Sebuah pertemuan di Edinburgh

Kisah nyata yang seperti opera sabun

Mirsya Mulyani
5 min readJul 4, 2024
Photo by Louis Hansel on Unsplash

Saya memang tidak tahu namanya, dia juga tidak tahu nama saya. Namun kami telah berhasil membawakan lagu Adele yang berjudul Someone Like You dengan cukup lumayan untuk kelas amatiran seperti kami. Dia dengan permainan gitar akustiknya, dan saya dengan suara saya yang kata teman-teman saya cukup bagus. Entah mereka hanya menghibur saya atau memang sesuai dengan kenyataan. Selama sang pemain gitar tidak tampak terganggu, saya rasa suara saya cukup bisa diterima oleh telinga manusia.

Kami berdua adalah dua orang asing yang bertemu di ruang santai di sebuah hostel di Edinburgh. Saya adalah mahasiswi master di Universitas Southampton, Inggris yang sedang liburan, dan dia adalah seorang konsultan instrumen laboratorium asal Amerika Serikat yang sedang ada urusan bisnis di Belanda. Saya ke Edinburgh karena rekomendasi teman-teman kuliah dan dia ke Edinburgh karena ingin napak tilas keluarga nenek moyangnya yang berasal dari Skotlandia. Urusan kami berbeda, tetapi kami menginap di tempat yang sama.

Setelah lagu selesai, kami pun berbincang-bincang santai. Entah bagaimana awalnya, kami akhirnya membicarakan hal-hal yang sifatnya personal.

“Yah, pada akhirnya kami putus karena aku ingin punya anak sedangkan dia tidak,” katanya santai.

Dia duduk bersandar di sofa sambil memeluk gitar yang sebelumnya mengiringi nyanyian saya beberapa saat yang lalu. Kini kami tidak lagi bermain gitar atau bernyanyi, kami hanya mengobrol santai, layaknya dua orang teman yang sudah lama tidak bertemu lalu saling bertukar kabar. Walau sebenarnya, saat ini adalah pertama kalinya kami bertemu, dan bahkan saya belum tahu namanya.

“Kurasa keputusanmu tepat. Walaupun awalnya memang berat, tetapi kalau pun hubungan kalian diteruskan juga tidak akan membawa kebahagiaan, karena tujuan hidup kalian berbeda,” saya menambahkan. Dia hanya mengangguk setuju.

“Aku tidak pernah paham soal laki-laki. Kata orang, wanita adalah makhluk yang membingungkan. Padahal laki-laki juga sama membingungkannya,” kata saya sambil menguap lebar.

Duduk saya di sofa semakin merosot. Saya mulai mengantuk. Dia yang berada di seberang saya hanya tersenyum melihat tingkah laku saya. Saya sudah memutuskan untuk tidak perlu menjaga image atau apalah itu di hadapannya. Saya membayangkan jika ibu saya melihat saya, beliau akan langsung mengingatkan saya bahwa anak perempuan tidak boleh seperti itu. Dan setiap kali beliau memarahi saya sambil membawa-bawa gender, maka saya selalu akan menjawab dengan santai, “Jadi kalau laki-laki boleh? Ya sudah, kalau begitu aku jadi laki-laki saja deh.” Untuk selanjutnya, biasanya sebuah cubitan akan mendarat di paha saya. Saya sedikit merinding mengingatnya, jadi saya kembali duduk lebih tegak.

“Oh ya? Menurutmu laki-laki itu membingungkan?” Tanyanya. Wajahnya menunjukkan bahwa dia tertarik mendengarkan teori saya lebih lanjut.

Saya mengangguk dan mulai bercerita bagaimana seorang laki-laki menunjukkan semua tanda-tanda bahwa dia suka dengan saya namun ketika saya menanyakan langsung kepada laki-laki tersebut, dia bilang bahwa hubungan kita memang lebih dari dari teman tetapi dia tidak mau memiliki hubungan romantis dengan saya.

“Aku tidak paham apa maksudnya. Jadi pada akhirnya aku menganggap bahwa dia tidak menyukaiku. Namun dia bilang dia menyukaiku. Aku tidak suka digantung seperti itu. Ingin rasanya aku menonjok mukanya.” Saya jadi emosi.

“Hmm…aku rasa dia masih bingung dengan perasaannya kepadamu,” wajahnya berkerut sambil berpikir. Dia sendiri tampak bingung juga harus berkomentar apa.

Saya hanya menghela napas sambil mengedikkan bahu. Kemudian dia menambahkan, “Kamu benar, dia sangat membingungkan. Seharusnya dia bisa lebih jujur dan lebih tegas dalam mengambil sikap.”

Kami berdua masih lanjut mengobrol hingga kantuk menjadi tak tertahankan. Malam itu adalah malam terakhir kami berada di Edinburgh. Tampaknya, kami berdua tidak rela untuk kembali ke kamar hostel masing-masing karena esok hari kami harus berpisah.

Kamu pasti tahu di mana bisa menemukanku.

Beberapa saat yang lalu saya mengirimkan pesan singkat itu kepadanya. Saat ini saya sedang bermain gitar sambil bersenandung lirih di ruang santai, seperti biasa. Selama dua hari belakangan ini, jika tidak sedang bertualang sendirian di kota Edinburgh, saya akan menghabiskan sisa waktu bersama dengannya atau bermain gitar di ruang santai. Pagi ini, seperti biasa dia butuh waktu menyendirinya sebelum kami check out dari hostel. Dia harus kembali ke Amsterdam untuk kemudian terbang ke Amerika Serikat, dan kemudian saya akan melanjutkan perjalanan ke Manchester.

Pintu ruang santai dibuka. Saya sudah bisa menebak siapa yang masuk tanpa harus menoleh ke arah pintu. Ketika akhirnya orang tersebut duduk di sofa di seberang saya sambil melempar senyuman, saya tahu bahwa tebakan saya benar. Sambil sesekali menyesap kopi dari gelas kertas yang digenggamnya, dia tampak menikmati nyanyian saya yang sedang menyanyikan lagu berjudul Learn to Fly dari Foo Fighters secara ala kadarnya.

“Pilihan lagu yang menarik. Kamu siap?” Tanyanya setelah saya selesai bernyanyi. Saya mengangguk dan bangkit dari sofa kemudian meletakkan gitar di atas meja.

“Kasih aku waktu sepuluh menit untuk berkemas, nanti kita ketemu di resepsionis.”

“Oke.”

Ketika saya berjalan menuju resepsionis, dia sudah terlebih dahulu sampai dan melambaikan tangannya kepada saya. Kami akhirnya check out dan meninggalkan hostel. Saya memutuskan untuk menemaninya menuju tempat pemberhentian trem karena jadwal keberangkatan kereta saya menuju Manchester masih beberapa jam lagi. Sedangkan dia harus segera ke bandara.

Sambil berjalan santai, kami membicarakan hal-hal remeh. Seperti biasa, kami berbincang selayaknya teman dekat yang sedang reunian. Hingga akhirnya kami sampai ke tempat pemberhentian trem dan menunggu trem untuk menuju bandara. Trem berhenti di hadapan kami, dan kami pun berpelukan untuk terakhir kalinya.

Setelah kebersamaan selama dua hari yang cukup intens, akhirnya kami harus berpisah. Setelah ini, bisa jadi kami akan kembali menjadi dua orang asing yang tidak saling mengenal. Dia sendiri pernah bilang bahwa dia amat buruk dalam berkomunikasi lewat pesan singkat. Dan saya, tidak akan bersusah payah menjaga komunikasi apabila pihak yang diajak komunikasi tidak memberikan respon. Saya tidak punya cukup energi untuk itu.

I’m boarding. Have fun in Manchester!

Pesan terakhir darinya. Saya hanya mengucapkan terima kasih dan memutuskan untuk tidak lagi menghubunginya.

Semua cerita memiliki penutup. Jika ini cerita novel romantis, maka di akhir cerita saya dan dia akan bertemu lagi dan kami akan jatuh cinta. Jika ini cerita horor, maka ketika saya bertemu kembali dengan dia, salah satu dari kami adalah zombi. Sayangnya, ini adalah kisah nyata. Jadi setelah kami berpisah, itulah akhir cerita kami.

Saya percaya bahwa tidak semua orang yang hadir di hidup kita akan tetap tinggal dan selalu bersama kita untuk selamanya. Orang akan selalu datang dan pergi di hidup kita. Saya akhirnya menerima kenyataan ini ketika SMA. Ketika saya naik kelas dari kelas 11 menuju kelas 12, kepala sekolah memutuskan untuk mengacak lagi siswa masing-masing kelas. Saya yang menemukan sahabat-sahabat saya di kelas 11, merasa bahwa ini adalah tindakan yang tidak adil. Walaupun pada akhirnya saya masih bersahabat dengan mereka hingga detik ini, tetap saja perpisahan kelas saat itu menimbulkan trauma bagi saya.

Sama halnya dengan munculnya dia di dalam kehidupan saya. Ada atau tidaknya laki-laki bermata biru dan dengan tindik di ujung bibir serta tato di seluruh tubuh itu tidak mengubah keseruan liburan saya di Edinburgh. Liburan saya akan sama menyenangkannya dengan atau tanpa dia.

Namun satu hal yang saya pelajari dari pertemuan-pertemuan macam ini adalah bahwa mereka hadir untuk mengajari saya tentang sesuatu. Mereka mungkin tidak menyadarinya, tetapi selalu ada hikmah yang bisa saya ambil dari setiap pertemuan.

Di dalam perjumpaan saya dengannya, saya menemukan bahwa dua orang yang dibesarkan di dua tempat yang berbeda dengan latar belakang yang berbeda pun bisa tumbuh menjadi orang yang memiliki kegemaran yang sama. Saya merasa dia adalah semacam versi saya dalam tubuh yang lain.

Walaupun pada akhirnya orang tersebut hanya sekadar lewat, setidaknya alam semesta punya caranya sendiri untuk menunjukkan bahwa di dunia ini, tidak ada yang tidak mungkin.

Saya jadi makin tidak sabar untuk bertemu dengan orang-orang baru dengan cerita mereka yang bermacam-macam.

Southampton, Februari 2020

--

--

Mirsya Mulyani

Ilmuwan magang yang terkadang menulis tentang pengalaman merantau di Eropa. Scientist in training. An Indonesian in England.