Rekonstruksi Definisi Dimensi Kriminologi melalui Kerangka Teori Kriminologi Postmodern
Salma Nurkhalisa Ihsan
Ever-newer waters flow on those who
step into the same rivers. All is flux,
nothing stays still.— Heraclitus (540–480 BCE)
Filsuf Yunani Herakleitos (540–480 BCE) berkata bahwa tak ada manusia yang pernah menyeberangi sungai yang sama dua kali. Air sungai yang telah mengalir dari hulu ke hilir tak akan menjadikannya “sungai yang sama”, dan manusia yang melewati sungai tersebut untuk kali kedua bukanlah “orang yang sama” dengan dirinya di masa lampau. Menurut Herakleitos, semua hal yang eksis selalu berada dalam keadaan yang tak stabil dan rentan untuk berubah (Aylward, 2010). Tak ada sesuatu yang selamanya diam dalam kondisi stabil dan konstan selain “perubahan” itu sendiri. Mosi dari ungkapan filosofis Herakleitos bahwa semua yang ada pasti akan berubah merupakan sesuatu yang disetujui oleh para postmodernis (Lea, 1998).
Postmodern menggenggam erat pemikiran bahwa masyarakat sosial dan segala sesuatu yang ada di sistemnya berubah dengan amat cepat. Konsensus atas nilai-nilai sosial menjadi kabur dan yang konstan hanyalah keadaan chaos serta ketidakpastian. Atas perubahan kilat tersebut, postmodern menggagas bahwa perlu adanya cara baru untuk memahami sesuatu (Longstreet, 2003). Postmodern mengusung ide bahwa “kebenaran” tidak bersifat objektif — walaupun telah menjadi konsensus akbar bersama — dan masih terdapat banyak sisi dari realitas yang belum terjamah oleh konsensus “kebenaran”. Postmodern memiliki skeptisme mendalam akan klaim-klaim pengetahuan yang telah ada (Dekeseredy, 2011). Maka dari itu, proses dekonstruksi dan rekonstruksi atas makna dan “kebenaran” sesuatu menjadi tema utama gerakan postmodern (Lea, 1998). Langkah awal yang dapat diambil untuk merekonstruksi narasi akbar modernis adalah memahami dan merancang ulang pendefinisian akan suatu hal.
Dalam konteks kriminologi, penggunaan kerangka teori postmodern turut mengubah pendefinisian yang digagas oleh aliran positivistik di bawah payung modern mengenai keempat dimensinya. Perubahan definisi bukan berarti keduanya — kriminologi dan kerangka teori postmodern — tak cocok untuk diintegrasikan. Sejatinya, upaya postmodern untuk mendekonstruksi konsep-konsep kriminologi telah rampung setengah jalan tatkala mengingat kriminologi merupakan bidang yang menggeluti gejala sosial kejahatan yang dinamis dan terus berubah (Lea, 1998).
Kerangka teori postmodern membantu menempatkan perspektif seseorang untuk melihat dimensi kriminologi — kejahatan, pelaku, korban, dan reaksi sosial — di luar narasi akbar berupa hukum (law). Dengan postmodern, dimensi kriminologi — layaknya segala sesuatu di dunia — dilihat sebagai sesuatu yang relatif dan berhubungan dengan hal lain (Schwartz & Friedrich, 1994).
Menggunakan kerangka teori postmodern, apa yang didefinisikan sebagai “kejahatan” tak terbatas pada hal-hal yang secara gamblang tertulis dilarang pada hukum formal. Postmodern lebih berfokus pada konteks situasi dan relasi kuasa yang ada sebelum mendefinisikan sesuatu sebagai kejahatan (Henry & Milovanovic, 1996). Kriminologi kritis memang telah memaparkan bagaimana pendefinisian kejahatan berada di tangan penguasa, akan tetapi, postmodern melihat lebih dari itu. Penguasa memiliki kekuatan untuk membuat “pengetahuan” atau “pendefinisian” yang dapat menciptakan kerugian (harm) signifikan bagi orang atau kelompok lain. Lebih dari itu, penguasa juga dapat menentang bentuk ekspresi — protes, kekecewaan, kekesalan — yang dilayangkan padanya. Dalam teks kriminologi konstitutif, Henry dan Milovanovic (1994) pun mendefinisikan kejahatan sebagai kekuatan untuk menentang orang lain. Berdasarkan hal tersebut, hukum sekalipun dapat menjadi bentuk kejahatan apabila dilihat dari kekuatan yang dimilikinya untuk menguasai seseorang (Lanier & Henry, 2010). Pendefinisian yang diusung postmodern akan kejahatan pun masih bersifat relatif.
Berangkat dari penjelasan mengenai kejahatan, mulailah terbayang — meski relatif — pendefinisian untuk dimensi selanjutnya, yakni pelaku. Apabila kerugian diciptakan oleh seseorang dengan kekuatan dan kuasa, apakah semua penguasa otomatis merupakan pelaku kejahatan? Dalam hal ini, diperlukan rekonstruksi atas pemahaman akan “penguasa”. Penguasa yang dimaksud oleh postmodernis tidak terbatas pada — secara harfiah — penguasa suatu wilayah atau penguasa modal, melainkan meliputi seluruh penguasa atas kekuatan yang berlebih untuk menguasai orang lain. Kekuatan mengizinkan seseorang untuk menentang kerugian yang ia ciptakan, sehingga pelaku atau “kriminal” ialah mereka yang sanggup untuk mengubah definisi dan situasi melalui penentangan tersebut (Lanier & Henry, 2010).
Berdasarkan pemaparan akan dua dimensi sebelumnya, yang sangat bergantung pada pendefinisian, dapat disadari bahwa postmodern memiliki fokusnya tersendiri pada kekerasan yang dipicu oleh bahasa (violence of language).
Postmodern berpikiran bahwa linguistik, semiotika, dan pendefinisian sesuatu merupakan sumber dari berbagai kesulitan dan kerugian (Volosinov, 1986).
Atas hal tersebut, maka pendefinisian korban dapat secara longgar disimpulkan sebagai orang atau kelompok yang dirugikan oleh pendefinisian dan pengetahuan yang telah dikonstruksi secara sosial oleh pihak yang berkuasa. Korban juga dapat berarti orang atau kelompok yang tak dapat mengekspresikan, mendefinisikan, dan menjalani proses perkembangan serta mengaktualisasi hak-hak mereka secara merdeka tanpa adanya penentangan dari pihak yang berkuasa. Hal ini memaparkan pasal mengapa postmodern merayakan dekonstruksi serta rekonstruksi makna dan identitas sosial dari kelompok yang terpinggirkan oleh narasi akbar (Milovanovic, 1997).
Selanjutnya, dimensi reaksi sosial pun sulit untuk dibicarakan tanpa mengungkit sifat relatif yang erat dengan kerangka teori postmodern. Untuk menelaah reaksi sosial melalui kacamata postmodern, perlu ada pemahaman atas aktor reaksi sosial itu sendiri, yakni masyarakat. Masyarakat postmodern rentan akan kesulitan untuk melihat hal-hal yang riil sebab dunia postmodern memiliki batasan antara realitas yang kabur layaknya simulasi (Ritzer & Goodman, 2009). Sosiolog Prancis Jean Baudrillard menciptakan istilah hiperrealitas (hyperreality) untuk fenomena ini. Dalam hal ini, media modern memainkan peran besar dalam konstruksi hiperrealitas. Media tak lagi mencerminkan realita yang ada, melainkan mengkonstruksi realita menjadi lebih riil atau sebaliknya
(Ritzer & Goodman, 2009).
Reaksi sosial atas kejahatan pun tak menjadi hal yang luput dari konstruksi hiperrealitas oleh media. Sebagai salah satu contoh, representasi korban di pemberitaan media dapat mengkonstruksi persepsi, spekulasi, dan opini masyarakat (Greer, 2017). Korban yang diberitakan secara berlebih (over-represented) maupun secara minim (under-represented) dapat memicu pelbagai pendapat dan reaksi masyarakat atas korban dan kejahatan yang menimpanya. Reaksi sosial seperti perdebatan mengenai korban ideal, penarikan kembali simpati atas korban, pertanyaan atas legitnya korban, hingga pengacuhan atas desakan perumusan kebijakan pun menjadi sesuatu yang dapat dikonstruksi oleh media di dunia postmodern.
Esai ini diakhiri dengan penekanan bahwa konteks situasional memainkan peran yang besar dalam mendefinisikan dan mempersepsikan hal melalui sudut pandang postmodern, termasuk dimensi kriminologi. Perubahan masyarakat, ruang, waktu, dan segala aspek yang menyelimutinya menjadi hal yang harus diperhatikan sebelum memberikan definisi tekstual terhadap kejahatan, pelaku, korban, dan reaksi sosial. Pasalnya, definisi tekstual yang asal dan mengikat, terlebih dari kelompok yang berkuasa dan mampu menggeser narasi akbar, dapat menjadi sumber kerugian yang mengekang dan mengentas hak-hak individu atau kelompok tertentu. [ ]
Referensi:
Aylward, S. (2010). Stepping into rivers: Ontology in Heraclitus.
Dekeseredy, W. S. (2011). Contemporary Critical Criminology. London & New York: Routledge.
Greer, C. (2017). News Media, Victims and Crime. Dalam Davies, P., Francis, C. & Greer, C. (Eds.), Victims, Crime and Society. Sage.
Henry, S. dan Milovanovic, D. (1994). The Constitution of constitutive criminology: A postmodern approach to criminological theory. Dalam Nelken, D. (Ed.), In the Futures of Criminology. Sage.
Henry, S. dan Milovanovic, D. (1996). Constitutive Criminology: Beyond
postmodernism. London: Sage.
Lanier, M. M., & Henry, S. (2010). Essential Criminology (3rd ed.). Westview Press.
Lea, J. (1998). Criminology and Postmodernity. In The New Criminology Revisited (pp. 163–189). Macmillan Press.
Longstreet, W. S. (2003). Early postmodernism in social education: Revisiting ‘Decision-making: The heart of social studies instruction’. Social Studies.
Milovanovic, D. (1997). Postmodern Criminology. Garland Publishing, Inc.
Ritzer, G.R., & Goodman, D.J. (2009). Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Kreasi Wacana.
Schwartz, M. D., & Friedrich, D. O. (1994). Postmodern thought and criminological discontent: New metaphors for understanding violence. Criminology, 32, 221–246.
Volosinov, V.N. (1986). Marxism and the Philosophy of Language. Harvard University
Press.