Sepuluh Hari Karantina

Efek pandemi terhadap aturan imigrasi di Inggris

Mirsya Mulyani
4 min readJul 12, 2024
Kamar hotel selama sepuluh hari karantina ketika masuk Inggris (dokumen pribadi)

Sebuah hotel di dekat Bandara London Heathrow, September 2021

Saya mencoba untuk mengintip lewat lubang intip yang ada di pintu hotel. Seorang penjaga berjalan mondar-mandir di koridor gedung. Seorang penjaga yang lain duduk di sebuah kursi sambil membaca koran. Setiap hari selama sepuluh hari, itulah pemandangan yang saya lihat jika mengintip melalui lubang yang ada di pintu kamar.

Jika saya melihat ke luar jendela, saya bisa melihat lapangan parkir dari sebuah restoran cepat saji serta orang-orang yang keluar masuk restoran itu. Namun, saya sendiri tidak boleh keluar sebelum melewatkan sepuluh hari di dalam kamar hotel ini. Saya bukan sedang dipenjara, melainkan dikarantina.

Lonjakan penularan COVID-19 sejak pertengahan tahun 2021 membuat pemerintah Inggris mewajibkan semua orang yang datang dari negara-negara dari daftar merah penularan COVID-19 untuk karantina di hotel selama sepuluh hari. Indonesia, termasuk di dalamnya. Sayangnya, keberangkatan saya ke Inggris tidak bisa ditunda karena pemberi beasiswa memberikan ketentuan bahwa saya harus memulai studi doktoral saya paling lambat di bulan Oktober 2021.

Ketika saya sampai di bandara Heathrow, saya beserta penumpang lain yang berasal dari negara-negara dalam daftar merah digiring menuju sebuah konter yang memastikan seluruh dokumen kami lengkap, termasuk hasil negatif tes COVID-19 serta reservasi hotel untuk karantina selama sepuluh hari ke depan, sebelum kami bisa dilepasliarkan ke segala penjuru Inggris.

Setelah pengecekan dokumen oleh pihak imigrasi, kemudian kami diarahkan untuk menuju bus yang akan membawa kami menuju hotel sesuai reservasi. Saya sudah lelah sekali saat itu, selain penerbangan transit dari Surabaya menuju Amsterdam yang memakan waktu sehari semalam, masalah birokrasi di Bandara Schipol Amsterdam juga membuat saya beserta puluhan penumpang lainnya harus ketinggalan pesawat lanjutan menuju London.

Ketika saya sampai di hotel tempat saya menginap untuk sepuluh hari ke depan, bukan berarti saya bisa langsung beristirahat. Masih ada formulir yang perlu diisi serta menu makanan yang harus dipilih. Saya terlalu lelah untuk memikirkan menu makanan, maka saya memilih saja dengan acak. Biarlah menjadi kejutan ketika waktu makan tiba.

Selama beberapa hari pertama, saya sangat bahagia diperlakukan seperti ratu. Kasur empuk yang lebar, kamar mandi yang lengkap dengan bak untuk berendam, serta makanan selalu dikirim tepat waktu di pagi, siang, dan malam hari.

Menu makanan setiap hari juga beragam dan melimpah. Pagi hari pukul tujuh, beberapa kantong kertas berwarna cokelat ditinggalkan di depan pintu, kemudian pintu diketuk. Baru pertama kalinya saya merasa antusias dan tersinggung dalam waktu yang bersamaan. Antusias karena mendapatkan makanan tanpa harus meninggalkan kamar, serta tersinggung karena pegawai hotel yang memberikan makanan selalu menjauh ketika saya membuka pintu, membuat saya merasa seperti orang berpenyakitan yang tak layak bersentuhan dengan manusia lain.

Sarapan ala Inggris (English breakfast) yang berisi telur orak-arik, hash browns, tomat ceri yang dilayurkan, beserta baked beans, atau roti bagel dengan isian gurih seperti ikan salmon asap dan krim keju menjadi hidangan utama. Sebagai tambahan camilan, pisang dan apel atau jeruk, granola bar, kroisan, segelas kecil yoghurt, serta sekotak jus buah selalu hadir. Selain itu beberapa bungkus teh celup serta susu dalam cup plastik kecil juga tidak pernah ketinggalan.

Kemudian, setiap pukul satu siang dan enam sore, kantong-kantong kertas berisi makanan pun kembali dibagikan. Kali ini menunya lebih beragam, tetapi formulanya selalu sama, yaitu satu kotak protein berupa daging ayam atau ikan dengan sayur pendamping, karbohidrat berupa nasi, pasta atau kentang, serta sekotak selada. Satu kaleng minuman bersoda selalu mendampingi setiap menu makan siang dan malam.

Setelah beberapa hari mendapatkan makanan yang melimpah, saya mulai khawatir dengan kesehatan saya. Kombinasi antara banyak makan dan kurang gerak selama satu setengah minggu akan membuat berat badan saya naik. Sebenarnya olahraga diperbolehkan, tetapi harus ditemani oleh salah satu pegawai hotel dan hanya bisa di lapangan parkir saja. Saya tidak mau diawasi ketika sedang berolahraga. Lagipula di luar sudah mulai dingin, musim gugur sudah di depan mata.

Akhirnya saya memutuskan untuk berlari-lari kecil di dalam kamar. Terkadang saya juga mengikuti senam aerobik melalui video Youtube. Jika bosan, saya juga bisa menonton video konser musik dan berjingkrak-jingkrak mengikuti alunan musik metal yang saya putar lewat ponsel. Ketika sore hari, saya juga bisa berendam di bak mandi, menikmati hidup bak bangsawan.

Rutinitas seperti ini membuat saya hafal acara-acara televisi di Inggris. Setiap sarapan, saya ditemani oleh berita pagi, yang biasanya membahas politisi-politisi yang tidak saya kenal. Untuk makan siang, biasanya saya menonton video lewat Youtube saja karena acara televisi di siang hari tidak ada yang bagus. Ketika malam tiba, saya biasanya makan malam sambil menonton acara panel komedi khas Inggris, yang menampilkan beberapa pesohor dan pelawak yang duduk bersama untuk membahas fakta unik di dunia atau berita politik terbaru secara satir.

Pada hari kedua dan kedelapan saat karantina, satu paket tes COVID mandiri dibagikan. Saya harus mengambil sampel lendir dari hidung dan tenggorokan yang kemudian dikirimkan ke laboratorium. Syukurlah, semua hasil tes saya negatif. Maka, saya siap dilepasliarkan setelah habis masa karantina.

Pagi itu saya meninggalkan hotel dengan rasa riang. Hari sudah jauh lebih dingin dibandingkan sepuluh hari yang lalu. Angin berembus cukup kencang. Saya menaikkan ritsleting jaket. Saya sedang menunggu bus yang akan membawa saya kembali ke bandara. Dari bandara, saya akan naik bus menuju Leeds, kota tempat saya akan tinggal selama sekitar empat tahun untuk melanjutkan pendidikan doktoral.

--

--

Mirsya Mulyani

Ilmuwan magang yang terkadang menulis tentang pengalaman merantau di Eropa. Scientist in training. An Indonesian in England.