Sumber Gambar: E-Journal

Adakah Pembatasan Berpendapat dalam Islam?

--

Konsep dan Esensi Berpendapat

Berpendapat adalah salah satu bukti bahwa manusia memanfaatkan potensi akal mereka. Berpendapat bukanlah hal yang cukup mudah untuk dilakukan, diperlukan observasi dan pengolahan informasi untuk selanjutnya mengumpulkan keberanian dalam mengungkapkannya. Lalu siapakah yang boleh berpendapat? Tentu setiap yang berakal berhak untuk berpendapat. Kemudian, bagaimana dengan kasus di mana orang tanpa kapasitas keahlian, berpendapat terhadap lintas disiplin ilmu yang lain? Nah, perlu kita garis bawahi bahwa satu konsep yang penting dalam pendapat adalah pendapat bukanlah suatu hal yang harus dipercaya, melainkan pendapat adalah suatu hal yang harus diterima, dianalisis, dan dievaluasi. Sehingga, output dari sebuah pendapat itu sendiri adalah validasi dan aksi. Dan sebagai timbal baliknya adalah transfer ilmu dan pandangan antar pelaku.

Allah SWT berfirman,

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ ۗاِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا

Artinya:
“Dan, janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS al-Isra’: 36).

Kebebasan Berpendapat dalam Hidup bermasyarakat

Kemudian berkaca dari kehidupan bermasyarakat di Indonesia, akhir-akhir ini berita mengenai pembatasan berpendapat dan berkritik semakin marak terjadi. Beberapa akun media sosial, baik yang bersifat kelompok maupun individu yang mencoba menyuarakan pandangan mereka, mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan dari beberapa pihak. Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan seperti bagaimana karakteristik berpendapat yang dijaga oleh UUD. Padahal seperti yang kita ketahui dalam UUD tertulis jelas mengenai hak kebebasan berpendapat. Pertanyaan-pertanyaan ini seharusnya bisa dijawab oleh pemangku kebijakan, sehingga tidak menimbulkan asumsi-asumsi liar dari masyarakat.

Dalam UUD sendiri juga turut mengatur mengenai kebebasan berpendapat untuk seluruh Warga Negara Indonesia. Seperti yang tercantum pada Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) sebagai berikut:

Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Di samping itu, perlu juga dilihat ketentuan dalam Pasal 28F UUD 1945, yang berbunyi:

Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Meskipun demikian, seseorang dalam mengeluarkan pendapatnya harus menghargai hak orang lain, serta tunduk pada hukum yang berlaku. Hal tersebut sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 sebagai berikut:

Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Sehingga, meskipun negara memang memberikan kebebasan berpendapat bagi para warganya, tetap diperlukan payung hukum yang mengatur cara berpendapat supaya tidak mengakibatkan berita bohong yang terbungkus sebagai “pendapat” bisa tersebar. Tapi, balik lagi pada kalimat di paragraf awal, pendapat bukanlah hal yang harus dipercaya, tapi diterima, dianalisis, lalu dievaluasi. Karena bisa saja pendapat yang terdengar konyol justru bisa menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi.

Oleh karena itu, segala bentuk pembungkaman adalah hal yang melanggar esensi kebebasan berpendapat dan melanggar hak asasi. Yang perlu digaris bawahi adalah pembatasan berpendapat memang diperlukan. Karena kita tidak menginginkan pendapat dari seseorang disampaikan tanpa bukti yang kuat, bersifat fitnah, dan kebohongan dapat tersebar luas. Jika bertemu dengan pendapat yang mengandung unsur-unsur itu, alangkah baiknya diperlukan pembinaan dan bukan pembungkaman. Di sisi lain, jika sudah menyentuh pembungkaman berpendapat, maka hal tersebut tidak dapat dibenarkan.

Pembatasan Berpendapat dalam Islam

Lalu, apakah agama Islam membatasi kebebasan berpendapat? Iya, Islam membatasi kebebasan berpendapat untuk menjaga muruah manusia. Seperti yang dirangkum oleh Kementrian Agama dalam media sosialnya, berikut adalah beberapa pembatasan berpendapat dalam Islam:

  1. Larangan membuat dan menyebar kebohongan/Hoaks (An-Nur: 12),
  2. Larangan menuduh Zina (An-Nur: 23),
  3. Larangan merendahkan dan memberi sebutan jelek pada orang lain (Al-Hujurat: 11),
  4. Larangan berburuk sangka, memata-matai dan menggunjing satu sama lain (Al-Hujurat: 12),
  5. Larangan membocorkan rahasia negara (An-Nisa: 83), dan
  6. Larangan mencela, mengumpat, mengumbar fitnah, dan menghalangi perbuatan baik (Al-Qalam: 10–13).

Jika kita cermati lebih dalam, tujuan pembatasan berpendapat ini bukan lain adalah untuk menjaga martabat manusia. Kita tidak boleh semena-mena dalam berpendapat tanpa adanya bukti-bukti yang nyata. Begitu juga sebaliknya, jika telah diberikan bukti-bukti yang nyata, alangkah bijaknya kita tidak boleh menyangkal pendapat/kritik tersebut, justru menerima dan bermuhasabah. Jika kebebasan berpendapat tidak diatur, maka tatanan masyarakat ini akan saling bergesekan satu sama lain.

Di luar dari itu, Islam sangat menghargai kebebasan berpendapat. Islam menganjurkan kita untuk mendengarkan dan memberi kesempatan orang lain untuk berpendapat, bukan malah membungkam ataupun memberi hukuman atas pendapat yang dilayangkan. Jika pun, pendapat orang tersebut menyimpang, maka kita sebagai saudara perlu meluruskan kembali dengan cara yang baik juga tentunya.

Mengutip dari pendapat salah satu penggagas gerakan modernisme Islam, Muhammad Abduh. Tuhan tak pernah sekalipun membungkam kebebasan makhluknya. Bahkan menurut kisah, ketika Adam diciptakan dan malaikat diminta untuk bersujud kepada Adam, malaikat bertanya, “Adakah engkau menciptakan makhluk yang senantiasa menumpahkan darah dan membuat kerusakan di muka bumi?”. Allah sang pencipta tidak membungkamnya, melainkan memberi pengertian dengan menyatakan, “Aku lebih tahu tentang apa yang engkau tidak tahu”. Padahal sebenarnya Allah bisa saja membungkam malaikat dengan tidak diperbolehkan menanyakan pertanyaan yang menyinggung seperti itu.

Etika Berpendapat Belajar dari Kisah Nabi Muhammad

“Diriwayatkan dalam sebuah hadis dari Anas bin Malik, suatu ketika Rasulullah SAW berjalan-jalan bersama para sahabat berkeliling Madinah. Di tengah perjalanan, Rasulullah SAW bertemu dengan sekelompok kaum yang sedang mengawinkan pohon kurma. Seketika melihat hal itu, Rasulullah SAW memberikan tanggapan kepada para penduduk tersebut. Saat memberikan tanggapan, Rasulullah SAW tidak menggunakan kata-kata yang menyebutkan kepastian. Rasulullah SAW menyampaikan: Sekiranya mereka tidak melakukan hal itu, pohon kurma itu juga akan tumbuh baik. Karena yang mengatakan hal itu adalah seorang Nabi, masyarakat Madinah pun menaatinya dan akhirnya meninggalkan kebiasaan yang sudah dilakukan turun-temurun. Selang beberapa waktu berlalu, ternyata pohon kurma yang biasanya tumbuh bagus, tak sesuai dengan ekspektasi dan kebiasaan. Hingga akhirnya Rasulullah SAW pun mengetahui bahwa usulannya kepada masyarakat Madinah tersebut malah membuat pohon kurma rusak dan tak tumbuh seperti biasanya. Dengan segala kerendahan hati, Rasulullah SAW pun berkata kepada para kaum di Madinah tersebut, Antum a’lamu bi amri dunyakum (kalian lebih mengetahui urusan tersebut)” (HR. Muslim).

Dari kisah Nabi Muhammad di atas, kita bisa menguraikan nilai-nilai etika dalam berpendapat:

Pertama, ketika Nabi Muhammad menyampaikan tanggapannya, Beliau menyampaikannya dengan bahasa yang sopan, santun, dan baik. Sebagus apapun pendapat yang akan disampaikan, kalau cara penyampaiannya tidak baik, pendapat tersebut tidak berguna untuk suatu kebaikan. Selain itu, pendapat yang disampaikan dengan cara yang tidak baik, juga akan dapat menyakiti orang lain dan berujung pada malapetaka.

Kedua, berpendapatlah sesuai dengan kadar kemampuan dan pengetahuan yang kita miliki. Pada kisah diatas, Nabi Muhammad mencoba memberikan pendapatnya yang mungkin sesuai yang beliau ketahui di tempat lain. Tapi, belum tentu juga perilaku di tempat lain akan menghasilkan hasil yang sama jika diterapkan di tempat tersebut. Tidak apa-apa untuk memberikan pendapat, karena dari pendapat itu justru bisa memberikan pengetahuan yang baru kepada kita.

Ketiga, menghargai pendapat orang lain. Dari kisah Nabi Muhammad di atas, meskipun mereka telah melakukan perkawinan pohon kurma secara turun menurun, sekelompok orang yang mengawinkan kurma tersebut menghargai pendapat dari Nabi Muhammad dan mencoba melaksanakannya untuk bisa dievaluasi.

Keempat, hendaknya kita bersegera meminta maaf apabila pendapat yang kita sampaikan ternyata tidak sesuai dengan permasalahan yang ada. Setelah Nabi Muhammad mengetahui bahwa pendapatnya tidak berlaku di tempat tersebut, beliau segera meminta maaf kepada kelompok orang yang ditemuinya. Dan pada akhirnya Nabi Muhammad mengakui dan menyerahkan ilmu tumbuhan pada mereka yang sudah ahli. Meminta maaf atas kesalahan dalam berpendapat merupakan tindakan yang sportif karena kita mampu menurunkan ego, mengakui keterbatasan kemampuan diri, dan menyadari kesalahan pendapat yang kita sampaikan.

Kesimpulan

Islam sangat menghargai hak setiap orang dalam mengemukakan pendapat. Tetapi Islam juga mengajarkan mengenai kaidah-kaidahnya agar kebebasan berpendapat dapat membawa manfaat dan tidak mengakibatkan kerusakan. Tentu kaidah-kaidah sebagaimana dijelaskan di atas dalam implementasinya perlu dirumuskan melalui regulasi yang lebih konkret. Dengan demikian, kebebasan berpendapat akan berlangsung dengan etis, ilmiah dan bermartabat.

Referensi:

Dimas Hutomo S.H. 2019. Pembatasan Berkomentar di Medsos Merampas Hak Kebebasan Berpendapat?https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5d2d75a9b17f0/pembatasan-berkomentar-di-medsos-merampas-hak-kebebasan-berpendapat/?__cf_chl_jschl_tk__=pmd_6f27d4cbc9929b2f487a888429d247df2e58262f-1627356982-0-gqNtZGzNAk2jcnBszQhO . (Diakses pada 27 Juli 2021. Pukul 12:36)

Agung Sasongko. 2019. Etika Berpendapat. https://republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/19/09/28/pyjh2i313-etika-berpendapat. (Diakses pada 27 Juli 2021. Pukul 12:45)

Anggit Rizkianto. 2019. https://arizkianto.medium.com/kebebasan-berpendapat-dalam-islam-239bba5bf617. (Diakses pada 27 Juli 2021. Pukul 13:11)

Murtiadi. 2021.http://indonesiabaik.id/media/konten/1060. (Diakses pada 27 Juli 2021. Pukul 13:52)

Luqman Rimadi. 2020. MUI: Mengekang Kebebasan Berpendapat Pembodohan Bagi Kehidupan Berbangsa. https://www.liputan6.com/news/read/4267909/mui-mengekang-kebebasan-berpendapat-pembodohan-bagi-kehidupan-berbangsa. (Diakses pada 27 Juli 2021. pukul 13:58)

--

--

Habib Luthfi Ash Shiddiqie
SiasatMenulis by Syiar Strategis KMT

Diqi, begitu teman-teman memanggilnya. Diqi adalah seorang yang selalu ingin mengeksplor apapun. Baginya, hal itu adalah bagian dari kewajiban manusia