Kamar Mandi

A.S. Laksana

Kisah Kita (Admin)
Kisah Kita
2 min readMar 13, 2024

--

Salah satu yang melekat sangat kuat di benak saya adalah ingatan tentang kamar mandi. Itu tempat yang sangat mengerikan bagi saya di masa lalu. Bak mandi kami terbuat dari drum, dan setiap kali ada kematian di daerah kami, bak mandi itu pasti dipinjam untuk memandikan jenazah. Ayah saya selalu mengizinkan.

Maka, setiap kali saya mandi, saya akan dihantui teror bahwa bak mandi ini juga digunakan untuk memandikan orang-orang mati. Kadang-kadang saya merasa air di bak mandi itu baunya aneh. Saya takut pada orang mati. Cerita-cerita yang saya dengar dari orang-orang dewasa memberi tahu bahwa orang mati bisa menjadi hantu. Film-film horor yang saya tonton juga menyampaikan hal yang sama. Di kamar mandi, saya selalu tersiksa oleh kengerian bahwa orang-orang mati itu, yang pernah dimandikan dengan bak mandi kami, akan muncul bersamaan mengepung saya.

Saya selalu tersiksa jika tiba waktu mandi, dan sering terlambat berangkat ke sekolah karena saya mandi pagi menunggu hari lebih terang, kendati hari terang pun tidak mengurangi rasa takut, sebab saya di kamar mandi sendirian. Sore hari, saya menunda-nunda mandi dan akhirnya, karena tetap harus mandi, saya biasanya mandi pada waktu senja, setelah tidak mungkin lagi menunda waktu, dan itu makin menakutkan. Senja adalah waktu munculnya hantu-hantu. Saya selalu ingin menangis setiap kali tiba waktu mandi.

Sebetulnya saya ingin berteriak, “Tidak boleh!” setiap kali ada orang datang untuk meminjam bak mandi kami; saya tahu beberapa orang lain memiliki bak mandi dari drum juga, dan mereka bisa meminjam kepada orang lain jika ayah saya dulu menolak bak mandi kami dipinjam. Tetapi ayah saya tidak pernah menolak orang meminjam apa pun yang ia punya. Ia mungkin merasa berbuat baik dengan meminjamkan bak mandinya untuk memandikan jenazah. Ia tidak tahu bahwa kebaikannya itu membuat saya terteror dua kali sehari oleh kehadiran hantu-hantu.

Sampai saya bekerja di Jakarta, saya tetap penakut, dan ketakutan terhadap hantu baru hilang ketika saya kehilangan kawan karib. Saya mengantarnya dari Bandung menuju Solo, berada di dalam ambulans sepanjang malam, menemani dia yang terbujur kaku di hadapan saya. Malam itu saya tidak takut lagi pada orang mati; saya hanya merasa sangat kehilangan.

Hubungan saya dengannya sempat renggang karena kami tidak sepakat pada satu urusan dan baru membaik lagi satu hari sebelum ia pergi. Saya meneleponnya karena ada dorongan untuk menelepon; ia sedang sakit di Bandung. Saya mendengar suaranya terbata-bata: Ia menangis malam itu di telepon. Besok siangnya ia meninggal. Saya berhasil menyingkirkan ketakutan terhadap hantu, tetapi itu harus menunggu saya kehilangan kawan karib.

--

--