Menginvestigasi Praktik Perdagangan Anak dalam ‘Sex Tourism’ di Kolombia

Vanimay

Dosen Krim
Kelas Kriminologi
10 min readMay 11, 2024

--

Sumber: https://pin.it/2jrZVGQ66

Menginvestigasi ‘sex tourism’ di Kolombia

Resensi ini akan membahas praktik perdagangan anak dalam sex tourism di Kolombia karena negara tersebut menjadi salah satu destinasi wisata untuk pengalaman seks bagi para turis. Banyak sekali sex workers yang dapat ditemukan dengan mudah melalui broker atau mucikari (bisa disebut juga dengan third party–namun pemerintah Kolombia menyebutnya dengan pimp). Dokumenter investigasi ini berjudul Sex Tourism: Predators in Paradise dengan judul video Inside Colombia’s Fight Against Child Trafficking for Sex Tourism pada tanggal 28 September 2023 dengan reporter yang melakukan wawancara dan penyaji dokumenter bernama Calliste Weitenberg sekaligus berperan sebagai produser bersama Bruno Federico dan tim lainnya yang membantu proses pembuatan dokumenter investigasi, seperti Simone Bruno (Local Producer/Additional Camera); Micah McGown (Editor); Roclo Otoya, Ninon Boutin, Federico Solchi, dan Kate Edwards (Translations); Amber Wood, Ace Pecenpetelovski, dan Andres Jaramillo Gallego (Legal), Fundacion Renacer; Bronte Baskin dan Gabrielle Katanasha (Production Coordinator); Kayla Kingsland (Production Manager); Agnes Teek (Series Producer); dan Georgina Davies (Executive Producer).

Perasaan hancur atas penderitaan yang dialami korban

Seperti yang telah penulis sebutkan bahwasanya Kolombia merupakan salah satu destinasi wisata untuk pengalaman seks para turis sehingga praktik dari sex tourism marak terjadi di berbagai kota dan daerah di Kolombia, termasuk sex workers yang dapat ditemukan dengan mudah karena merupakan hal umum di sini. Akan tetapi, banyak sekali orang asing maupun turis yang mencari pengalaman berhubungan seksual dengan minors atau anak-anak dibawah umur dimana hal itu merupakan tindakan ilegal. Dokumenter ini dibuka oleh seorang reporter bernama Calliste Weitenberg yang datang ke Medellin, merupakan kota terbesar kedua di Kolombia dan bertemu dengan driver-nya yang bekerja sebagai jurnalis dan mengaku sebagai tour operator (walaupun sebenarnya lebih tepat disebut dengan pimp atau mucikari namun ia menganggap dirinya sebagai operator tur) pada malam hari bernama Mariana. Dari sini sang reporter datang ke berbagai tempat dan daerah yang penuh dengan cerita seperti tempat prostitusi, club, rural area dan sebagainya seperti Parque Lleras, Cartagena, dan La Boquilla (yang berada di sisi utara Cartagena). Menurut keterangan Mariana, sex tourism di sini tidak terlepas dari peran mafia besar yang memfasilitasi turis untuk mencari sex workers dan menargetkan banyak anak-anak dan perempuan. Mariana bahkan menyebutkan bahwa sekitar 12% sex workers di Kolombia adalah anak-anak dan banyak sekali mucikari yang menyembunyikan data diri pekerja seks dan menggunakan fake IDs agar tidak diketahui identitas dan usianya. Selain itu, banyak sekali turis yang mau membayar lebih untuk perempuan yang masih virgin (salah satu pekerja seks yang bersedia diwawancarai mengatakan bahwa “selling your virginity gives you a lot of money” karena para klien akan memberikan segalanya pada pekerja seks yang masih virgin seperti uang, baju, dan ke pusat perbelanjaan) dan tidak segan memilih anak-anak. Kemudian, reporter juga mewawancarai salah satu sex workers; polisi yang melakukan penyelidikan ke rumah-rumah bordil, club, dan tempat prostitusi; para korban (salah satunya bernama Wendy yang pada saat diperdagangkan dan dijual pada orang asing untuk seks baru berusia 16 tahun dan mengalami berbagai siksaan oleh pimp dan client-nya serta baru berhasil melarikan diri setelah 8 tahun kemudian); serta pelaku yang melakukan pelecehan seksual pada anak untuk mendapatkan keterangan lebih lanjut serta pengalaman mereka untuk mendapatkan gambaran jelas terkait fenomena sex tourism dan praktik perdagangan anak untuk eksploitasi seksual dengan berbagai modus yang dilakukan oleh para pelaku.

Mengenal gelapnya praktik perdagangan manusia melalui dokumenter

Dokumenter investigasi ini menurut penulis pribadi cukup eksplisit dan menggambarkan dengan jelas fenomena sex tourism dan praktik perdagangan anak untuk eksploitasi seksual dari berbagai perspektif seperti korban, pekerja seks, pelaku, pihak polisi, pimp atau mucikari, orang tua korban, serta masyarakat yang mengamati fenomena dari eksploitasi dan perdagangan anak sehingga penulis dapat memahami bagaimana fenomena ini bisa terjadi dan dampak dari kondisi yang tidak ideal ini. Selama menonton dokumenter, penulis beberapa kali menghela nafas dan merasakan sesak di hati karena dokumenter ini menunjukkan dengan jelas para pekerja seks dan mewawancarai para korban dan pelaku secara langsung sehingga emosi dari mereka dapat penulis rasakan. Penulis merasa sangat prihatin dengan kondisi para korban yang mengalami trauma dari segi mental, fisik, dan material akibat tindakan kriminal yang dilakukan oleh para pelaku, traffickers, client, dan mucikari sebagai aktor dibalik penderitaan para korban yang dieksploitasi seksual. Selain itu, penulis juga merasa miris karena beberapa daerah di Kolombia seperti La Boquilla sendiri sudah diabaikan oleh pemerintah dan banyak sekali masyarakat yang tidak memahami pengertian dari pelecehan seksual sehingga ketika anak-anak mengalami pelecehan seksual, mereka tidak menyadari bahwa mereka adalah korban dan telah mengalami viktimisasi. Para pelaku pun menyasar daerah-daerah tersebut dan menargetkan anak-anak dalam kondisi rentan seperti anak-anak yang hidup dalam kondisi kemiskinan dan berada dalam kondisi terdesak yang membutuhkan pekerjaan dengan modus dan tipu daya untuk menjebak mereka dalam lubang penderitaan yang tidak berkesudahan.

Destinasi wisata tidak selamanya indah

Perdagangan manusia merupakan kejahatan serius yang melanggar hak asasi manusia dan seringkali melibatkan eksploitasi seksual, buruh paksa, perdagangan organ (seperti ginjal dan organ tubuh lainnya), maupun kerja paksa. Perdagangan manusia ini juga sangat berkaitan dengan kelompok kriminal dan kelompok kejahatan terorganisir (Paoli, 2014). Seperti yang ditunjukkan dalam dokumenter investigasi ini bahwasannya sex tourism dan sex workers tidak terlepas dari peran dan fasilitasi mafia besar sehingga para pelaku memiliki kekuatan besar dan sangat sulit ditangkap karena memiliki jaringan yang luas dan kuat. Meskipun dalam dokumenter tidak disebutkan secara jelas area dari jaringan mafia yang terlibat, penulis meyakini bahwa jaringan mafia ini terafiliasi dengan mafia lain di luar negara tersebut dan memiliki jaringan yang luas termasuk memudahkan para turis yang ingin berkontak seksual dengan anak-anak. Hal ini menunjukkan bahwa dimensi dari perdagangan manusia tidak bermukim di satu wilayah saja, namun begitu luas dan lintas batas negara bahkan terorganisir dalam melancarkan aktivitas kriminalnya. Paoli (2014) dalam bukunya menyebutkan bahwa perdagangan manusia seringkali melibatkan lintas wilayah dan mengharapkan keuntungan finansial dari orang yang direkrut (trafficked persons). Sejalan dengan pendefinisian Paoli tersebut, praktik perdagangan manusia ini begitu rumit serta penyelesaiannya tidak mudah dengan adanya dimensi lintas negara dan kelompok kejahatan terorganisir sehingga membutuhkan pelibatan kerja sama antar negara. U.S Department of State yang dikutip dalam (Gibbons, 2017) turut mendefinisikan perdagangan manusia sebagai aktivitas yang merekrut, menyembunyikan, mengangkut, menyembunyikan, atau memperoleh seseorang untuk melakukan kerja paksa atau tindakan seks komersial melalui penggunaan kekerasan, penipuan, maupun paksaan. Perdagangan manusia ini dapat menyasar semua kalangan, baik perempuan, laki-laki, maupun anak-anak, seperti child sex trafficking atau perdagangan seksual anak-anak dengan tujuan eksploitasi seksual. Paoli (2014) menyebut perdagangan manusia untuk tujuan eksploitasi seksual itu sebagai ‘modern slavery’ atau perbudakan modern. Meskipun ada perbedaan konteks historis dan budaya antara perbudakan (slavery) dan perdagangan manusia, keduanya sama-sama merupakan bentuk eksploitasi manusia dan melanggar hak asasi manusia karena para korban kehilangan kontrol atas dirinya sehingga korban tidak berdaya dan sulit menyuarakan suara dan hak-haknya dikarenakan otonomi dirinya dihilangkan secara paksa oleh pelaku.

International Labour Organization (ILO) melaporkan bahwa perempuan dan anak merupakan korban dari eksploitasi seksual komersial sebanyak 98% (Miller-Perrin & Wurtele, 2017). Permasalahan ini pun menjadi masalah global yang membawa berbagai implikasi dan sulit diatasi karena perdagangan anak sebagai bagian perdagangan manusia untuk eksploitasi seksual menjadi kejahatan yang tersembunyi (undercover) (Walters & Davis, 2011). Dalam dokumenter investigasi tersebut menunjukkan bahwa anak-anak yang dieksploitasi secara seksual dan diperdagangkan juga cukup tersembunyi karena para mucikari menyembunyikan identitas mereka dan menyiapkan ruang tersembunyi seperti labirin yang berisi lebih dari 50 kamar dimana banyak anak-anak dan perempuan dibawa di Cartagena. Untuk menutupi dan menyembunyikan anak-anak atau pekerja seks yang masih berusia anak-anak, mucikari juga bekerja sama dengan traffickers dan clients yang kebanyakan merupakan orang asing agar jejak mereka tidak diketahui oleh pihak berwajib. Bahkan eksploitasi seksual ini menyasar anak-anak yang berada dalam kondisi rentan seperti kemiskinan dengan berbagai modus untuk menjerat mereka. Salah satu korban yang mengalami hal serupa adalah Wendy, yang pada saat diperdagangkan dan dijual ke orang asing baru berusia 16 tahun. Ia bersedia diwawancarai oleh reporter dalam investigasi ini dan menceritakan pengalamannya yang dijanjikan oleh tetangganya untuk kerja di salah satu restoran di Cartagena. Tetangga tersebut merupakan orang yang sangat dekat dengan Wendy sehingga ia percaya ketika mendapatkan tawaran dari tetangga tersebut tanpa mengetahui bahwa ia akan dieksploitasi secara seksual dan mendapatkan siksaan dari mucikarinya serta kehilangan kontrol atas dirinya karena hampir 24 jam mucikari tersebut mengawasi Wendy secara rutin. Wendy juga menceritakan bahwa dia mengalami kekerasan fisik dan verbal yang ekstrim sehingga memiliki banyak memar di seluruh tubuhnya. Dibutuhkan 8 tahun sampai akhirnya Wendy berhasil melarikan diri dari tempat tersebut dan orang-orang yang mengawasi dan mengeksploitasinya. Menurut Hulsbergen & Nooteboom (2023) modus perekrutan dengan penawaran kerja di tempat seperti restoran, cafe, maupun spa seperti itu juga dilakukan oleh kelompok Yakuza di Jepang dalam menjalankan bisnis prostitusi. Di dalam (Hill, 2003) para pekerja seks komersial asing direkrut secara ilegal atau melebihi masa berlaku visa nya sehingga tidak mendapatkan perlindungan hukum. Mereka sebelumnya dijanjikan untuk dipekerjakan sebagai waitresses, pekerja industri, nyonya rumah, hingga pengasuh. Keterlibatan yakuza dalam bisnis ini adalah sebagai second broker dengan broker pertama yang merupakan orang asli/native dari negara asal perempuan-perempuan yang dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial (Hill, 2003). Oleh karena itu, keterlibatan mafia maupun jaringan kelompok terorganisir berperan besar dalam keberlangsungan aktivitas kriminal perdagangan anak sehingga mereka dapat merencanakan modus dan mengoperasikan kegiatan mereka secara terorganisir.

Berbicara terkait perdagangan anak dalam konteks dokumenter investigasi di Kolombia ini, dapat dikaitkan dengan Child Sex Tourism (CST) karena banyak turis yang mencari pengalaman seksual dengan anak-anak di Kolombia. Child Sex Tourism (CST) dapat diartikan sebagai eksploitasi seksual pada anak oleh seseorang maupun kelompok orang yang melakukan wisata dari suatu tempat ke tempat lain dengan tujuan memiliki kontak seksual dengan anak (Mekinc & Music, 2015). Child Sex Tourism (CST) merupakan kegiatan eksploitasi seksual pada anak yang marak terjadi di Thailand, Kenya, Tanzania, dan Filipina (Mekinc & Music, 2015). Sementara di Kamboja sendiri sepertiga dari 800.000 pekerja seks adalah anak di bawah umur (Hansen, 2005) dalam (Mekinc & Music, 2015). Selain itu, Hulsbergen & Nooteboom (2023) juga memperkirakan antara 40.000 dan 70.000 anak dibawah umur menjadi korban eksploitasi seksual di Indonesia dimana Jawa menyumbang 21.000 anak di bawah umur. Sementara Bali dan Batam menjadi tujuan wisata yang populer bagi para turis yang dapat digunakan sebagai kegiatan Child Sex Tourism (CST). Data-data tersebut menunjukkan bahwa child sex tourism merupakan praktik yang banyak dilakukan di sejumlah wilayah dan menjadi urgensi di tingkat global dan regional. Selain itu, dalam kasus Child Sex Tourism (CST) ini, para pelaku bisa merupakan seseorang yang berkunjung sebagai bagian dari tur seks terorganisir untuk tujuan memiliki pengalaman seksual dengan anak-anak maupun merupakan bagian dari jaringan pedofil internasional maupun turis atau orang bisnis yang ingin memiliki keterlibatan dalam pengalaman seksual dengan anak-anak (Hodgson, 1994). Hodgson (1994) menambahkan bahwa industri Child Sex Tourism (CST) juga memiliki keterkaitan dengan jaringan pedofil rahasia yang membantu para turis untuk menemukan destinasi wisata yang aman dalam melakukan eksploitasi seksual dan menghindari deteksi keamanan di suatu negara. Tentu saja hal itu berguna bagi para pelanggan (clients) dan jaringan pedofil rahasia tersebut untuk terbebas dari jeratan hukum agar dapat bebas beroperasi untuk mendapatkan keuntungan dan kebutuhan yang mereka inginkan yang tidak dapat diberikan dan dipenuhi oleh negara dan hukum yang sah. Mereka pun menggunakan celah-celah hukum, memilih negara dengan mobilitas yang mudah untuk dimasuki, serta memanfaatkan sektor pariwisata untuk melakukan kegiatan ilegal. Tidak hanya itu, kemiskinan dan daerah-daerah yang yang telah diabaikan oleh pemerintah dapat menimbulkan kerentanan dan faktor resiko yang tinggi bagi anak-anak, terlebih lagi apabila tidak ada edukasi yang bijak terkait perlindungan anak dan pelecehan seksual yang perlu dipahami oleh masyarakat. Salah satu daerah bernama La Boquilla didalam dokumenter disebutkan telah diabaikan oleh pemerintah dan memiliki zona yang tidak memiliki air, listrik yang sering dicuri, dan edukasi yang tidak baik. Kemiskinan dan kerentanan tersebut meningkatkan kesempatan bagi orang asing yang datang dengan niat yang buruk dan menawarkan hal-hal yang diinginkan anak-anak yang tidak dapat dipenuhi oleh keluarga maupun komunitas tersebut. Bukti nyata dari hal tersebut adalah tindakan kriminal yang dilakukan oleh Dario Lavoratori, pelaku yang ditangkap karena dugaan melakukan pelecehan seksual pada tiga anak perempuan yang berusia 79 tahun dengan identitas dari Italia dengan modus mengajarkan bahasa Italia pada anak-anak tersebut. Salah satu ibu korban yang bersedia diwawancarai oleh reporter mengatakan bahwa Dario justru menyentuh korban dan mengatakan akan memberikan uang serta makanan manis pada anaknya. Selain itu, korban mengenal Dario melalui pamannya yang ternyata melakukan perkosaan pada anak perempuan. Kasus ini menggambarkan fenomena yang tidak ideal bagi anak-anak yang berada di posisi dengan tingkat resiko yang tinggi atas peristiwa kejahatan karena lingkungan yang tidak teredukasi dengan baik terkait pelecehan seksual dan eksploitasi seksual serta terlepas dari perlindungan pemerintah sehingga banyak orang asing (outsider) datang dan memanfaatkan kondisi tersebut. Di dokumenter juga dijelaskan bahwa penjara di Cartagena terdapat sejumlah pelaku kejahatan seksual sebanyak 143 orang yang diantaranya pelaku child sexual abuse dan trafficking yang kebanyakan merupakan orang asing.

Kesimpulan

Secara keseluruhan, dokumenter ini sangat membantu penulis dalam mengkaji fenomena perdagangan anak khususnya perdagangan anak untuk eksploitasi seksual dalam destinasi wisata seksual atau sex tourism yang berada di Kolombia. Para produser dan tim dari dokumenter investigasi telah menyajikan dokumenter yang apik terkait destinasi wisata seksual yang ternyata menyimpan rahasia gelap di dalamnya seperti eksploitasi seksual pada anak dan perdagangan anak yang menimbulkan kerugian dan perlukaan bagi para korbannya. Apabila ditinjau dalam perspektif kriminologis dan mata kuliah perdagangan manusia, anak-anak dalam kondisi rentan sangat mudah dieksploitasi oleh pelaku dengan penggunaan modus-modus yang menipu dan menjerat mereka sehingga korban mengalami viktimisasi. Secara lebih rinci, viktimisasi yang terjadi ini dikarenakan adanya pengabaian oleh pemerintah di daerah-daerah tertentu dan praktik prostitusi yang marak terjadi di Kolombia yang menjadi celah bagi para pelaku melakukan perdagangan seksual, eksploitasi seksual, dan perdagangan manusia pada anak yang bersinggungan dengan isu sosial, ekonomi, dan kesejahteraan di berbagai daerah dan tempat di Kolombia.

Daftar Pustaka

Gibbons, J. L. (2017). Human Trafficking and Intercountry Adoption. Women & Therapy, 40(1–2), 170–189.

Hill, P. B. E. (2003). The Japanese Mafia: Yakuza, Law, and the State. Oxford University Press.

Hodgson, D. (1994). Sex Tourism and Child Prostitution in Asia: Legal Responses and Strategies. 19.

Hulsbergen, F., & Nooteboom, G. (2023). Child Sex Tourism: Ambiguous Spaces in Bali. 114(1).

Mekinc, J., & Music, K. (2015, Mei). Sexual Exploitation of Children in the Tourism — The Dark Side Of Tourism. Innovative Issues and Approaches in Social Sciences, Vol. 8, №2.

Miller-Perrin, C., & Wurtele, S. K. (2017). Sex Trafficking and the Commercial Sexual Exploitation of Children. Women & Therapy, 40(1–2), 123–151.

Paoli, L. (2014). The Oxford Handbook of Organized Crime. Oxford University Press.

SBS Dateline. (2023, September 28). Sex Tourism: Predators in Paradise. YouTube.

Walters, J., & Davis, P. H. (2011). Human Trafficking, Sex Tourism, and Child Exploitation on the Southern Border. Journal of Applied Research on Children, v2 n1 Article 6.

--

--