Sudah Pantaskah Indonesia “Merdeka”?

Sumber: Freepik

Sudah 76 tahun Indonesia berjuang dan berdiri di atas bumi pertiwi dengan kebebasannya. Selayaknya bayi yang sedang belajar bagaimana caranya berjalan, bangsa Indonesia tempo dulu pun tertatih-tatih serta jatuh bangun dalam usianya yang masih belia. Penjarahan serta ketidakpercayaan rakyat “menggerogoti” tubuh kepemerintahan Indonesia saat itu. Banyaknya tudingan-tudingan tak berdasar yang dilontarkan antar warga membuat suasana semakin runyam. Serta pembelotan dan perpecahan sana sini turut menguji validitas kemerdekaan Indonesia. Lalu, sudah pantaskah Indonesia merdeka?

Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”

Setidaknya kata-kata itulah yang pernah keluar dari presiden pertama RI, Ir. Soekarno pada pidatonya tanggal 10 November 1961. Dan kalimat tersebut sampai saat ini pun, seperti memiliki jiwa, masih tetap hidup dalam setiap nyawa perjuangan bangsa Indonesia.

Kemerdekaan Indonesia adalah satu peristiwa yang harus disyukuri oleh seluruh rakyat Indonesia. Kemerdekaan Indonesia tidak didapatkan dengan mudah, apalagi hanya menunggu dan berpangku tangan pada keadaan. Banyak persiapan serta pemikiran yang matang dari para tokoh nasional, muda, hingga tokoh agama dalam memutuskan bahwa esok “Indonesia harus Merdeka”. Tak dapat dipungkiri berbagai latar belakang dan tujuan harus disatukan demi terwujudnya kemerdekaan Indonesia.

Setelah merdeka pun, Bangsa Indonesia tidak bisa dilepaskan berjalan di dunia bebas begitu saja. Tertatih-tatih, terjatuh, merengek, bangkit, dan bangga, perjalanan Bangsa Indonesia diliputi semua fase itu. Seperti teori opportunity cost, ada harga yang harus dibayar atas kemerdekaan Indonesia. Namun, kemerdekaan tidak hanya didapatkan dengan tumpah darah dan diplomasi tokoh elit semata.

“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”

Kalimat di atas adalah bagian dari pembukaan UUD alinea ketiga. Kalimat yang mengajarkan kita untuk bersyukur kepada setiap karunia yang telah Allah berikan kepada bangsa Indonesia. Kalimat yang mendorong bangsa Indonesia untuk mengubah nasib mereka sendiri. Kalimat yang menuntun kita untuk menyelaraskan tujuan leluhur kita dengan nilai-nilai kereligiusan. Seperti pada potongan ayat ke-11 dari surat Ar-Ra’d:

…اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ…

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)

Esensi Kemerdekaan

Kemerdekaan tidak bisa hanya dimaknai satu pengertian saja. Kemerdekaan bukan hanya terlepas dari penjajahan negara asing. Kemerdekaan bukan hanya diartikan sebagai berdiri di kaki sendiri. Namun, lebih dari itu, kemerdekaan bisa dimaknai sebagai perubahan pola pikir, perubahan pola perilaku, serta perubahan tingkat religiusitas pada tiap rakyat Indonesia.

Perubahan pola pikir, yang berarti masyarakat Indonesia mendorong diri mereka sendiri untuk memiliki pola pikir yang berkembang (growth mindset). Rakyat Indonesia yang dulunya memiliki pengalaman pahit di bawah masa kepenjajahan harus bisa membuka cakrawala pengetahuan dengan tetap berdasarkan nilai-nilai pancasila. Pola pikir terjajah harus bisa berubah menjadi pola pikir penjajah (dalam konteks yang positif) seperti mencontohkan dan menanamkan nilai kekeluargaan, kesopanan, dan kehormatan pada bangsa lain.

Perubahan pola perilaku menunjukkan adanya perubahan kebiasaan dan metode kerja bangsa Indonesia menuju arah yang lebih baik. Pola perilaku korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) yang merupakan warisan masa kolonial harus dihapuskan dengan segera. Selain mencoreng nilai-nilai Pancasila yang telah dirumuskan dengan sangat hati-hati oleh para tokoh nasional, KKN juga menempatkan setiap individu sebagai penjajah atas individu yang lain. Lalu, apa bedanya para tokoh KKN dengan para penjajah? Apakah dengan diberi kekuasaan, sifat tamak tersebut begitu saja muncul? Tentu dengan memaknai kemerdekaan dengan khidmat, kita seharusnya bisa menghindari praktik KKN ini dan mencegah menjamurnya KKN di tubuh ibu pertiwi.

Seperti yang dikatakan oleh menantu Rasulullah S.A.W, Ali bin Abi Thalib dalam sebuah kesempatan, yaitu:

من كان يومه خيرا من أمسه فهو رابح. ومن كان يومه مثل أمسه فهو مغبون. ومن كان يومه شرا من أمسه فهو ملعون

“Barangsiapa hari ini lebih baik daripada hari kemarin, maka ia adalah orang yang beruntung. Barangsiapa hari ini sama dengan hari kemarin, maka ia adalah orang yang merugi. Dan barangsiapa hari ini lebih buruk daripada hari kemarin, maka ia adalah orang yang terlaknat.”

Tentu sebagai bangsa yang merdeka dari penjajahan, andai kata kondisi bangsa Indonesia saat ini yang berusia 76 tahun masih mengalami kondisi yang sama seperti masa penjajahan, berarti ada hal yang lebih buruk daripada hari kemarin, maka sungguh kita tidak menginginkan hal itu terjadi.

Kemudian poin ketiga, dengan didapatkannya kemerdekaan di tangan Indonesia, sangat tidak etis jika kita sebagai umat beragama, khususnya umat Islam, tidak mampu meningkatkan tingkat religiusitas kita. Peningkatan religiusitas ini janganlah dimaknai sebagai peningkatan religiusitas individu semata. Jangan sampai dengan peningkatan religiusitas pada diri sendiri mengakibatkan kita mudah mengafirkan orang lain, bukan, bukan itu arti peningkatan religiusitas. Peningkatan religiusitas haruslah dibersamai dengan niat bertoleransi antar sesama manusia.

Kondisi Indonesia Saat Ini

76 tahun telah berlalu, kini Indonesia adalah negara seperti yang kita kenal saat ini. Bangsa yang diselimuti keindahan alam, kreativitas, dan kearifan lokal warga +62, serta prestasi membanggakan putra-putra terbaik bangsa. Indonesia pun terkenal dengan keramah-tamahannya dalam menyambut warga asing. Namun, sudah tidak dapat disembunyikan lagi, ada keresahan yang muncul terkait oknum-oknum yang masih saja dengan “polosnya” mencederai nilai pancasila dan kemerdekaan Indonesia.

Opini dari penulis menyatakan masih banyak PR yang harus kita kerjakan, khususnya kita para pemuda Indonesia. Berbagai lini kehidupan bangsa Indonesia saat ini mengalami kondisi yang terbilang kritis. Keterjaminan lingkungan saat ini sedikit demi sedikit dikikis dengan beberapa tindakan yang destruktif. Sebagai contoh pembukaan lahan, penambangan yang tidak disertai rehabilitasi kawasan, pengobralan lahan gambut, deforestasi berlebihan, masalah FABA PLTU, serta kasus perusakan lingkungan lainnya. Adapun di sisi moralitas, masih maraknya korupsi, apalagi di masa pandemi seperti ini yang sungguh melukai hati para rakyat Indonesia. Terlebih, strategi marketing oleh beberapa elit yang kurang perlu dilakukan di masa pandemi seperti ini. Dan penulis kira, masih ada beberapa kasus dimana kita perlu menaruh perhatian lebih pada hal tersebut.

Lalu, bagaimana dengan kemerdekaan Indonesia saat ini? Kembali pada pertanyaan awal: sudah pantaskah Indonesia merdeka? Jawabannya dengan tegas, iya, Indonesia pantas untuk merdeka. Sebenarnya pertanyaan ‘sudah layakkah’ ini mengandung unsur retorika di mana jawaban yang kita inginkan bisa ditebak. Namun, pertanyaan ‘sudahkah kita merdeka?’ kita lemparkan pertanyaan itu pada masing-masing pembaca. Mari kita selalu perjuangkan dan pertahankan kemerdekaan Indonesia seperti yang didambakan oleh para leluhur kita.

Penulis tidak berniat memberikan tendensi apapun. Hanya saja hal ini bertujuan untuk mengingatkan kita semua bahwa Indonesia masih perlu tuntunan. Indonesia masih belum bisa dilepas bebas begitu saja, Indonesia perlu pengawasan dari kita, rakyat Indonesia. Pengawasan inilah sebagai bentuk memaknai kemerdekaan dan tanggung jawab kita untuk menjadi “kaki” dalam setiap langkah Indonesia.

Mari kita rayakan semangat kemerdekaan Indonesia yang ke-76 sebagai bentuk upaya pendampingan bangsa Indonesia menuju arah yang lebih baik. Kita sadarkan lingkungan sekitar bahwa Ibu Pertiwi perlu kehadiran kita. Jangan sampai pemuda Indonesia terlena dengan teknologi yang membuai serta lalai terhadap kondisi Indonesia. Indonesia Tanah Airku, Indonesia Merdeka!

Referensi

Ahmad Mundzir. 2019. Tafsir Ar-Ra’d Ayat 11: Motivasi Mengubah Nasib?https://islam.nu.or.id/post/read/112873/tafsir-ar-ra-d-ayat-11--motivasi-mengubah-nasib- . Diakses pada 15 Agustus 2021 pukul 23:15

Anang Rikza Masyhadi, M.A. 2016. Hari Esok Harus Lebih Baik; https://www.tazakka.or.id/2016/12/mauqif/hari-esok-harus-lebih-baik-anang-rikza-masyhadi-m-a/ . Diakses pada 16 Agustus 2021 pukul 00:15

Idris Parakkasi. 2020. Menelaah Makna Kemerdekaan Dalam Perspektif Syariah. http://sin.fst.uin-alauddin.ac.id/menelaah-makna-kemerdekaan-dalam-perspektif-syariah/ . Diakses pada 15 Agustus 2021 pukul 22:30

Wildah Nurul Islami. 2020. Meneladani Nilai Etika Sosial Gus Dur dalam Momen Kemerdekaan.https://jatim.nu.or.id/read/meneladani-nilai-etika-sosial-gus-dur-dalam-momen-kemerdekaan Diakses pada 15 Agustus 2021 pukul 21:20

--

--

Habib Luthfi Ash Shiddiqie
SiasatMenulis by Syiar Strategis KMT

Diqi, begitu teman-teman memanggilnya. Diqi adalah seorang yang selalu ingin mengeksplor apapun. Baginya, hal itu adalah bagian dari kewajiban manusia