IN/TRES/PEKSI

Agora: Refleksi dan Hal-hal

Catatan Personal Saya untuk Merayakan Hari Gembira

Alvaryan Maulana
Kolektif Agora

--

Dokumentasi Penulis, 2020.

Dulu, bagi saya pribadi, Agora muncul dengan niat sebagai ruang untuk aktualisasi diri sesuai textbook aktivisme yang saya dapat di kampus. Tidak heran jika ada yang berpikiran bahwa ruang-ruang seperti Agora ini adalah sebuah panggung, kali, ya? “Wow gue nulis nih”, “Gue bikin diskusi nih”, atau mungkin yang lebih paripurna “Lihat nih gue bisa mikirin ginian”.

Waktu itu, dengan bekal sebagai pemain tambahan di institusi pendidikan, saya memang cukup percaya untuk berbagi sudut pandang alternatif mengenai narasi dan wacana pembangunan yang anti-status quo. Maksud saya, siapa yang tidak sebal dengan narasi pembangunan yang hegemonis dan bacaan-bacaan yang berjarak dengan realita di lapangan, yang secara tidak sadar malah melanggengkan status quo itu sendiri. Jadi, memang jujur-jujuran saja bahwa waktu itu saya merasa tercerahkan dan tahu lebih banyak, lalu merasa bertanggung jawab untuk membagikannya.

Tapi, baru jalan sebentar, alih-alih tahu banyak, saya malah mendapati diri saya lebih banyak tidak tahunya, bahkan sampai ke titik merasa overwhelmed. Muncul keragu-raguan membagikan pikiran. Takut pikiran dan pandangan saya tidak relevan, tidak kontekstual, atau, ya, terlalu naif saja.

Belakangan, saya pikir pengalaman seperti itu adalah pengalaman mandatory yang harus dilalui untuk menghancurkan ego orang-orang yang merasa tahu banyak, yang mengidap saviour complex, lalu bisa bermanfaat untuk orang banyak.

Bertemu banyak orang lewat Agora memberikan perspektif baru dan segar. Pada satu titik, saya jadi malu sendiri dengan ke-sok tahu-an yang saya yakini sebelumnya.

Satu hal yang cukup mengganggu saya waktu itu adalah mendapati banyak sekali orang-orang, inisiatif, kolektif, atau pergerakan lain yang sangat bagus dalam artian menguasai substansi, bersifat kritikal dan kontekstual, tapi tidak mendapatkan exposure yang saya kira layak untuk mereka dapatkan. Banyak di antara mereka yang upayanya itu nyata, tapi tidak terkenal, atau, ya, tidak kedengaran sama sekali.

Saya sempat berpikir keras. Apa yang salah, ya, dengan mereka, supaya jadi pelajaran dan tidak kami ulangi? Hipotesa awal saya waktu itu adalah kerumitan bahasa dan bahasan yang mereka angkat, sehingga saya mengulik strategi sukses mengomunikasikan gagasan supaya bisa diterima oleh pasar yang lebih luas.

Sampai akhirnya saya mendapati fakta bahwa mereka-mereka itu beraktivitas dan berkegiatan for the cause, not for the popularity. Cause yang diupayakan bisa jadi berbeda-beda dan sangat kontekstual terhadap siapa dan apa yang sedang dikerjakan. Tapi, kalimat for the cause and not for the popularity itu memaksakan perspektif baru kepada saya.

Di dunia hari ini ini, sulit untuk menerima logika di mana orang-orang melakukan inisiatif tertentu, yang sangat matang secara substansi, sangat menguasai bidang yang mereka ulik, tapi tidak dikenal banyak orang karena tidak mengupayakan keterkenalan tersebut. Bukankah semakin banyak orang yang kenal, maka semakin luas kesempatan diseminasi ilmu dan pengetahuannya?

Hmm… Sebenarnya pertanyaan yang lebih mendasar adalah: kok bisa-bisanya mereka melakukan aktivitas tersebut tanpa banyak diketahui orang dan tanpa merasa perlu untuk diketahui khalayak? Bukannya natural saja bagi seseorang atau kelompok yang sedang mengupayakan sesuatu, atau menguasai sebuah pembahasannya untuk menunjukan kepakarannya?

Pertanyaan ini kemudian saya temukan di kedua kawan saya. Kata Nopal waktu itu, hal yang paling terakhir ia inginkan di dunia ini adalah keterkenalan. Sementara, kalimat yang sering diulang-ulang oleh Angger: semua risalah akan menemukan pembacanya.

Agora selalu soal substansi. Seperti yang dijelaskan Angger saat Diskusir Dirgahayu kemarin, Agora adalah sesuatu yang muncul karena isinya sudah ada lebih dahulu. Jadi, menurut saya, harusnya cukup jelas bahwa Agora berusaha bertanggung jawab soal isi atau substansi yang dibicarakan. Setidaknya, di antara kami, sudah sama-sama tahu dan bersepakat koridor dan pijakan mengenai substansi di dalamnya.

Hanya saja, Agora sebagai sebuah wadah, karena saya tidak bisa pula menyebutnya sebagai sebuah organisasi, tidak hanya soal substansi saja. Ada hal-hal lain yang intangible yang harus dibicarakan dan diurusi supaya tetap berjalan. Selain soal anggota, yang pada dasarnya adalah kelompok pertemanan, ada urusan dinamika lain, yaitu sistem kerja dan business process internal,alias dapur. Bagi saya, percakapan ini yang agak panjang dan tidak pernah benar-benar final.

Di fase-fase awal berAgora, kami pernah memikirkan urusan regenerasi. Siapa yang akan kami rekrut, bagaimana cara menurunkan business process sekaligus value kepada orang-orang yang baru direkrut tersebut, dan bagaimana kemudian caranya membuat orang-orang baru tersebut punya militansi yang sama. Ada beberapa nama yang sempat nyantol dengan baik dengan Agora, tapi kemudian mundur baik-baik setelah beberapa saat dengan alasan yang cukup jelas. Ya, pada dasarnya tidak ada paksaan juga, toh.

Intinya, setelah dihadapi, memasukkan atau merekrut orang baru tidak semudah yang dikira. Salah satu alasan yang kuat, ya, karena wadah ini sifatnya voluntary, dan keterlibatan macam itu tidak akan berkelanjutan. Ada batas waktunya.

Banyak dinamika-dinamika seperti itu yang secara organisasi tidak sehat dan kalau menggunakan manual book organisasi yang konvensional hanya memiliki sebuah jawaban: udahan ajalah, alias bubar. Saya sempat berpikir: dulu, saat masih di Bandung, soal kemungkinan udahan, entah Agora-nya yang udahan atau sayanya yang udahan di Agora, meski mereka tetap terus berjalan. Pikiran saya waktu itu, kalau sudah tidak di Bandung, atau kalau sudah kerja full-time, sudah tidak bisa lagi mengurusi Agora karena, ya, tidak sempat saja.

Dulu, tidak ada pikiran bahwa Agora bisa ikut tumbuh bersama orang-orang di dalamnya, atau secara personal dengan saya sendiri.

Pilihan untuk “membesarkan diri” dan bisa menghasilkan duit selalu ada dan kesempatannya banyak sekali. Percayalah, banyak sekali. Tapi, tidak ada yang kami lakukan dengan serius. Bahkan, ada yang kami batalkan secara sepihak sebelum benar-benar dimulai. Alasannya kurang lebih sama dari waktu ke waktu: kami tidak benar-benar yakin dengan hal-hal seperti itu.

Sebenarnya, pertanyaan soal duit Agora ini bukan untuk mencari kaya, melainkan untuk bisa menghasilkan kompensasi bagi yang beraktivitas di Agora. Merawat dan beraktivitas di Agora sangat time-consuming dan labor intensive. Seandainya waktu yang sama digunakan untuk mengerjakan hal lain, tentu saja punya kemungkinan untuk mendapatkan manfaat materiel.

Mungkin, alasan itu pula yang menjadi alasan kenapa tidak pernah ada paksaan di dalam beraktivitas. Tidak pernah benar-benar ada pertanyaan soal komitmen.

Seperti yang saya bilang tadi, by the book, tentu saja sikap seperti itu tidak profesional. Tidak dimungkiri pula bahwa banyak kesempatan dan momentum yang berlalu dan hilang karena pendekatan yang seperti itu. Ikut program pendanaan dan kesempatan untuk ngisi di acara ini-itu berlalu karena hal-hal yang tidak by the book itu.

Pernah ada pula masanya publikasi telat sebulan. Tapi, ya, tidak jadi masalah. Atau setidaknya tidak dipermasalahkan.

Apakah hal seperti itu sehat? Mungkin, ada porsi tidak sehatnya. Tapi, saya kira keluwesan dan kecairan itu yang membuat wadah ini bertahan sampai sekarang. Mereka yang sempat menghilang bisa kembali lagi tanpa beban dan rasa tidak enak karena tidak pernah ada yang mempertanyakan. “Yaudah, biarin dulu aja,” kata Yang Mulia Snook. Padahal, mungkin saja banyak hal-hal yang terbengkalai karena karena terlalu cair dan fleksibel.

Seakan sudah menjadi kesepakatan tidak tertulis saja bahwa hal-hal seperti itu lebih baik tidak diperpanjang. Kalau bagi saya, ada rumusnya sendiri untuk bisa berkompromi dan selow dengan hal-hal seperti itu. Selain berusaha memaklumi, bagi saya pribadi, mau ada Agora atau tidak, saya akan tetap melakukan hal-hal yang saya lakukan di Agora. Jadi, ketika kami sedang kondusif, anggap saja itu adalah bonus. Sementara ketika lagi mandek, ya sudah, toh, saya tetap melakukan hal yang sama.

Kalau bahasa teoritisnya, saya pribadi melihat ruang ini sebagai wadah untuk mengendapkan pengetahuan. Tentu saja ada teori lain untuk menjelaskan fungsi Agora terhadap konstelasi di luar Agora. Saya juga bisa berteorema mengenai posisi Agora dalam wacana publik, dalam pengetahuan publik, dan lain sebagainya. Tapi, karena tulisan ini tulisan refleksi untuk merayakan kegembiraan internal, saya kira justru akan lebih relevan untuk berbicara soal dapur.

Dalam kasus saya pribadi, Agora tidak banyak membantu saya dalam mencari pekerjaan. Nyaris tidak ada yang benar-benar tahu aktivitas saya dan siapa saya di luar kantor. Tapi, Agora membantu saya sekali dalam bekerja. Meski Agora tidak dikenal dalam lingkungan pekerjaan, saya di lingkungan pekerjaan Saya adalah diri saya yang dibentuk dan dicetak oleh Agora dan orang-orang yang saya temui selama ber-Agora. Bisa dibilang, keuntungan saya dalam kehidupan profesional saya terbantu sekali dengan menjadi “produk” dari Agora.

Tentu saja hal ini juga bekerja dengan cara sebaliknya. Bekerja sekaligus “magang” di Agora juga memberikan banyak insight yang sangat menarik dan mempertajam analisis saya dalam memikirkan konten untuk Agora. Selain dapat banyak info orang dalam, bersinggungan dengan the real shit setiap hari membuat pandangan saya semakin membumi dan tidak lagi naif dalam menjadi Agora. Mempertajam dan enhancing my thought, begitulah. Jadi, bisa dibilang, Agora dan karir saya saling komplementer.

Lalu, ada manfaat yang sebenarnya paling mendasar bagi saya: sebagai sanity pill. Saya tidak kehilangan identitas, tidak kehilangan jati diri dan stance saya karena mengerjakan hal-hal yang (redacted). Saya punya Agora untuk membasuh nurani saya, kalau boleh sedikit picisan.

Refleksi tentu saja tidak lengkap tanpa melihat ke dalam. Mungkin, saya bisa menjelaskan cause yang diupayakan Agora. Bisa pula berargumen soal urgensi dari hal-hal yang dilakukan Agora dan memposisikan diri dalam konstelasi yang lebih besar. Dan bisa pula segala hal tersebut tidak valid.

Tapi, kalau sudah urusan pemaknaan pribadi, mau se-random dan serancu apapun, tetap saja valid. Misalnya, kalau ditanya kepada diri sendiri alasan melakukan ini. Saya tidak tahu persis. Tapi, saya merasa menjalankan sesuatu seperti Agora ini mengembalikan almarhum bapak saya ke dalam hidup saya.

Saya tidak tahu persis, tapi mungkin ini bentuk terbaik yang bisa saya tiru dari bapak saya, yang sedikit demi sedikit, perlahan tapi pasti, mengumpulkan kepingan-kepingan untuk membangun rumah gadangnya. Orang-orang hanya lihat proses pembangunan rumah gadangnya itu selama dua tahun. Tapi, saya tahu persis bahwa penggalan pertama membangun rumah gadang itu sudah diarsipkan dengan baik oleh bapak saya sejak usia mudanya di Arsitektur Hijau.

It took 25 years for him to build a Rumah Gadang. Mengumpulkan data rumah gadang yang terbengkalai, mengukur, mendokumentasikan, mewawancarai dan kemudian mengarsipkannya dengan sangat baik, jauh sebelum percakapan soal rumah gadang hadir di gelanggang. Bapak saya tetap saja fokus mengumpulkan dan mengarsipkan catatan soal rumah gadang, kemudian membukukannya, jauh sebelum percakapan soal membangun rumah gadang itu hadir. Begitu ada orang yang menawarkan biaya untuk membangun, bapak saya sudah tahu cara membangun rumah gadang dan sudah mengumpulkan semua bahan untuk membangun.

Jelas saya tidak akan membangun rumah gadang, juga sebenarnya saya tidak tahu pasti apa yang akan saya bangun kelak. Tapi, setidaknya, saya mengendapkan kemudian mencatat baik-baik apa yang saya hadapi sekarang. Saya menyerap semua yang memodali saya untuk entah apa di kemudian hari.

Makanya, saya berani bilang, pun tidak ada Agora, saya akan tetap melakukannya. Membaca, mencatat, menulis, dan berdiskusi. Kebetulan sekarang sudah ada bentuk yang cukup formal seperti Agora, kenapa tidak sekalian, kan?

Jadi, tidak salah ketika Angger bilang bahwa Agora bukan part-time dan bukan full-time. Saya mengamini bahwa ber-Agora adalah lifetime activity.

--

--