Mesin Penjual Tiket di Bandara Swedia

Mirsya Mulyani
Kisah Kita
Published in
3 min readJun 28, 2024
Photo by Ono Kosuki

Saya baru saja mendarat di bandara Arlanda di Swedia, yang artinya petualangan saya di Swedia resmi dimulai. Bandara yang katanya terbesar di Swedia ini tidak terlalu mengesankan bagi saya. Saya rasa, ukurannya mungkin sebesar Bandara Juanda atau Bandara Sultan Hasanuddin Makassar. Desain interiornya pun standar bandara pada umumnya, yang menurut saya tidak memiliki ciri khas tertentu. Sederhana dan minimalis, sama seperti desain perabotan IKEA. Banyak orang duduk menunggu di gerbang keberangkatan, tidak sabar untuk menggantikan kami yang baru saja turun dari pesawat.

Saya berjalan dengan cepat karena ingin lekas meninggalkan bandara dan memulai petualangan. Beberapa toko yang menjual cendera mata berupa tempelan kulkas dan gantungan kunci bertema Swedia tidak terlalu saya hiraukan. Toko barang-barang mewah tanpa pajak pun saya lewati begitu saja karena saya sudah tidak sabar untuk melihat pusat kota Stockholm.

Hal pertama yang saya harus lakukan adalah mencari tahu bagaimana caranya untuk mencapai pusat kota yang jaraknya sejauh 37 km dari bandara. Saya sudah cukup terbiasa bepergian di Eropa sehingga dengan percaya diri saya mencari loket atau mesin tiket transportasi publik untuk mencapai pusat kota. Setelah celingak-celinguk beberapa saat, saya menemukan sebuah mesin tiket dan langsung mendatanginya.

Walaupun saya sudah terbiasa dengan sistem transportasi publik di Eropa, saya belum pernah ke Swedia, dan mesin di hadapan saya membuat saya bingung. Bahasa yang dipakai di mesin ini sudah saya ubah menjadi bahasa Inggris, namun saya tetap tidak paham apa yang harus saya lakukan. Awalnya saya mengira hanya perlu memasukkan nama tempat tujuan saya dan mesin akan memuntahkan tiket yang saya butuhkan. Ternyata tidak sesederhana itu.

Entah kenapa saya merasa saya hanya berputar-putar di situ walaupun sudah memencet berbagai macam tombol. Akhirnya, dengan malu-malu saya minta tolong orang yang sedang berada di mesin di sebelah saya. Tentu saja saya menggunakan bahasa Inggris karena saya sama sekali tidak bisa berbahasa Swedia. Menurut informasi yang saya baca, orang Skandinavia pintar berbahasa Inggris, jadi tidak perlu khawatir.

Setelah mendapatkan bantuan dari orang asing yang baik hati, akhirnya saya mendapatkan tiket tujuan Stockholm. Dengan langkah ringan saya langsung menuju pintu masuk stasiun kereta yang berada di dekat mesin tiket. Tiket dipindai oleh mesin otomatis dan saya ditolak masuk. Mungkin kodenya kurang jelas terbaca oleh mesin. Saya ubah posisi tiket, tetapi masih tetap ditolak. Saya coba berkali-kali dan masih saja ditolak. Ini apa yang salah?

“Maaf, bisa saya lihat tiketnya?” tanya seseorang yang berada di sebuah gerai di dekat pintu masuk. Saya pun menyerahkan tiket yang saya punya.

“Oh, ini tiket bus, bukan kereta. Bus berangkat di dekat Terminal 5.”

Saya mengucapkan terima kasih dan langsung berlari menuju Terminal 5. Saya sedang berada di Terminal 2 dan jam keberangkatan bus yang tertera pada tiket tinggal 2 menit lagi. Saya paling benci jika harus terburu-buru seperti ini. Prinsip saya adalah lebih baik datang terlalu cepat daripada datang terlambat. Apalagi ini pertama kalinya saya berada di Bandara Arlanda, jadi saya hanya mengandalkan papan petunjuk arah sambil berdoa agar saya tidak ketinggalan bus.

Akhirnya saya bisa keluar juga dari bandara. Saya bisa melihat bus dengan gambar pelangi di sampingnya, bus yang akan saya naiki. Dan tepat saat saya sampai di dekat pintu masuk bus, pintu bus tertutup. Saya memohon kepada mbak pemeriksa tiket yang berdiri di dekat pintu untuk membiarkan saya masuk.

“Maaf, bus ini harus segera berangkat.”

“Tapi, ini saya punya tiket untuk keberangkatan yang sekarang,” kata saya dengan memohon sambil mengacungkan tiket yang saya miliki. Tidak lupa saya memasang wajah memelas untuk menambah kesan dramatis.

“Tenang saja. Anda bisa naik bus berikutnya, tidak harus sesuai dengan tiket ini. Sepuluh menit lagi bus berikutnya akan datang,” kata mbak pemeriksa tiket dengan senyum ramah.

Saya hanya mengangguk sambil menghela napas lega, kemudian duduk di kursi tunggu sambil mengatur napas saya yang terengah-engah. Saya bersyukur tidak harus membeli tiket baru karena, jujur saja, tiketnya begitu mahal dan dana saya untuk jalan-jalan ini juga cukup terbatas.

Stockholm, 21 Agustus 2019

--

--