Polemik Politik Telekomunikasi di Indonesia

Putu Priyana Pradipta
Keprofesian dan Kajian IMT Signum
11 min readJan 31, 2021

Kajian Telekomunikasi 1.0 Oleh Divisi Kajian (28 November 2020)

Topik Bahasan :

  1. Pembatasan Sosial Media Ketika Demonstrasi
  2. Pemutusan Jaringan Internet di Papua oleh Pemerintah
  3. Omnibus Law terkait Telekomunikasi

Alam : Melakukan pemantikan terkait poin nomor 2 dan 3. Sebenarnya tujuan pemerintah adalah membatasi hak berkomunikasi dari rakyatnya sendiri. Dulu juga pernah Kominfo menutup akses karena mencegah penyebaran hoax. Pertanyaannya apakah itu diperlukan? Sebenarnya itu lebih dicabut haknya berpendapat di media sosial. Hal serupa juga pernah di Papua, ada pemutusan internet. Ini juga dilakukan Kominfo, awalnya diduga karena kasus rasisme, ada kejadian yang memicu kemarahan orang-orang di Wamena dan Sorong. Untuk mereda, pemerintah menutup akses internet. Tapi apakah itu hal yang benar? Apakah sosial media adalah hak rakyat? Mungkin ada yang ingin berpendapat dulu?

Farras : Sebelumnya saya mau nanya, output dari kajian ini mau apa?

Farisan : Pada dasarnya ketika kami mengusung tema ini, hanya untuk menyamakan pendapat massa IMT. Outputnya akan dipakai menjadi sebuah partikel untuk dipublikasi di majalah Propagasi, jadi banyak yang bisa membaca.

William : Nanti dicari garis besarnya.

Farras : Setuju dengan Alam, karena hal yang dibahas ini cenderung melanggar hak di masyarakat. Hoax menyebar yang menyebarlah, tapi kembali lagi ke edukasi masyarakat. Jadi masyarakat yang melakukan filtering.

Arif : Mungkin yang menarik dari pemutusan jaringan di Papua, atau Twitter, dll. Sebenarnya mungkin kita mengkaji dari dasar Hukumnya (judicial review). Ada pasal di UU pasal 40, dimana pemerintah memberikan wewenangnya sendiri. Berdasarkan hakim, seharusnya pemerintah melakukan pemutusan konten-konten yang spesifik, bukan semua. Di sisi yang lain, sekarang ini pemerintah tidak memutus internet, tapi gencar sekali orang-orang menyebarkan hoax.

Marsa : Mau bertanya singkat, bahwa output akan ditulis di majalah Propagasi aja ya?

Farisan : Kalau ada saran bisa diterima.

Marsa : Menarik jika ditaruh di semua media IMT.

Rama : Jadi kalau menurutku, seluruh upaya dalam mencari kebenaran tidak boleh dihentikan. Masyarakat juga berhak mencari informasi seluas-luasnya. Jadi kalo ada pihak-pihak yang menutup hak itu, artinya tidak bisa dipercaya. Jadi pemerintah disini keliatannya punya itikad buruk, pertanda demokrasi yang tidak sehat.

Alam : Mengutarakan pendapat yang saya sendiri tidak setuju. Misalkan ya, ada operator yang punya power. Tapi apakah operator ini punya hak untuk menolak?

Rama : Apakah yang terjadi disana hanya pembatasan internet, atau ada juga pembatasan berkumpul. Kan bisa aja penyebaran hoaks, tapi secara luring.

Alam : Saya tidak tau sebenarnya. Tapi kalau yang di demonstrasi itu boleh berkumpul. Tapi sosial media dimatikan oleh pemerintah.

Jati : Mau menanggapi, terkait pembatasan massa. Sebenarnya itu dari pemerintah itu sedikit menghalang-halangi berkumpul. Pemerintah itu tidak mau ada demo besar seperti itu. Pemerintah mencegah.

Gelar : Kalau misalkan tadi tujuannya dibatasi akses karena mencegah hoax dan kawan-kawan, apakah itu metode yang efektif? Saya pribadi kalo melihat masalah ini, bisa jadi masyarakat suudzon terhadap pemerintah. Kalau suudzon malah timbul pemikiran yang aneh-aneh dari masyarakat.

Jati : Misalkan dari Papua ada kasus demo, lalu kerusuhan dan lainnya. Internet dimatikan. Bisa saja orang-orang di luar kejadian, malah yang menyebarkan. Hal-hal seperti itu justru yang menimbulkan hoax.

Alam : Jadi tujuannya untuk menutupi yang terjadi ya.

Arif : Ingin menanggapi terkait apa yang terjadi. Sebenarnya kan ini bukan metoda baru, tapi metoda lama tapi diaplikasikan di dunia modern. Dulu kan kalau sumber informasi miss dengan pemerintah, kan langsung di-takedown. Kalau sekarang ini, pemerintah melakukan takedown, justru masyarakat bisa mencurigai (pemerintah menembak kaki sendiri). Jadi kalau ada saran buat pemerintah, lawanlah hoax dengan informasi yang lebih benar. Kuncinya adalah edukasi, bukan shutdown.

Alam : Masalah metode, dengan metode yang baru ini, banyak info-info palsu. Kita tidak tau apakah pemerintah ingin menutupi kebenaran atau menutupi hoax/kebohongan. Kita tidak tau pemerintah apakah pemerintah ini menggunakan cara baru atau gimana. Sebenarnya kalau untuk menutupi kebenaran, justru menyebarkan hoax. Tapi disini pemerintah memutuskan untuk menutup jaringan.

Alberth : Pendapat saya. Jadi awalnya kan ada rasisme mahasiswa Surabaya. Lalu, demo besar terjadi. Menurut saya, pemutusan jaringan ini dilakukan di lokal (Papua) sana. Pemerintah sepertinya mengurangi komunikasi orang-orang Papua, untuk memperlambat informasi (mencegah demo).

Alam : Benar sih.

Alam : Kalau untuk menanggapi Alberth, kita butuh kesimpulan. Kalau sesuai Alberth, pemerintah ingin menutup kanal komunikasi di Papua. Tapi apakah itu etis untuk menutup jaringan informasi untuk meredam mereka?

Alberth : Sangat tidak etis dan salah di mata hukum. Buktinya pemerintah juga kalah di pengadilan. Simpelnya, pemerintah melanggar HAM. Jadi salah aja pokoknya.

Dian : Saya masih ingin menanggapi tentang apakah etis atau tidak. Saya barusan cari-cari, ada dari komnas HAM itu namanya kebebasan berkumpul. Kalau berkumpul lalu membentuk ekspresi. Menurut saya kalau memang tujuannya biar tidak ada hoax yang berkeliaran, kenapa harus putus internet. Kenapa tidak di-ban aja konten tersebut. Berarti kalau semuanya di-ban, berarti melanggar hak juga dong.

Gelar : Mungkin dari tadi Dian bilang, mungkin disini yang jadi masalah utamanya, Kalau masalah konten itu sudah masuk ke ranah platformnya penyebarannya apa. Pemerintah tidak bisa mengatur konten yang mau disebarkan.

William : Setuju dengan Gelar. Penyebaran hoax itu justru cenderung menguntungkan platform secara material.

Farras : Ijin saran agar kesimpulan dapat dibacakan terlebih dahulu.

Farisan : Membacakan kesimpulan personal.

Farras : Jadi ini kan dari tadi pertanyaan massa belum keluar. Jadi saya rasa ini pemantik yang cukup oke.

Dian : Preseden adalah hal yang telah terjadi lebih dahulu dan dapat dipakai sebagai contoh. Sesuatu yang mengikuti putusan terdahulu. Merujuk apa yang sudah keluar dan diterapkan.

Farras : Omong-omong, pertanyaan Alam yang ISP itu sudah terjawab?

Marsa : Kalau yang saya lihat dari keberjalanan forum ini, pada tidak setuju dengan keputusan pemerintah. Biar cepat aja, dari segi teknik kira-kira apa yang bisa kita sarankan untuk pemerintah? Ada nggak? Apa yang bisa diubah?

Rama : Yang bisa kita lakukan, karena ini situasinya sedikit sulit. Jadi caranya ya kita tetap menjaga idealisme kita, karena mungkin di masa depan kita jadi regulatornya (sisi optimis). Kalau sisi pesimis, apakah pemerintah ingin mengubah atau tidak. Kembali lagi, apakah kita ingin terlibat dalam sistem tersebut atau gimana.

Marsa : Yang bisa saya tangkap dari Rama, sekarang ini kita hanya bisa menuntut. Bisa merubah kalau udah bisa masuk ke dalam sistem.

Alam : Yang matiin internet itu siapa ya? Yang melakukan siapa? Kominfo dia punya hak kemana? Sistem matiin nya gimana? Gimana kalau misalkan kita orang yang akan mampu, kita bikin suatu perusahaan yang infrastruktur nya terlepas dari pemerintah.

William : Kalau bikin perusahaan infrastruktur telekomunikasi itu semua butuh izin dari pemerintah. Jadi susah kalau bikin perusahaan yang independen terhadap pemerintah.

Farras : Masih terkait usulnya Marsa, apa yang bisa kita lakukan kalau terjadi gini lagi? Mungkin dari tadi kenapa kita tidak mengedukasi masyarakatnya. Apa yang bisa kita lakukan selaku mahasiswa. Cara bedain berita yang hoax dengan yang nggak. Kalau masyarakat sudah teredukasi, mungkin pemerintah beda lagi mikirnya.

Dian : Saya pribadi setuju dengan pendapat Farras. Bisa dijalankan dengan edukasi. Ketika akademis masuk ke sistem, akademis ini gak akan bisa keluar. Kalau tidak kuat, akan tergerus.

Jati : Think globally, act locally.

Arif : Sebenarnya secara teori kalo misalnya kasusnya demo gitu yang dimatikan kan cuma radius 1–2 km. Kalo misalnya anda bikin LAN terus gateway nya device yang diluar radius pemadaman sebenernya ga ilegal kan? Keliatannya di Papua itu CN nya dimatikan. Kalau waktu itu di Gedung sate, AN nya dimatikan.

Rama : Solusinya gampang, pake HT high power aja. Cuman nanti bisa ada jammer polisinya. Cuman kalau untuk hal-hal kayak gini, mungkin orang lapangan bisa tau.

Dian : Kita dimatikan oleh teknologi. Ya kita balas dengan teknologi lagi.

Farisan : “Membacakan kesimpulan. Pertanyaan Arif lagi terkait pemutusan internet, air, listrik.”

William : Kalau konteksnya informasi, ya komunikasi. Kecuali mau mematikan masyarakatnya.

Farras : Kalau internet itu prioritasnya masih rendah daripada air dan listrik. Air dan listrik itu untuk keberlangsungan hidup.

Dian : Kalau beneran putus, berarti udah ekstrim. Indonesia kan sebagian besar air.

Arif : Kita harus mulai memikirkan bahwa internet juga termasuk basic human rights, layaknya air. Kalau sekarang mungkin kita bisa hidup tanpa internet.

William : Kalau air diracuni, analoginya internet dikasih hoax. Itu gimana?

Arif : Yang boleh diblokir adalah kontennya, bukan aksesnya. Misalkan semua orang punya hak untuk hidup. Sama seperti internet, kita punya hak untuk surfing di internet. Punishment komunal.

Rama : Saya baru ngeh maksudnya William. Analoginya kalo informasi diracuni oleh hoax, kalau sumber air diracuni oleh polusi. Misalkan suatu kota di-supply air dari suatu reservoir, tapi poisoned. Tapi pemerintah harusnya punya alternatif lain. Kalau jaringan internet, pemerintah tidak punya alternatif solusi. Pemerintah harus punya solusi yang bisa menggantikan, atau setara.

Farisan : Membacakan kesimpulan lagi.

Farras : Karena mungkin keterbatasan waktu, saya rasa sayang kalau topik yang cukup hangat/booming belum kita sentuh.

Alam : Memantik. Latar belakang, akhir-akhir ini masyarakat banyak tidak setuju dengan Omnibus Law. Kita tidak akan membahas dengan apa yang dibahas orang-orang. Jadi kita sekarang akan membahas yang berkaitan dengan Teknik Telekomunikasi. Kata kunci telekomunikasi itu 20–30 an. Poster (Kajian — Google Docs). Kalau kita lihat, ini cukup memberikan hal positif untuk telekomunikasi di Indonesia. Dari sini muncul pertanyaan, apakah kita bisa setuju dengan omnibus law? Atau tetap menolak yang merugikan sebagian pihak? Gimana menurut massa?

Rama : Ini mau mengajukan pertanyaan. Apa makna kalau kita menolak atau mendukung suatu UU? Apakah suara kita masih dianggap, masih punya kedaulatan?

Dian : Sebenarnya kalau masalah daulat atau enggak daulat, menurut saya masih sangat berdaulat ya, masih dilindungi, selama sesuai dengan hukum. Apakah kita bisa ikut andil dalam pembentukan UU? Ya bisa. Gimana caranya? Itu tadi ada yang namanya Judicial Review, intinya kritik terhadap UU ke MK. Kalau ada yang tidak setuju, ya banding saja ke MK. Tapi kesannya sedikit geli ya. Pertama, kalau misalnya saya mengutip dari satu narasumber Najwa, kalau misalkan setelah UU disahkan, terus ke MK, berarti artinya pembentukan UU ini belum memikirkan seluruh yang dibutuhkan masyarakat. Artinya masih main-main gitu. Misalnya ada orang sipil yang melakukan suatu judicial review, itu kan tidak semudah itu. Jadi dalam judicial review itu banyak dokumen yang harus dipersiapkan. Kita butuh kekuatan hukum sebagai pengkritik. Kesannya kita disuruh masuk ke kandang singa, kalau nggak kuat yaudah. Jadi intinya gitu, kalau boleh disimpulkan: bisa masyarakat mengajukan banding, tapi disamping itu kita juga harus butuh dokumen yang sangat lengkap untuk mendukung.

Jati : Jadi balik ke pertanyaan Rama ya. Pemerintah kan bisa dibilang cenderung lebih otoriter. Aksi yang sudah berlalu ya udah gitu. Singkatnya, pendapat mahasiswa bisa tidak dianggap. Kebetulan saya juga ikut aksi Omnibus law, nah presiden KM juga membahas kenapa kita tidak melakukan judicial review. Disini ketika mengajukan banding itu, kita secara de facto mengakui bahwa omnibus law merupakan suatu hukum yang benar. Padahal stance kita kan mencegah omnibus law. Tapi judicial review ini kesannya sudah mengakui hukum tersebut berlaku, dan ingin direvisi. Demo waktu itu menuntutnya Perpu, mendesak presiden untuk membuat Perpu. Judicial review merupakan langkah terakhir.

Farras : Lagi dalam fasa apa proses omnibus law ini, terus apa yang masih bisa dilakukan. Apa masih keburu gitu?

Jati : Mungkin sedikit menjawab, ya sebenarnya karena omnibus law ini memang sudah disahkan di DPR, tapi dari mahasiswa belum ada beritanya lagi apa langkah yang bakal kita lakukan. Tapi memang satu-satunya cara adalah melakukan judicial review.

Dian : Untuk pelaksanaan judicial review itu gimana menarik-nariknya, saya masih kurang paham.

Rama: Kalau tidak salah, Omnibus law juga membahas penggunaan resource infrastruktur, seperti resource frequency. Seperti infografis nomor 8 saya dapat info, ada stasiun TV yang tidak mau pindah ke TV digital, padahal pemerintah sudah wanti-wanti untuk pindah dari analog ke digital. Mau ada super Wi-Fi, bisa dimanfaatkan untuk memberikan akses di daerah-daerah terpencil. Itu juga bisa memberikan insentif bagi peneliti di bidang telekomunikasi, untuk diberikan kesempatan yang lebih luas. Kenapa beberapa stasiun TV tidak mau ganti frekuensi? Karena masih ada penontonnya yang analog. Kalau memaksa pindah ke digital, nanti penonton yang tidak punya STB, tidak bisa menonton TV. Ini kesannya insentif yang positif.

MP : Lebih bertanya, dari yang Rama bilang kenapa MNC Group tidak mau migrasi ke digital karena penontonnya masih menggunakan analog. Kenapa tidak bisa digital ada tapi analog juga ada.

Rama : Co-existence itu bisa. Tapi spektrum frekuensi harus dibagi secara fair, dan TV analog itu inefisiensi di pembagian spektrum. Pemerintah harapannya bisa membagi-bagi spektrum, dan mendapatkan keuntungan lebih banyak dari pembagian ini.

Arif : Saya setuju dengan analog-switched-off, Indonesia ini cukup tertinggal dibanding tetangga. Mereka tidak ada layanan TV analog. Setuju frekuensi 700 MHz itu resources yang useful, untuk 5G low band. Harus jelas metode pembagian 6.7 juta STB itu gimana.

Renzy : Bahas pertanyaan nomor 2. Jadi teringat KP, karena bahasan KP saya. Jadi mungkin saya ingin berpendapat. Point 1 dan 2 itu berkaitan. 1 itu pengusaha, 2 itu formula pemerintah. Yang paling terlihat itu pembagian spektrum frekuensi. Dari penggunaan formula, pemerintah dapat menentukan batas bawah dan atas. Seharusnya pemerintah juga tidak hanya menguntungkan pengusaha, tapi lihat pasar dan kondisinya juga.

Arif : Kalau saya setuju dengan Njik, potensinya 2 arah. Bisa merugikan pemerintah, dan bisa merugikan konsumen. Kan disini pasalnya dapat menentukan batas atas dan batas bawah. Kan sekarang ini banyak praktik korupsi, dan telekomunikasi tidak terlepas dari itu. Pengusaha dan pemerintah kongkalikong. Istilahnya yang dirugikan malah konsumen. Tapi klausa yang batas atas itu merugikan perusahaan, karena nggak break event.

Rama : Penasaran apa latar belakang di omnibus law ini kok disebut ada batas atas dan bawah? Apa karena ada perusahaan yang merugi?

Arif : Kalau kita mengacu ke BRTI, itu latar belakangnya adalah mereka melihat praktik di Indonesia Timur dan Tengah, karena harganya tinggi daripada Barat. Karena pembangunan infrastruktur lebih mahal. Padahal kalau kita lihat latar belakangnya ya make sense.

Alam : Disebutkan bahwa pemerintah dapat menentukan tarif batas atas/bawah. Biasanya tarif bawah itu perlu untuk persaingan yang sehat, mencegah monopoli. Tidak ada yang bakar uang, besar-besaran modal, dll. Kadang penting juga sih tarif bawah.

Renzy : Intinya jadi pemerintah (kominfo) harus adil biar tidak berat ke pengusaha dan juga konsumen. Jadi kalau mau jadi kominfo lebih baik kita yg laki-laki latihan dulu beristri 2 biar latihan menjadi adil

“Kesimpulan.”

Terkait topik Pembatasan Sosial Media ketika Demonstrasi dan juga kasus Pemutusan Internet di Papua, alasan di balik pembatasan tersebut adalah mencegah beredarnya hoax yang dianggap dapat memperkeruh keadaan. Seluruh peserta dalam kajian setuju bahwa hal tersebut merupakan pelanggaran yang dilakukan pemerintah dan menunjukkan sifat kekanak — kanakan pemerintah. Seharusnya pemerintah hanya memblokir konten tertentu saja yang dianggap berbahaya dan bukan keseluruhan akses Internet. Peserta juga menyatakan bahwa hal ini adalah metode lama yang digunakan sejak zaman orde lama untuk membatasi kebebasan pers. Pembatasan ini justru memberikan kesan bahwa pemerintah tidak berusaha menutupi hoax namun justru menutupi fakta di lapangan. Pembatasan ini juga dinilai tidak etis karena secara langsung menyalahi salah satu hak dari masyarakat yaitu kebebasan berkumpul dan juga kebebasan menyampaikan pendapat.

Reaksi yang seharusnya kita lakukan sebagai mahasiswa Teknik Telekomunikasi atas kejadian ini adalah menjaga idealisme kita sehingga kelak di masa depan apabila kita sudah mempunyai kuasa, kita dapat membenahi sistem yang ada. Hal lain yang dapat dilakukan adalah mengedukasi masyarakat terkait cara menyaring berita hoax. Selanjutnya kita dapat melawan “trik” pemerintah dengan menggunakan teknologi, contohnya adalah membuat jaringan LAN sendiri ketika demonstrasi atau menggunakan HT sehingga pemutusan sosial media tidak berdampak bagi para demonstran.

Kasus pemutusan internet ini dianggap bisa saja dilakukan kembali pada sektor lain seperti listrik dan juga air bersih. Internet pada era sekarang dan masa depan akan menjadi kebutuhan yang sangat esensial dan setingkat dengan listrik dan air. Jika seandainya pemerintah merasa perlu melakukan pemutusan service penting tersebut, pemutusan harus bersifat lokal dan bukan komunal. Pemerintah juga berkewajiban menyediakan layanan cadangan sebagai ganti layanan yang diputus sehingga masyarakat tidak benar — benar dilumpuhkan.

Selanjutnya pada topik Omnibus Law Telekomunikasi, diskusi diawali dengan pertanyaan “apa makna dari mahasiswa yang mendukung atau menolak UU?” dan “sudah sampai pada tahap mana perjuangan mahasiswa pada Omnibus Law ini?”. Pertanyaan pertama dijawab bahwa makna dari gerakan tersebut adalah bentuk menyatakan pendapat dan juga protes terhadap pemerintah namun segala gerakan tersebut harus mematuhi hukum yang berlaku. Pada titik ini Omnibus Law telah disahkan dan tidak ada tanda — tanda gerakan lanjutan oleh mahasiswa. Namun ada cara untuk tetap memperjuangkan gerakan penolakan ini yaitu dengan judicial review atau pengkritikan UU ke MK meskipun dokumen yang dipersiapkan sangat banyak dan melalui tahap yang panjang.

Dalam sudut pandang keteknikan telekomunikasi, Omnibus Law justru mendatangkan beberapa manfaat yaitu meningkatnya kualitas penyiaran dan juga lahan basah bagi peneliti telekomunikasi. Beberapa poin pada UU telekomunikasi dianggap sebagai langkah yang tepat mengingat Indonesia sudah tertinggal jauh dibanding negara — negara ASEAN dalam konteks Analog Switch-Off. Omnibus Law juga menghadirkan praktik ekonomi telekomunikasi yang lebih ramah konsumen akibat ditetapkannya batas tarif atas dan bawah layanan telekomunikasi. Dengan adanya peraturan ini, harga layanan telekomunikasi akan lebih berimbang dan tidak akan ada lagi ketimpangan harga layanan di Indonesia bagian tengah dan timur. Batas tarif ini juga dianggap akan menciptakan persaingan yang sehat antara penyedia layanan jasa telekomunikasi.

Notulen
18117018 ~ William Damario Lukito

--

--