Pengaruh Poskolonial Dalam Pembantaian Santa Cruz:
Studi Kasus Aneksasi dan Pelanggaran HAM Berat Indonesia Kepada Timor Timur

Jiwaning Cahya Pangestuti

Dosen Krim
Kelas Kriminologi
9 min readMar 14, 2024

--

Latar Belakang

Di tahun 1979 Dili Massacre atau Pembantaian Dili atau Pembantaian Santa
Cruz merupakan penyerangan sekaligus pembantaian yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia kepada sekitar kurang lebih 250 demonstran pengunjuk rasa kelompok pro-kemerdekaan Timor Timur di pemakaman Santa Cruz, pada tanggal 12 November 1991. Aksi aneksasi atau ekspansi wilayah sepihak yang dilakukan oleh Indonesia ini tentu mendapat kecaman dari PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) karena tidak memiliki dasar aturan yang jelas. Timor Timur atau yang dahulu bernama Timor Portugis sendiri dahulu merupakan salah satu negara jajahan Portugis, bukan negara jajahan Belanda. Hal ini didapat berdasarkan Perjanjian Lisbon pada 20 April 1859 yang membagi Timor Timur ke dalam dua kekuasaan terpisah, yakni Timor bagian barat adalah milik Hindia Belanda dan Timor bagian Timur menjadi Timor Portugis atau kekuasaan bangsa Portugis. Legitimasi inilah yang menegaskan bahwa Timor Timur tidak termasuk ke dalam bagian Indonesia saat kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Tidak adanya legitimasi sejarah, tentu menimbulkan kecaman PBB dengan dalih hukum internasional yang sangat jelas melarang penambahan dan penaklukan wilayah di luar kekuasaan dalam Piagam PBB.

Kemudian, apa yang membuat Indonesia sebagai negara dengan pengalaman kolonisasi panjang berani untuk melakukan aneksasi dan penyerangan kepada negara di luar wilayah teritorinya? Selain perebutan bekas daerah jajahan, faktor pendorong terjadinya hal tersebut salah satunya ialah Deklarasi Balibo di Bali pada 1975. Deklarasi Balibo adalah deklarasi rakyat Timor Timur yang tergabung ke dalam partai KOTA, UDT, dan APODETI serta mendukung bergabungnya Timor Timur ke dalam Republik Indonesia. Selain merasa belum mampu mendirikan negara sendiri, partai-partai ini termasuk kelompok yang tidak setuju pada paham kiri yang dianut partai penguasa di Timor, yaitu Fretilin. Indonesia yang saat itu sedang ‘gerah’ dan ingin memberantas segala paham komunisme tentu tidak ingin Timor Timur sebagai negara tetangganya dikuasai kubu komunis.

Selain itu, penyerangan Indonesia ke Timor Timur ditengarai juga disebabkan adanya perang dingin yang sedang pecah di belahan bumi barat. Indonesia mendapat dukungan dari Amerika Serikat untuk melakukan serangan Santa Cruz melalui bantuan senjata yang diberikan oleh Amerika. Dalam Rani (2015) menyebut bahwa Xanana Gusmao berpendapat bahwa “Indonesia cuma disuruh Amerika Serikat masuk Timor Timur karena ketakutannya pada komunisme pada waktu itu”. Hal tersebut menunjukkan adanya pengaruh tensi politik barat dan pembagian koloni yang terjadi di masa lampau dalam terhadap aksi politik yang dilakukan Indonesia dalam kasus kejahatan genosida dan penyerangan yang dilakukan kepada Timor Timur.

Rumusan Masalah

Penulisan makalah ini berfokus pada analisis pengaruh poskolonialisme barat terhadap penyerangan dan genosida yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam usahanya menaklukkan Timor Timur dibawah kekuasaan RI. Makalah ini menjelaskan bagaimana kejahatan HAM di Indonesia dapat dibentuk oleh dorongan dan kebijakan yang dirumuskan pemerintah kolonial, serta berusaha menganalisis bagaimana konflik dan kejahatan yang dilakukan oleh Indonesia secara tidak langsung terjadi karena pengaruh pembagian nasib wilayah yang ditentukan oleh kolonial dalam Konferensi Lisbon. Selain itu, makalah ini juga menjelaskan bagaimana Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam hal ini merupakan bentukan barat dan membuat definisi akan kejahatan perang maupun aturan/sanksi yang seringkali bias kepentingan barat.

Deskripsi Kasus

Terjadinya pembantaian Santa Cruz tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang kolonialisme di Timor Timur diawali oleh kedatangan Portugis yang menduduki Timor sebagai wilayah jajahannya di Nusantara. Perjanjian Lisbon pada 20 April 1859 telah membagi Timor Portugis atau Timor Timur yang termasuk ke dalam jajahan Portugal bukan Belanda. Hal tersebut menyebabkan PPKI atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau PPKI pada 19 Agustus 1945 tidak memasukkan Timor Timur ke dalam delapan provinsi awal Republik Indonesia. Revolusi Anyelir di Portugal yang menumbangkan rezim Estado Novo melalui demonstrasi buruh dan tentara muda progresif berhaluan kiri yang menyebut dirinya MFA atau Movimento das Forças Armadas mendesak terjadinya perubahan pada pemerintahan Portugal, salah satunya desakan untuk melepas wilayah jajahan. Dengan demikian, jatuhnya rezim Estado Novo tidak hanya berpengaruh di Portugal, tetapi juga pada daerah-daerah jajahannya di Afrika dan Timor Portugis.

Kemudian, partai-partai ideologi muncul seiring terjadinya kekosongan
kekuasaan di Timor Portugis. Dari banyak partai, muncul empat partai besar yang mendominasi. Keempat partai tersebut ialah Uni Demokrat Timur (UDT) yang moderat, partai KOTA dan APODETI yang mendukung bergabungnya Timor ke dalam kekuasaan Indonesia, kemudian yang terakhir adalah Fretelin, sebuah partai komunis kiri dengan kekuatan tertinggi yang memiliki misi kemerdekaan Timor sebagai negara komunis di Asia Tenggara. Sengitnya persaingan partai yang terjadi pada saat itu memecahkan perang saudara yang terjadi antar kelompok partai di Timor. Kemudian, perang saudara dan kekosongan kekuasaan mencapai puncaknya pada 28 November 1975 dimana Xavier do Amoral, seorang petinggi sekaligus pendiri Fretilin mendeklarasikan kemerdekaan Timor Leste pada 28 November 1975. Ketiga partai lain yang terdesak dan tidak setuju atas pendirian negara komunis oleh Fretilin, kemudian terpojok dan mendekatkan diri dengan Indonesia untuk mendeklarasikan kemerdekaan Timor melalui Deklarasi Balibo per tanggal 30 November 1975. Deklarasi Balibo inilah yang kemudian membuat Pemerintah Orde Baru pada saat itu
berani melancarkan Operasi Seroja ke Timor yang menjadi pencetus pembantaian Santa Cruz yang terjadi pada 7 Desember 1975.

Meskipun dikecam oleh PBB, serangan Indonesia ke Timor Timur diyakini
mendapat dukungan dari Amerika. Hal ini dibuktikan melalui laporan intelijen yang menyebutkan terdapat bantuan senjata yang dikirimkan Amerika untuk penyerangan Santa Cruz dan tanggal peristiwa yang terjadi tepat satu hari setelah Presiden Amerika Serikat meninggalkan Jakarta pada 6 Desember 1975. Dukungan Amerika kepada militer Orde Baru ditengarai sebab kekhawatiran yang sama seperti Indonesia akan pengaruh komunisme Fretilin di Timor Timur. Apalagi, Amerika baru saja kalah dalam perang di Vietnam.

Dili Massacre atau pembantaian Santa Cruz sendiri merupakan buntut dari serangan Seroja yang dilayangkan Indonesia. Diawali temuan jasad Sebastiao Gomez pada 28 Oktober 1991, Gomez ditemukan tak bernyawa di dekat gereja Moteal. Kematian Sebastian Gomez sendiri memicu kemarahan ratusan orang dan melakukan unjuk rasa pro-kemerdekaan setelah Misa pemakaman Gomez dilakukan. Tentara Indonesia kemudian telah bersiaga di depan pemakaman Santa Cruz dengan senapan otomatis, yang terdiri dari pasukan Kompi A Brimob 5485, Kompi A dan Kompi D Batalion 303, Kompi campuran, Batalyon 744, dan pasukan Kodim 1627. Kemudian dalam kesaksian Paul R. Bartrop menyebutkan bahwa tentara Indonesia menembaki ratusan demonstran pro kemerdekaan dengan senapan otomatis. Peristiwa tersebut kemudian menyebabkan kurang lebih 250 orang tewas menurut gerakan bawah tanah kelompok Pro Kemerdekaan Timor Timur, penangkapan Xanana Gusmao oleh Indonesia pada November 1992, dan kecaman PBB yang dilayangkan kepada Indonesia atas serangannya kepada Timor Timur.

Definisi Konsep

a. Aneksasi sebagai Kejahatan Perang

Aneksasi atau dalam Bahasa Inggris annexation adalah tindakan memasukkan negara, kota, atau wilayah lain yang sudah memiliki kedaulatan politik sebelumnya untuk dimasukkan ke dalam negara sendiri. Aneksasi biasa dilakukan dalam perang perebutan wilayah kedaulatan meskipun PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) tidak mengakui aneksasi sebagai alat politik yang sah dalam mendapat kekuasaan.

Sejak perpecahan Perang Dunia Ke-2, sebagai respon atas banyaknya
kejahatan kemanusiaan yang terjadi selama perang berlangsung, PBB
(Perserikatan Bangsa-Bangsa membuat hukum internasional yang bertujuan untuk mendefinisikan, menangkap, dan menghukum para pelanggar hukum perang yang sudah ditetapkan. Meskipun dalam pembuatannya PBB cenderung didominasi oleh negara barat dan negara pemenang perang. Dalam Leifer (1976), penggabungan Timor Timur ke Indonesia dapat dikategorikan sebagai peristiwa kontroversial bagi dunia. Pasalnya, apabila dilihat dari sejarah maupun bahasanya, tidak ada peristiwa sejarah yang dapat menjustifikasi Timor Timur ke dalam bagian Indonesia sebab pembagian yang telah secara jelas ditentukan dalam perjanjian Lisbon. Secara lebih jauh, Leifer juga menyatakan bahwa Indonesia terlihat memanfaatkan perpecahan yang terjadi dalam tubuh partai-partai di Timor.

Lebih lanjut, Leifer menjelaskan bahwa retorika keadilan Frelimo di
Mozambik juga akan berdampak pada pergerakan komunisme di Jakarta. Oleh karenanya, Indonesia menerima kedatangan Apodeti yang butuh perlindungan dan suaka Tentara Indonesia di perbatasan, sekaligus ingin mengintegrasikan Timor ke dalam Indonesia.

b. Aneksasi sebagai Kejahatan HAM berat

Dalam Joko (2020) kejahatan HAM atau pelanggaran HAM berat
dikategorikan ke dalam Rome Statute of the International Criminal Court.
Menurut kategori tersebut, bentuk kejahatan yang termasuk dalam pelanggaran HAM dalam hal ini kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi atau kejahatan aneksasi. Kejahatan agresi atau aneksasi sendiri berarti tindakan inisiasi atau eksekusi, oleh seseorang dalam posisi yang efektif untuk melatih
mengendalikan atau mengarahkan tindakan politik atau militer suatu negara, tindakan agresi yang, berdasarkan karakternya, gravitasi dan skalanya, merupakan pelanggaran nyata Piagam PBB.

Bell (2016) dalam makalahnya yang berjudul tantangan human rights
di Asia Timur menunjukkan kritik yang dilayangkan negara-negara di Asia
Timur atas pendefinisian hak asasi yang diberikan oleh negara-negara barat. Aspek human rights dan aturan yang tercantum dalam hukum internasional menurut PBB seringkali bias kepentingan politik barat atau tidak ditegakkan secara adil kepada seluruh negara. Menurut Walzer (2003), nilai dan praktik hak asasi manusia yang dianut oleh negara barat cenderung dengan mudah secara otomatis diterima di tempat lain, meski memiliki perbedaan budaya yang signifikan. Walzer sendiri mengistilahkan kode moral minimal dan universal yakni hak yang menentang pembunuhan, perbudakan penyiksaan, dan genosida. Kemudian terdapat pula area perdebatan prioritas utama yang selalu menjadi perdebatan menurut Walzer dalam menguniversalkan demokrasi
gaya barat. Hal tersebut yakni hukum pidana, hukum keluarga, hak sosial
ekonomi, dan hak masyarakat adat. Pandangan Wazler dalam hal ini semakin menjelaskan pengaruh poskolonialisme barat pada pandangan negara timur dan selatan saat memandang hak asasi.

Kriminologi Poskolonial

Pemikiran kriminologi poskolonial diawali oleh kritik terhadap hukum,
aturan, atau sanksi pidana seringkali mengadopsi pemikiran dan pola hukuman yang ada di negara barat, padahal belum tentu sesuai dan kontekstual dengan budaya yang dianut oleh setiap negara, khususnya pada negara-negara timur dan selatan yang memiliki adat istiadat kebudayaan yang kental. Dalam Moore (2020) menyebutkan bahwa bagi Foucault, kriminologi sangat berguna keberadaannya hingga tidak perlu dipertanyakan keberadaannya. Tetapi, menurut Moore kejahatan dalam kriminologi cenderung untuk mendukung dominasi kolonial dan mengabaikan kejahatan-kejahatan HAM yang sering disebabkan oleh pemerintahan kolonial. Dominasi kolonial mengharuskan manusia tidak bersifat universal, superior dan bias terhadap negara barat tempat kolonialisme berkembang pada umumnya.

Analisis

Pada kasus aneksasi dan penyerangan yang dilakukan oleh Indonesia kepada Timor Timur apabila dilihat melalui kacamata kriminologi poskolonial, kejahatan dan penyerangan yang dilakukan tidak hanya dapat dilihat sebatas usaha ekspansi Pemerintah Orde Baru ke Timor Timur. Lebih dari itu, peristiwa penyerangan Indonesia ke Timor khususnya pada penyerangan Santa Cruz juga disebabkan oleh banyak pengaruh eksternal lain, seperti dorongan dari Amerika untuk memberantas komunisme sebagai misi perang dingin. Kriminologi poskolonialisme melihat bagaimana fenomena pembantaian secara tidak langsung disebabkan oleh pembagian Lisbon yang membagi Pulau Timor ke dalam dua wilayah terpisah. Selain itu, potret bias barat yang ditunjukkan PBB dalam kecaman kepada Indonesia atas penyerangan Timor Timur, tanpa melihat fakta bahwa AS lah yang merupakan negara pendukung utama dalam serangan Santa Cruz menunjukkan bagaimana budaya dan bias barat masih sangat tertanam dalam berbagai aspek kehidupan sosial di kancah internasional,
mulai dari definisi human rights, demokrasi ala barat, hingga pada aspek penegakan keadilan yang diampu oleh Dewan Keamanan PBB.

Kesimpulan

Makalah ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh kolonialisme barat yang kuat pada kasus penyerangan Santa Cruz Indonesia ke Timor Timur pada 1979, hal ini ditunjukkan dalam adanya isi perjanjian Lisbon yang menentukan nasib dan membagi Timor ke dalam dua kedaulatan berbeda, hingga adanya pengaruh Perang Dingin antara Barat dan Timur yang mendorong Pemerintah Orde Baru melakukan serangan kepada Timor karena takut akan paham komunis yang menyebar ke Indonesia. Selain
itu, kecaman PBB yang dilayangkan Indonesia tanpa juga mengecam AS sebagai negara pendukung serangan dan bentuk pendefinisian human rights ala barat dalam Hukum Internasional PBB menunjukkan bagaimana PBB sebagai Dewan Keamanan dunia sendiri sampai sekarang masih sarat akan bias barat yang diwariskan oleh poskolonialisme.

Refleksi

Postkolonialisme yang seakan sarat menjadi permasalahan di berbagai bidang ilmu pengetahuan seharusnya mulai pudar dan menyesuaikan konteks bidang ilmu sesuai dengan kebutuhan di negara masing-masing seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Terlebih lagi, kriminologi sebagai bidang ilmu yang mempelajari kejahatan tentu harus disesuaikan dengan konteks, kondisi budaya yang dianut oleh beragam masyarakat dunia yang tentunya berbeda satu dengan lainnya. Kejahatan,
kenakalan, penghukuman, sistem peradilan, bahkan definisi hak dan kewajiban di setiap wilayah tidak bisa disamaratakan sesuai dengan norma atau cara pandang kolonial karena perbedaan budaya di setiap wilayah. Tidak hanya teknologi, perkembangan penelitian di rumpun ilmu sosial juga harus menjadi perhatian lebih untuk dapat mempelajari masyarakat yang kontekstual dan semakin dinamis.

Daftar Pustaka

Bell, D. A. (1996). “The East Asian Challenge to Human Rights: Reflections on an East West Dialogue.” Human Rights Quarterly (3rd ed., Vol. 18, pp. 641–667). The Johns Hopkins University Press.

DemocracyNow!. (2021, November 12). “East Timor Massacre Remembered: U.S.-Armed Indonesian Troops Killed 270 Timorese 30 Years Ago Today”. DemocracyNow!.

H, A. D. (2018, November 12). Tragedi Santa Cruz dan Sejarah Kekerasan Indonesia di Timor Leste. Tirto.ID.

Irfani, F. (Executive Producer). (2022). Kenapa Orang Timor Leste Bilang Indonesia Menjajah?. Narasi.

Leifer, M. (1976). “In The World Today”. Royal Institute of International Affairs, 9th ed., Vol. 32, hal. 347–354.

Marrison, D. C. (2007). “War Crimes”. In Great Decisions (hal. 65–76). Foreign Policy Association.

Moore, J. M. (2020, December 1). ““Law”, “order”, “justice”, “crime”: disrupting key concepts in criminology through the study of colonial history”. The Law Teacher, 54(4), 489–502.

Setiyono, J. (2020). Peradilan Internasional atas Kejahatan HAM Berat. Pustaka Magister.

Travers, M. (2017, Oktober 26). “The idea of a Southern Criminology”. International Journal of Comparative and Applied Criminal Justice, 43(1), 1–12.

--

--