Sabung Ayam
Andre Sebastian, Dannelle Edith, Raissa Fasya, Sekar Datri
Presentasi kelompok Iwak (Andre Sebastian, Dannelle Edith, Raissa Fasya, dan Sekar Datri) memaparkan praktik sabung ayam di Bali dan Kalimantan dengan menggabungkan berbagai perspektif, termasuk budaya, hukum, dan kriminologi. Mengawali dengan pengertian sabung ayam sebelum beralih ke sejarah dan konteks budaya, paparan ini membantu audiens mendapatkan gambaran yang holistik.
Dalam konteks budaya, pandangan Clifford Geertz mengenai praktik sabung ayam di Bali sangat relevan. Geertz memandang sabung ayam sebagai sebuah ritual yang tidak hanya melibatkan pertarungan fisik antara ayam, tetapi juga sebagai simbol yang mencerminkan identitas sosial dan status individu dalam masyarakat. Dalam pandangannya, sabung ayam berfungsi sebagai arena tempat masyarakat dapat mengekspresikan maskulinitas dan kekuasaan. Praktik ini menjadi cermin dari kompleksitas hubungan sosial, yaitu pertarungan ayam menciptakan narasi tentang kehormatan dan dominasi dalam konteks budaya Bali.
Koneksi antara sabung ayam dan isu penganiayaan terhadap hewan juga menjadi fokus yang digaribawahi dalam paparan kelompok Iwak. Dalam konteks ini, sabung ayam dapat dilihat sebagai sebuah upaya manusia mengeksploitasi makhluk non-manusia untuk hiburan semata serta berujung pada kejahatan yang merugikan kesejahteraan hewan.
Paparan ini juga mengeksplorasi lebih lanjut dampak sosial dari sabung ayam, terutama terkait dengan kekerasan yang dapat muncul dari praktik ini. Sebagai contoh, pertarungan antara ayam bukan hanya menyangkut hewan, tetapi juga dapat menyebabkan konflik antarpihak yang terlibat dalam perjudian. Selain itu, juga mempertimbangkan perspektif gender, bahwa sabung ayam menjadi ajang adu maskulinitas yang memperkuat patriarki, serta bagaimana perempuan berperan secara pasif dalam ritual ini.
Refleksi: Analisis Kriminologis melalui Banalisasi Kekerasan, Kriminologi Hijau, Bioscene, dan Ekofeminisme
Teori Hannah Arendt tentang “banality of evil” juga dapat diterapkan dalam konteks ini. Arendt menjelaskan bahwa tindakan kejahatan bisa dilakukan oleh individu yang tampaknya biasa dan tidak memiliki sifat jahat, tetapi berpartisipasi dalam sistem yang menormalkan kekerasan. Dalam konteks sabung ayam, praktik ini bisa dilihat sebagai contoh ketika masyarakat berpartisipasi dalam tindakan kekerasan terhadap hewan tanpa menyadari atau mengakui dampak moral dan etis dari tindakan tersebut. Praktik sabung ayam, yang mungkin dipandang sebagai kegiatan sosial yang umum, berpotensi menyembunyikan sifat kekerasan yang inheren dan berkontribusi pada pengabaian terhadap perlakuan yang layak bagi hewan.
Selanjutnya, fenomena banalisasi kekerasan juga patut dipertimbangkan dalam analisis sabung ayam. Banalisasi kekerasan mengacu pada proses bahwa tindakan kekerasan menjadi hal yang biasa dan diterima dalam masyarakat. Dalam hal ini, sabung ayam dapat dianggap sebagai contoh banalisasi, yaitu kekerasan yang dilakukan terhadap hewan dianggap sebagai norma budaya yang sah. Proses ini dapat mengurangi kesadaran moral individu terhadap dampak kekerasan, baik bagi hewan maupun bagi masyarakat secara umum. Ketika masyarakat menganggap sabung ayam sebagai tradisi, hal ini mengaburkan realitas kekerasan yang terjadi, sehingga menormalkan perilaku yang sebenarnya melanggar hak hewan dan etika.
Kajian Kriminologi Hijau yang dikembangkan oleh Piers Beirne juga relevan untuk diterapkan dalam analisis praktik sabung ayam. Dalam bukunya yang berjudul “Confronting Animal Abuse: Law, Criminology, and Human-Animal Relationships,” Beirne menekankan hubungan antara kejahatan terhadap hewan dan dampak lingkungan dari berbagai praktik manusia, dan bahwa eksploitasi hewan bukanlah isu yang bersifat individu atau terisolasi, melainkan terkait dengan struktur-struktur sosial yang lebih besar seperti kekerasan, ketidaksetaraan, dan kekuasaan. Lebih lanjut, Beirne juga menyatakan perlunya menyoroti ketidakkonsistenan dan bias budaya dalam hukum yang ada. Kriminologi Hijau mendorong pemahaman bahwa kejahatan tidak hanya melibatkan manusia, tetapi juga mencakup perlakuan terhadap makhluk hidup lainnya dan lingkungan, serta konsekuensinya terhadap kesejahteraan hewan dan keberlanjutan ekosistem.
Konsep bioscene juga dapat diterapkan untuk mengaitkan antara lingkungan fisik dan perilaku manusia, menunjukkan bahwa interaksi manusia dengan hewan dalam konteks kekerasan bukan hanya mencerminkan tindakan individual tetapi juga merupakan produk dari norma sosial dan budaya yang mengizinkan dan bahkan merayakan kekerasan. Hasrat untuk menyaksikan kekerasan pada hewan dapat dilihat sebagai penggambaran dari dorongan primal dalam diri manusia, yang mengindikasikan bahwa praktik ini bukan hanya tentang hiburan, tetapi juga tentang pengukuhan identitas dan dominasi. Dalam konteks sabung ayam, konsep ini dapat digunakan untuk mengeksplorasi eksploitasi hewan dan mengidentifikasi bagaimana tradisi ini mencerminkan sifat antroposentris manusia yang mendominasi makhluk hidup lainnya serta pelanggaran terhadap hak-hak hewan.
Konsep ekofeminisme juga menjadi relevan dalam analisis ini, yaitu keterkaitan antara penindasan terhadap perempuan dan penindasan terhadap alam. Dalam konteks sabung ayam, praktik ini dapat dilihat sebagai bagian dari struktur patriarkal yang memperkuat kekerasan terhadap hewan dan pengabaian terhadap nilai-nilai kehidupan. Ekofeminisme menekankan bahwa kekerasan terhadap alam dan hewan sering kali berkaitan dengan pola pikir dominasi yang juga menindas perempuan. Gadis Arivia, dalam pandangannya tentang ekofeminisme, menggarisbawahi pentingnya memahami hubungan antara penindasan lingkungan dan penindasan gender. Ia berargumen bahwa cara manusia berinteraksi dengan alam mencerminkan cara manusia berinteraksi satu sama lain, terutama dalam konteks kekuasaan dan dominasi. Oleh karena itu, analisis terhadap sabung ayam tidak hanya harus mempertimbangkan hak hewan tetapi juga harus menyoroti bagaimana tradisi ini dapat memperkuat sistem ketidakadilan sosial yang lebih luas.
Kesimpulan
Paparan ini memberikan wawasan baru, terutama bagi mereka yang sebelumnya kurang memahami praktik sabung ayam. Penjelasan tentang bagaimana sabung ayam berfungsi sebagai sarana “perang” antar keluarga yang berseteru, serta bagaimana nilai-nilai budaya yang melingkupinya dapat mengubah persepsi masyarakat, adalah hal yang menarik untuk didiskusikan lebih lanjut.
Kelompok Iwak juga telah menyentuh beberapa dimensi hukum dan hak hewan. Namun, bisa dipertimbangkan mempertajam analisis kritis dengan memasukkan teori-teori kriminologi, seperti teori kontrol sosial, deviasi, dan kejahatan terorganisir. Dengan demikian, dapat memberikan pemahaman tentang hubungan sabung ayam dengan perilaku kriminal dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Selain itu, pembahasan yang lebih lanjut mengenai dampak sosial dan psikologis dari praktik ini dapat memperkaya analisis dan menjadikannya semakin komprehensif. Sebagai tambahan, selanjutnya bisa dipertimbangkan untuk meneruskan penelitian awal ini dengan melakukan pemetaan praktik sabung ayam di seluruh Indonesia — mengetahui daerah yang masih melaksanakan praktik ini dan daerah yang telah menghapuskannya — serta memahami alasan di baliknya.