Ketika Jadwal Terbang Diubah Sesuka Hati

Fifi Alfida
5 min readJun 21, 2024

--

Pagi pertama di Bandara KLIA

Suatu hari anak sulungku menelepon dengan suara yang terdengar sangat antusias, "Mama, mau pergi denganku ke Kuala Lumpur naik KLM?"

Sejenak aku melongo. Jantungku langsung berdebar lebih cepat. Tawaran yang sangat menggiurkan. Hampir sepuluh tahun aku tak ke luar negeri meski paspor tetap kuperbaharui.

"Tunggu dulu! Dapat tiketnya dari mana? Kok bisa?" cecarku penasaran. Sungguh mencurigakan: anak baru lulus kuliah, belum kerja, biaya hidup sebagian besar masih dari orang tua, kok bisa beli tiket pesawat? Bukan pesawat yang terkenal murah pula.

"Aku dapat hadiah dari Kedutaan Belanda," jawabnya kalem. Kemudian meluncurlah cerita bagaimana cara ia mendapatkan tiket gratis tersebut. Ia mengikuti lomba balap sepeda statis yang diadakan kedutaan tersebut dalam rangka memperingati hari lahir Ratu Wilhelmina. Di luar dugaan, ia jadi pemenang karena berhasil menempuh hampir 2,5 km dalam waktu 1 menit. Aku bisa membayangkan bagaimana saat itu jadi mimpi yang mewujud nyata baginya. Sewaktu SMP dan sepeda jadi kendaraan hariannya, sepeda itu ia beri nama KLM. Ia kayuh sepeda sambil membayangkan sedang terbang. Dulu pilot adalah cita-citanya, sebelum akhirnya berubah ingin jadi diplomat karena kondisi mata minusnya.

Otakku mengkalkulasi biaya, waktu, serta siapa yang akan mengurus rumah beserta tiga orang anak yang akan kutinggal. Mereka remaja mandiri, tapi nenek mereka—yang masih berpikiran seorang ibu tak boleh meninggalkan anak untuk bersenang-senang—tinggal di samping rumah. Aku sedikit cemas akan merepotkan beliau. Tapi, gegap gempita senangnya hati akan ke luar negeri berdua dengan si buah hati membuatku percaya diri: adik-adiknya pasti sanggup jaga diri.

Tanpa kusadari mungkin aku diam terlalu lama menurutnya, sehingga dia berkata "Tenang Ma, tiket bolak-balik Jakarta–KL gratis untuk dua orang. Kita hanya perlu biaya penginapan, makan, dan jalan-jalannya. Aku dapat rekomendasi penginapan murah di daerah Petaling Street. Itu tempat yang strategis. Kita bisa kunjungi tempat-tempat terkenal dengan jalan kaki saja."

Kuembuskan napas lega lalu tertawa. Masih dengan suara gembira ia minta aku tak perlu sibuk menyusun rencana perjalanan. Kali ini dia yang akan jadi guide.

***

Sehari sebelum tanggal keberangkatan, sebuah email dari maskapai berlogo kepala singa mengabarkan bahwa jam keberangkatanku diundur ke jadwal terakhir. Ini salah satu masalah tinggal di pulau kecil, aku tak punya pilihan untuk refund dan beli tiket pesawat lain. Di Belitung hanya ada empat jadwal terbang dalam sehari, dan setengahnya oleh maskapai singa. Aku geram tapi bersyukur waktunya masih cukup untuk nanti di Jakarta pindah terminal. Suamiku pernah bilang, tiga jam sebelum keberangkatan internasional harus tiba di bandara supaya tidak terburu-buru untuk check in dan tenang antri di imigrasi. Baiklah, semoga besok semuanya lancar dan tidak ada penundaan lagi.

Pukul dua siang tanggal 5 November 2023 aku keluar rumah menuju bandara. Cuaca saat itu cukup teduh dan membuat perasaanku tidak riuh. Anak-anak santai melepasku pergi. Mereka hanya sibuk minta dibawakan oleh-oleh. Nenek mereka terlihat sedikit gugup.

Perjalanan kali ini aku hanya membawa dua ransel dan keduanya masuk kabin. Aku tak bawa koper untuk menghindari waktu tunggu bagasi di terminal kedatangan. Di Bandara Soekarno Hatta nanti aku tiba di Terminal 2 dan lanjut terbang di Terminal 3.

Jam tiga siang lewat lima menit aku mulai gelisah. Pesawat terjadwal terbang pukul 15.30 WIB. Seandainya saat ini pesawat mendarat, mana mungkin dalam waktu hanya 25 menit pesawat parkir, menurunkan penumpang, mengeluarkan bagasi, menaikkan penumpang baru, memasukkan bagasi, dan segera ancang-ancang terbang. Keringat mulai terbit. Dudukku tak lagi teratur. Sebentar-sebentar menengok jam dinding dan jam tangan. Meyakinkan diri bahwa aku tak salah lihat jam.

Jam empat kurang lima belas pesawat tiba tapi aku belum bisa lega. KLM menuju Kuala Lumpur akan terbang pada pukul 19.25, sementara pukul 16.30 pesawat singa itu baru membawaku terbang menuju Jakarta. Satu jam berharga sudah hilang!

Pesawat rasanya terbang lambat sekali. Pukul 17.30 roda belum juga menyentuh landasan. Kutekan tombol untuk memanggil pramugari. Kukatakan padanya bahwa aku perlu keluar secepat mungkin agar tidak ketinggalan pesawat lanjutan. Dia hanya bilang akan bertanya pada seniornya apa yang bisa dilakukan, lalu pergi ke bagian depan pesawat dan tak kembali. Aku jengkel setengah mati. Sudahlah jadwal pesawat berubah sesuka hati, pramugarinya pun tak menepati janji.

Lenganku lalu dicolek penumpang sebelah. Kamu langsung ambil barangmu begitu pesawat berhenti dan lari ke depan, katanya. Saran itu kulakukan dengan cepat. Begitu kedua ransel terpegang, tanpa ragu kuterobos orang-orang yang berdiri di lorong untuk mengambil barang mereka atau antri ke luar sambil mengucap maaf, permisi. Aku bahkan tak sempat berterima kasih atas dukungan orang di sebelahku itu. Pramugari yang berdiri dekat pintu keluar pun tak kupandang lagi. Jantungku ikut lari-lari.

Begitu menuruni tangga aku terhenyak. Ternyata harus naik bus lagi menuju terminal kedatangan. Aku harus menunggu bus penuh dengan orang-orang yang kuterobos tadi. Gemetar, malu, serba salah, ingin menangis, sepertinya terlihat jelas dalam tindak-tandukku. Pak sopir bus berusaha menenangkan aku dengan mengucapkan, "Masih sempat, Bu. Tidak ada bagasi, kan? Langsung ke Kelayang saja."

Ketika bus sampai di terminal kedatangan, aku kembali berlari menuju pintu keluar. Mungkin akibat gelisah, kandung kemihku ikut terdesak. Mau tak mau aku harus ke toilet dulu. Konyolnya—sejak keluar bus dan mulai berlari—celana dalamku ikut bergerak. Melorot! Jujur aku bingung harus tertawa, kesal, atau berteriak marah. Di tengah segala keripuhan, kenapa si celana dalam menggerecoki dengan melorot begitu.

Syukurlah aku dapat toilet tanpa antri. Selesai buang hajat dan memperbaiki posisi si celana, kunyalakan telepon. Bertubi-tubi notif pesan dan panggilan anakku masuk. Rupanya dia sudah menunggu di pintu keluar sejak dua jam lalu!

Setengah berlari aku keluar dengan tangan kiri mencekal pinggang. Jaga-jaga agar si celana tetap di tempatnya. Ransel besar kusandang belakang, ransel kecil kusandang depan. Tangan kanan untuk menggenggam tangan si sulung agar kami bisa lari bersama menuju Stasiun Kalayang, stasiun kereta penghubung antar terminal.

Sesampainya di Terminal 3, kami bingung melihat luasnya dan minta petunjuk petugas harus check in ke mana. Untunglah tak terlalu jauh dari pintu tempat kami masuk. Sempat ketar-ketir kami melihat counter yang sepi. Tak satu pun penumpang terlihat mengantri atau sibuk menimbang bagasi, hanya ada petugas yang asyik sendiri.

"Masih boleh check in, Mas?" tanyaku hati-hati dengan suara melemah. Sudah terbayang dalam kepala betapa aku jadi penyebab lenyapnya kesempatan anakku untuk naik pesawat impiannya.

"Kenapa ngos-ngosan, Bu? Habis dari mana?" Petugas bertanya seraya menadahkan tangan tanda minta tiket.

"Pesawatku delay, Mas," sahutku sambil bergerak-gerak gelisah dan tak sabar kutanya lagi, "ini masih bisa check in, kan?"

"Masih, Bu. Batas kita satu jam sebelum keberangkatan, kok."

Seketika kegalauanku lenyap! Aku tersenyum lebar. Sulungku tertawa lega. Setelah menerima boarding pass kami cepat-cepat menuju imigrasi. Semua lancar kami lewati. Setelah duduk di ruang tunggu barulah kami tahu: jadwal pesawat diundur hingga delapan tiga puluh.

--

--

Fifi Alfida

A woman who gonna climb a hill just to see everything clearly.