Pemahaman Keadilan Restoratif di Indonesia Bila Ditinjau dengan Pemikiran ‘Peacemaking Criminology’
Wildan Yuke Martdias Sulaeman
Penyelesaian Secara “Damai” Berarti Keadilan Restoratif belakangan ini, mencuat kembali pembahasan terkait peristiwa pemerkosaan yang dilakukan terhadap pegawai Kemenkop oleh empat rekan kerjanya. Peristiwa tersebut sebenarnya terjadi pada tahun 2019, namun kembali menjadi permasalahan karena penyelesaian yang dirasa bermasalah. Peristiwa ini sebelumnya diselesaikan dengan jalur “damai” yang diklaim
sebagai keadilan restoratif (Muliawati, 2022).
Para pelaku dalam peristiwa ini sempat diproses oleh pihak kepolisian. Para pelaku sempat ditahan selama 21 hari (Nita, 2022). Namun, pada akhirnya pelaku dibebaskan dikarenakan peristiwa ini akan diselesaikan melalui keadilan restoratif. Berdasarkan keterangan pihak kepolisian, kasus ini dinyatakan berhenti dan diselesaikan melalui keadilan restoratif ketika pihak korban datang ke polrestabes dengan membawa surat pencabutan laporan dan perdamaian yang telah ditandatangani oleh kedua pihak, serta menunjukan bahwa mereka telah sepakat untuk menikah (Sholihin, 2022).
Hubungan Keadilan Restoratif dan Peacemaking Criminology
Keadilan restoratif (Restorative Justice) merupakan konsep yang mendefinisikan keadilan sebagai pemulihan (Zehr, 1990). Landasan utama dari konsep ini adalah filosofi yang berfokus pada korban, serta penyesalan dan permintaan maaf yang yang ditunjukan oleh pelanggar (Alexander, 2006). Zehr (2005) menyatakan bahwa fokus keadilan restoratif bukan hanya pada pengampunan dan rekonsiliasi, tetapi tentang menilai kebutuhan dan mengasumsikan kewajiban untuk memperbaiki kesalahan yang telah dilakukan pelaku terhadap korban (Pepinsky, 2013). Penyelesaian masalah dengan keadilan restoratif merupakan hal yang sedang digaungkan di Indonesia. Kejaksaan RI menyebutkan bahwa per
tanggal 16 Juli 2022, kejaksaan telah melaksanakan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif terhadap 1.334 perkara tindak pidana umum dari total 1.454 permohonan (Medistiara, 2022).
Keadilan restoratif memiliki ikatan yang kuat dengan peacemaking criminology. Dalam Johnstone (2002), dinyatakan bahwa ketika komunitas terlibat dalam praktik keadilan restoratif, maka hal tersebut menciptakan kompetensi yang lebih besar dalam penyelesaian konflik komunitas tanpa kekerasan (Ashe, 2009). Peacemaking criminology merupakan perspektif mengenai hukuman dan keadilan yang berorientasi pada perdamaian. Teori dan praktik yang berorientasi pada konsep ini mengupayakan penghapusan kekerasan dari semua bidang kehidupan (Sullivan, & Tifft, 1998). Prinsip dari peacemaking ini dapat dilihat dari praktik “lingkaran perdamaian” yang merupakan ruang diskusi diman para pemangku kepentingan diberikan suara yang sama. Prinsip-prinsip berdamai dengan menyeimbangkan percakapan di antara pihak-pihak yang melakukan kekerasan adalah prinsip-prinsip kontrol sosial, di mana kontrol kejahatan menjadi bagiannya (Pepinsky, 2013). Selain itu, “Peacemaking” itu sendiri dalam perkembangannya diperluas ke segala macam program dan teori yang dianggap positif daripada negatif dan menghukum, serta diperluas ke segala macam program koreksi masyarakat dan ‘’pengadilan’’ alternatif (Pepinsky, 2013).
Berdasarkan pemaparan diatas, maka tulisan mempertanyakan:
“Bagaimana pemahaman Keadilan Restoratif di Indonesia bila ditinjau dengan pemikiran Peacemaking Criminology?”
Telaah Jurnal Internasional
Artikel ilmiah berjudul “Situating restorative justice in novel jurisdictions: considerations from the Malaysian experience” yang ditulis oleh Taufik Muhammad, dkk pada tahun 2019 merupakan artikel yang membahas penerapan keadilan restoratif berdasarkan pengalaman di Malaysia. Artikel ini menyoroti pertimbangan awal implementasi keadilan restoratif, dengan perhatian khusus pada posisi korban dalam proses. Artikel ini juga melihat manfaat relatif penerapan keadilan restoratif di dalam dan di luar peradilan pidana. Tujuan kami adalah untuk memberikan diskusi yang kuat tentang pertimbangan praktis unik yang dihadapi saat menerapkan keadilan restoratif di yurisdiksi baru, termasuk di luar Barat.
Tinjauan Pemikiran Peacemaking Criminology Terhadap Pemahaman Keadilan Restoratif di Indonesia
Berdasarkan paparan peristiwa di atas, terdapat kesalahan pemahaman dan penerapan dari keadilan restoratif. Pernyataan “damai” yang dilakukan berdasarkan peraturan yang ada mungkin sudah tepat. Akan tetapi, jika kita tinjau kembali, terdapat keterangan yang menyatakan bahwa pihak korban mendapat intimidasi dari pihak pelaku (Nita, 2022). Tekanan dan intimidasi ini tidak sesuai dengan prinsip peacemaking criminology dan
keadilan restoratif. Dalam upaya mediasi antar pelaku dan korban segala keputusan harus diambil tanpa ada paksaan (Alexander, 2006). Selain itu, dalam peristiwa ini juga ditunjukan adanya ketimpangan kuasa sehingga suatu pihak dapat menekan pihak yang lainnya. Adanya hubungan kuasa ini menyebabkan keputusan dan hasil yang ada merupakan ketidakadilan
(Winslade, 2018).
Kemudian, dalam keadilan restoratif penyelesaian permasalahan harus dilakukan berdasarkan kebutuhan dan kepentingan korban (Zehr, 1990). Dalam pemenuhan hal tersebut korban harus dilibatkan dan menjadi poin sentral. Dalam peristiwa ini, Keputusan korban yang menyatakan setuju untuk menikah patut dipertanyakan. Kemampuan korban dalam membuat keputusan tidak pernah dapat dipastikan bersifat sukarela (Jokinen, 2021). Selain itu, menikahkan pelaku dengan korban pada kasus pemerkosaan sama saja dengan memenjarakan korban menjadi korban seumur hidup dari pelaku (Damaiswari, & Marlina, 2021). Solusi yang sebaiknya diterima oleh korban harus merupakan sesuatu yang dapat memberikan rasa aman dan mengakomodasi keperluannya.
Berdasarkan peristiwa ini, upaya penyelesaian keadilan restoratif telah
disalahgunakan oleh pihak pelaku. Dalam keadilan restoratif pemulihan terhadap pelaku memang merupakan sesuatu yang harus diperhatikan (Zehr, 1990). Akan tetapi, fokus utamanya tetap pada pemulihan korban dan perbaikan diri pada pelaku, bukan untuk membuat pelaku lari dari tanggung jawab. Upaya penekanan dan intimidasi yang dilakukan oleh pelaku sama sekali tidak menunjukan sisi penyesalan dan permintaan maaf (Alexander, 2006). Padahal, kedua poin ini merupakan hal yang penting dalam penerapan keadilan restoratif dan prinsip peacemaking. Jika hal ini tidak ada atau dilakukan dengan keterpaksaan, maka proses yang dilakukan tidak akan berhasil (Alexander, 2006).
Kesimpulan
Keadilan restoratif merupakan konsep penyelesaian permasalahan berupa upaya pelaku memperbaiki kesalahan terhadap korban. Keadilan restoratif memiliki keterkaitan yang kuat dengan Peacemaking Criminology. Penerapan keadilan restoratif merupakan hal yang sedang digaungkan di Indonesia. Akan tetapi, pada praktiknya di Indonesia masih terjadi kesalahpahaman yang membuat proses tidak berjalan baik. Kesalahpahaman yang ada menyebabkan praktik keadilan restoratif tidak sesuai dengan konsep pemikiran peacemaking. Sehingga, keadilan restoratif yang dilakukan tidak berhasil dalam menyelesaikan masalah.
Daftar Pustaka
Alexander, R. (2006). “Restorative justice: Misunderstood and misapplied.” Journal of Policy Practice, 5(1), 67–81. DOI:10.1300/j508v05n01_05
Alexander, R. (2006). “Restorative Justice.” Journal of Policy Practice, 5(1), 67–81. DOI:10.1300/j508v05n01_05
Ashe, F. (2009). “From paramilitaries to peacemakers: The gender dynamics of community-based restorative justice in Northern Ireland.” The British Journal of Politics and International Relations, 11(2), 298–314.
Damaiswari, D. D., & Marlina, S. (2021). “Penerapan Restorative Justice terhadap Perlindungan Hak Anak Sebagai KOrban Pemerkosaan.” Jurnal Hukum Bisnis Bonum Commune, Volume 4, Nomor 2 Agustus 2021, 149, 235.
Jokinen, H. (2021). “Solving moral conflicts. Case restorative justice in domestic violence cases.” Contemporary Justice Review, 24(2), 155–171.
Medistiara, Y. (16 Juli 2022). “Setop 1.334 Kasus dengan Restorative Justice, Jaksa Agung Beberkan Kriterianya.” detiknews.
Mohammad, T., Mohd Ramli, R., & Anderstone, B. (2021). “Situating restorative justice in novel jurisdictions: considerations from the Malaysian experience.” Contemporary Justice Review, 24(1), 85–106.
Muliawati, A. (24 Oktober 2022). “Kemenkop Buka Suara soal Pelecehan Sesama Pegawai hingga Pelaku-Korban Nikah.” detiknews.
Nita, D. (25 Oktober 2022). “Kronologi Pegawai Kemenkop UKM Diperkosa 4 Rekan Kerja, Kini Keluarga Tuntut Keadilan.” KOMPAS.tv.
Pepinsky, H. (2013). “Peacemaking criminology.” Critical Criminology, 21(3), 319–339. DOI:10.1007/s10612–013–9193–4
Sholihin, M. (25 Oktober 2022). “Polisi Ungkap Alasan Kasus Asusila Sesama Pegawai Kemenkop Disetop.” detiknews.
Sullivan, D., & Tifft, L. (1998). “Criminology as peacemaking: A peace‐oriented perspective on crime, punishment and justice that takes into account the needs of all.” Criminal Justice Studies, 11(1–2), 4–34.
Winslade, J. M. (2018). “Restorative justice and social justice.” Wisdom in education, 8(1), 5.
Zehr, H. (1990). Changing Lenses: A New Focus for Crime and Justice. Herald Press.