Menyelami Pikir: Tasawuf Melemah, Radikalisme Berkecambah

https://harakatuna.com/meredam-radikalisme-via-pendekatan-dunia-tarekat.html

Tahukah kamu? Dalam Islam, terdapat tiga ilmu dasar yang perlu dipelajari umatnya, loh. Ilmu tersebut yaitu ilmu tauhid, fiqih, dan tasawuf. Nah, pada kesempatan kali ini, kita akan membahas ilmu tasawuf secara umum.

Kata tasawuf ( التصوف ) berasal dari kata sufi ( صوفى ). Tasawuf dikenal pula sebagai sufisme yang berarti ajaran menyucikan jiwa, menjernihkan akhlak, membangun dhahir dan batin, serta memperoleh kebahagiaan abadi. Selain itu, tasawuf merupakan wujud ihsan dalam syariat Islam yang berfokus membangun diri menjauhi hal duniawi. Prinsipnya adalah membantu seseorang untuk tetap berada di jalan ﷲ.

Modernisasi dan Gesekan Pendapat

Sebagai manusia, kita tumbuh dan berkembang dalam pengaruh baik dari diri sendiri maupun sekitar seperti ajaran agama, lingkungan, sosial-politik, dan sebagainya. Seiring berjalannya waktu, masa dulu dan sekarang berbeda. Modernisasi. Yup, itu dia!

Melalui modernisasi, tak sedikit orang yang mudah terhasut hal keduniawian melenceng dari agamanya. Misalnya, sebagai upaya ‘mempertahankan’ jati diri, muncullah kelompok orang yang menolak modernisasi karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama. Mereka menganggap apa yang mereka ikutilah yang paling benar.

Salah satu dampak terburuk akibat pemahaman semacam ini adalah aksi terorisme menggunakan kekerasan, misalnya bom bunuh diri dan penembakan. Hal ini mereka anggap sebagai aksi menyatakan ketidaksetujuan terhadap prinsip politik bangsa serta ketidakpuasan nilai-nilai sosial yang bagi mereka, menyimpang dari ajaran Islam ‘sesungguhnya’. Pelaku radikalisme seperti ini merupakan penganut gerakan keagamaan yang bersifat kolot dan reaksioner, yang selalu ingin kembali ke ajaran agama ‘asli’ seperti yang tersurat dalam kitab suci.

Radikal dari Sudut Epistemologi

Omong-omong, sebelum kita kembali membahas tentang tasawuf, kita akan menyelam sedikit lebih dalam mengenai radikalisme. Kita sebut saja mereka sebagai “kaum radikal”. Menurut kaum ini, orang-orang yang memiliki jalan hidup tidak bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah adalah kafir, munafik, dan fasik karena bagi mereka, hanya ajaran tersebutlah yang dapat mencerminkan kebenaran Ilahi. Akibat pola pikir tersebut, mereka menanggapi keberagaman secara kaku dan intoleran yang pada akhirnya menebarkan panji-panji kebencian, kekerasan, dan permusuhan. Padahal, kehadiran Islam di muka bumi sebagai rahmatan lil ‘alamin (agama damai untuk semesta).

Menurut Yusuf al-Qaradhawi, berdasarkan sudut pandang epistemologi, kaum radikal ini memahami ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah dengan metode sebagai berikut:

  • kecenderungan zahiri dalam memahami nash-nash,
  • sibuk mempertentangkan hal-hal sampingan seraya melupakan permasalahan pokok,
  • berlebih-lebihan dalam mengharamkan segala sesuatu,
  • pemahaman keliru beberapa istilah penting, dan
  • kedangkalan pikir dalam memahami Islam dan ketidakjelasan pandangan tentang pokok syari’atnya.

Berdasarkan pola pikir tersebut, mereka merasa cukup dengan interpretasi agama yang didasarkan pada pemahaman literal dan tekstual. Akibat dari pemahaman tersebut, justru substansi ajaran Islam menjadi lemah karena mereka tidak mempelajari berbagai penafsiran atau pendekatan lainnya yang ada.

Nah, readers, perlu kita pahami bahwa ketika ada persoalan umat, salah satu hal yang dapat dilakukan adalah upaya transformatif untuk mengatasi persoalan. Upaya ini merupakan usaha menganalisis dan memberikan alternatif solusi terhadap segala bentuk dehumanisasi sosial. Islam sebaiknya tidak diposisikan sebagai agama yang statis untuk dirinya sendiri, tetapi dinamis dan dapat menjawab persoalan umat terkini dengan berpedoman pada syariat Allah.

Posisi Tasawuf dalam Upaya Transformatif

Saatnya kita kembali ke pembahasan mengenai tasawuf. Lantas, di mana posisi cabang ilmu ini?

Tasawuf di sini berperan sebagai unsur yang signifikan dalam upaya transformatif. Ketika keduanya digabung, muncul istilah “tasawuf transformatif”. Tasawuf transformatif bersumber pada tauhid dan syariat sehingga dalam praktiknya, tidak menyimpang dari akidah dan syariat.

Menurut Hamka, pada hakikatnya, konsep tasawuf diandalkan sebagai pondasi akidah yang bersih dari kemusyrikan. Tiga proses tasawuf menuju makrifatullah sebagai berikut:

  • taholli, yaitu suatu proses mengosongkan diri dari akhlak/karakter tidak terpuji;
  • tahalli, yaitu suatu proses meliputi atau mengisi diri dengan akhlak/karakter Islami, dan;
  • tajalli, yaitu suatu pencapaian sufistik yang menempatkan Allah selalu hadir dalam setiap nafas dan perbuatan.

Dengan demikian, tasawuf bisa menjadi salah satu upaya menuju makrifatullah sehingga masyarakat memiliki karakter Islami dan jauh dari perbuatan tidak terpuji. Dengan tasawuf pula, seseorang menjadi lebih rendah hati akan ilmu yang dimilikinya sehingga terjauhkan dari paham radikalisme.

Meski begitu, belajar tasawuf tetap tidak boleh sembarangan. Yuk kita simak nasihat Ustadz Adi Hidayat berikut ini!

Daftar Pustaka

Hasyim, Nanang Mizwar. (2020). Tasawuf dan Internalisasi Moderasi Beragama Dalam Menghadapi Problematika Bangsa. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Diakses dari https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/40264/

Manurung, Marzuki. (2021). Rektor UIN Sumut: Radikalisme Muncul Akibat Studi Filsafat Islam dan Tasawuf di Dunia Islam Makin Lemah. Diakses dari https://jurnalmedan.pikiran-rakyat.com/khazanah/pr-1491709722/rektor-uin-sumut-radikalisme-muncul-akibat-studi-filsafat-islam-dan-tasawuf-di-dunia-islam-makin-lemah?page=2.

Mufid, Fathul. (2016). Radikalisme Islam dalam Perspektif Epistemologi. Media Dialektika Ilmu Islam. Vol. 10, No. 1. 61–82. Diakses dari https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/Addin/article/view/1129

--

--