Ayah Tidak Marah Saya Menjadi Yunglai Yim

A.S. Laksana

Kisah Kita (Admin)
Kisah Kita
3 min readApr 5, 2024

--

Kami pergi berempat ke sungai pada suatu hari Minggu di musim kemarau. Umur saya sepuluh tahun, paling kecil dan paling kurus di antara semuanya, dan baru sekali itu saya akan mandi di sungai. Mereka sudah sering. Setelah berjalan kaki melewati beberapa kampung, kami tiba di tempat mereka biasa mandi. Matahari tepat di atas kepala dan air sungai berwarna coklat keruh dan di tepi sebelah sana ada kakus umum, lalu kakus umum lagi, lalu kakus umum lagi. Sungai kecil ini, kami menyebutnya tanggul, menjulur ke laut berdampingan dengan banjir kanal barat. Ia melintasi deretan gang di bawahnya dan hampir di setiap mulut gang ada kakus umum dan tempat mereka mandi berada di antara dua kakus. Mereka melepas pakaian dan menyimpannya di semak-semak dan terjun ke air telanjang bulat. Saya masih ragu-ragu. “Cepat turun,” kata Sentot.

Air sungai tampak menggiurkan di bawah matahari kemarau, tetapi saya belum pernah telanjang bulat di luar rumah. Jika saya mandi tanpa melepas pakaian, saya akan pulang dengan baju dan celana basah kuyup. Semua orang di rumah akan tahu bahwa saya mandi di sungai dan ayah saya akan mengamuk. Bagaimana cara bersenang-senang seperti mereka? Ayah melarang saya mandi di sungai dan tidak memberi tahu kenapa saya tidak boleh sementara anak-anak lain tidak pernah dilarang oleh orang tua mereka. Mereka boleh melakukan apa saja dan tidak pernah disuruh-suruh. Saya dilarang apa saja dan setiap malam diuber oleh paman saya disuruh belajar.

Sentot naik ke tebing sungai dan kemudian terjun ke air sambil berteriak: “Yunglai Yiiim….!” Ia membayangkan dirinya tokoh utama film Jungle Jim — semua orang di kampung kami membunyikannya Yunglai Yim. Saya masih di tepian, memandangi mereka bersenang-senang, memandangi air yang mengalir pelan. Saya anak penakut, datang ke sungai hanya untuk melamun.

Pada saat itu, tiba-tiba saya merasakan dorongan dari belakang yang membuat saya terjun ke sungai dan menelan airnya beberapa teguk. Bambang tertawa-tawa di tepi sungai melihat saya gelagapan. Rupanya ia menyusul kami dan saya tidak melihat ia datang. Saya menanyakan kepada Sentot apakah orang bisa mati karena minum air sungai. Saya takut nanti malam saya demam tinggi dan besoknya mati.

“Aku pernah juga, tapi tidak apa-apa,” katanya.

“Tapi aku minum banyak sekali tadi,” kata saya.

“Aku juga pernah minum banyak sekali,” katanya. “Lebih banyak.”

Ia sudah berpengalaman mandi di sungai. Saya merasa lega dan tak lama setelah itu saya juga membayangkan diri sebagai Yunglai Yim, meskipun saya tidak pernah terjun dari tebing dan hanya berjalan mondar-mandir di air setinggi dada. Bambang juga terjun ke sungai dan berteriak Yunglai Yiiim. Mereka sibuk bermain, menyelam, berenang dari tepi ke tepi, membenamkan diri dan adu kuat menahan napas. Saya tetap mondar-mandir saja dan sesekali gelagapan ketika kecipak air mereka menampar wajah saya.

Ayah saya sudah pulang dari tempat kerja ketika saya tiba di rumah. Sebelumnya Bambang memberi tahu agar saya pulang malam hari setelah pakaian saya kering, tetapi itu tidak mungkin. Paman saya pasti mencari-cari jika saya tidak ada di rumah setelah magrib. Jadi saya pulang sore hari dengan pakaian masih agak basah. Jika ayah menanyakan kenapa pakaian saya basah, saya akan menjawab tadi ada yang mendorong saya ke sungai, untungnya sungai tidak sedang banjir. Ayah tidak bertanya; ia hanya menyuruh saya mandi. Saya langsung ke kamar mandi dan memperlihatkan sikap manis seusai mandi dan malam itu saya belajar tanpa disuruh-suruh.

Ternyata ia tidak marah. Apa yang membuat saya berpikir ia selalu melarang-larang saya? Mungkin karena ia brewok dan selalu terlihat seperti akan mengamuk dan saya berpikir ia pasti suka melarang. Saya keliru tentang ayah saya. Setelah itu saya beberapa kali lagi mandi di sungai, tetap hanya berjalan mondar-mandir di air, dan segera menjadi bosan.

--

--