untuk memenuhi kebutuhannya tersebut (Gaben, 2011). Ketergantungan yang dimiliki oleh anak terhadap orang dewasa untuk memenuhi kebutuhannya membuat anak lebih rentan untuk dieksploitasi.

Berkaitan dengan relasi kuasa anak dan orang dewasa, Davy (2018) berpendapat bahwa tanpa perlindungan orang dewasa dan tanpa pengetahuan yang memadai mengenai hak-hak mereka, anak-anak akan lebih mudah menerima kenyataan bahwa mereka dipaksa terikat kontrak utang, bekerja dengan upah rendah atau tanpa bayaran sama sekali, serta mengalami eksploitasi dan pelecehan. Relasi kuasa yang ada antara Presiden Snow dan Finnick mungkin telah membantu Finnick untuk menerima bahwa dia kini telah menjadi salah satu dari orang yang diprostitusi oleh Presiden Snow.

The Hunger Games sebagai Cerminan Situasi Sex Trafficking di Bawah Pemerintahan yang Otoriter

Kita juga tidak bisa melupakan dimensi pemerintahan yang otoriter dalam The Hunger Games sebagai gambaran bagaimana sistem yang otoriter merupakan salah satu faktor penyebab langgengnya perdagangan manusia. Menurut The Human Rights Foundation atau HRF (2022), dengan adanya karakter koruptif, kekurangan supremasi hukum, dan kriminalisasi terhadap masyarakat sipil dalam pemerintahan yang otoriter, pelaku perdagangan manusia dapat melakukan kejahatan tanpa mendapat hukuman. Pelaku perdagangan manusia bisa mendapatkan impunitas di bawah pemerintahan yang otoriter karena polisi dan politisi sering kali disuap agar tidak menindak para pelaku, mereka bahkan bisa ikut serta dalam perdagangan orang tersebut (HRF, 2022). Impunitas sebagai tokoh politik inilah yang kemudian dapat mempermudah Presiden Snow memprostitusi para pemenang Hunger Games.

Jika dilihat dari sudut pandang motifnya, selain motif ekonomi, Presiden Snow mungkin memperdagangkan Finnick dan pemenang-pemenang Hunger Games lainnya untuk motif kekuasaan yakni memperkuat posisinya sebagai pemimpin. Menurut Van Voorhout (2022), ketika “uang kotor” yang diperoleh melalui tindak pidana seperti perdagangan manusia dapat merusak demokrasi liberal dari dalam. Dalam hal ini, uang kotor dapat digunakan untuk melanggengkan karir politik suatu rezim dengan cara-cara yang koruptif. Pergeseran dari sistem demokrasi ke sistem otoriter tentunya mengkhawatirkan, karena negara demokrasi umumnya lebih cenderung mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam menangani perdagangan manusia (HRF, 2022). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Presiden Snow memang secara sengaja berusaha untuk menghasilkan uang kotor sebanyak-banyaknya melalui tindak kejahatan perdagangan seksual, agar ia kemudian dapat menghapus ancaman protes terbuka yang ada pada sistem demokrasi. Untuk beberapa waktu, usaha ini berhasil, yang terlihat dari bagaimana Presiden Snow mampu membungkam para pemenang yang diprostitusi dengan mengancam pembunuhan keluarga mereka.

Kesimpulan

Banyak orang berkata bahwa “seni meniru kehidupan”, dan hal ini tampaknya benar bagi serial The Hunger Games. Trilogi yang dicintai di seluruh dunia ini telah berhasil mengilustrasikan bagaimana pemerintahan yang otoriter melakukan kejahatan terhadap masyarakatnya, termasuk kejahatan perdagangan manusia. Melalui cuplikan kisah Finnick Odair, The Hunger Games telah berhasil mencerminkan realitas kehidupan nyata tentang perdagangan manusia di bawah sistem yang koruptif, dan bagaimana anak memiliki kerentanan yang lebih tinggi untuk diviktimisasi oleh jaringan perdagangan manusia.

Daftar Pustaka

Collins, S. (2014). The Hunger Games Trilogy. New York: Scholastic.

Davy, D. (2018). Trafficking of Vulnerable Children in Southeast Asia. Dalam Szente, J. (eds). Assisting Young Children Caught in Disasters (hlm. 47–55). Springer.

Gabel, S. G. (2011). Social Protection and Children in Developing Countries. Children and Youth Services Review, 34(2012), 537–545.

HRF. (2022, 30 Juli). “Authoritarianism Lies at the Heart of Human Trafficking”. The Human Rights Foundation.

Pratista, A. D. dan Widowaty, Y. (2021). Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Menjadi Korban Human Trafficking. Indonesian Journal of Criminal Law and Criminology, 2(3), 178–183.

Van Voorhout, J. E. B. C. (2022). How Human Trafficking Fuels Erosion of Liberal Democracies — In Fiction and Fact, and from within and without. Social Sciences. 11(12), 1–38.

--

--