Fitur/Kolega

Anti Lelah Demi Kota Tak Bersampah

Belajar Optimis dari YPBB Bandung

Seruni Fauzia Lestari
Kolektif Agora

--

Foto oleh Shafiera Syumais (Bandung, 2018)

Suatu fenomena belakangan ini yang membuat saya berpikir (dan mungkin curiga) adalah munculnya minat masyarakat Bandung pada pola hidup sehat. Contohnya adalah perkembangan gerakan, bahkan toko dan resto organik dengan berbagai macam produk-produk zero waste dan organik (meski sayangnya banyak di antara produknya berbalut plastik). Melihat dari upaya berjualan yang menampakkan kesan kekinian, asik, fresh, maupun dari harga yang dilayangkan kepada konsumen, saya rasa target yang hendak diraih adalah masyarakat Kota Bandung kelas menengah dan berada pada awal-awal usia produktif. Selain pola hidup sehat, mulai terungkap juga gerakan pola hidup lain yang selama ini tampak dilupakan oleh masyarakat Kota Bandung, yakni pola hidup zero waste atau bebas sampah.

Perlu diakui memang ini usaha yang telah lama dilakukan, baik di luar maupun di dalam negeri, yang tentunya berkaitan dengan terkenalnya Indonesia dan beberapa kota ternama akan menumpuknya timbulan sampah yang dihasilkan dan alhasil terdegradasinya sungai-sungai yang ironisnya menjadi sumber kehidupan masyarakat. Bahkan mungkin dapat diingat salah satu fenomena yang mengguncang masyarakat Bandung dan menyadarkan seberapa parah kondisi persampahan di Kota Bandung ini adalah terjadinya ledakan dan longsor sampah di TPA Leuwigajah akibat timbulan gas-gas yang terdapat pada sampah-sampah anorganik yang menumpuk, kemudian menghantam dua permukiman terdekat dan menewaskan 157 orang.

Wujud dari munculnya kesadaran masyarakat Bandung akan hal ini tercermin dari (pernah adanya) implementasi kebijakan (extra) charge untuk setiap pembelian di swalayan dengan kantong plastik, munculnya berbagai kampanye di media sosial untuk mengurangi timbulan sampah yang dihasilkan, dan, yang lebih hits lagi, penjualan berbagai macam produk dengan iming-iming gaya hidup zero waste.

Lantas muncul pertanyaan, sebetulnya apa yang dimaksud dengan gaya hidup “baru” ini dan apa signifikansinya setelah kita mensubstitusikan produk-produk sehari-hari dengan produk-produk alternatif yang katanya organik ataupun lebih bersifat zero waste? Apakah terminologi gaya hidup tersebut betul-betul dipahami oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari? Ataukah hal tersebut merupakan jargon marketing yang layaknya iklan, seakan nirmakna — mudah diingat dan mudah pula untuk dilupakan?

Menyasar ke Bawah

Mendorong gaya hidup zero waste dan pola hidup sehat ini memang tidak mudah. Karena, pada dasarnya, masyarakat pun harus paham mengapa pola itu ada dan bagaimana pola itu menjadi suatu kebiasaan yang dapat dijalani sehari-hari. Pada konteks ini, esensi dari pembelian produk-produk yang mendukung gaya hidup zero waste juga harus dipahami.

Diinisiasi di Bandung pada tahun 1993, Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi atau YPBB didirikan oleh David Sutasurya dan beberapa orang temannya yang bermula dari kegundahannya akan kondisi lingkungan secara umum di Kota Bandung. Seiring berjalannya waktu dan semakin menumpuknya sampah anorganik di Kota Bandung, kejadian meledaknya TPA Leuwigajah pada tahun 2005 menjadi titik awal gencarnya kampanye gaya hidup zero waste di — katanya — kota bebas sampah ini.

Untuk menggali lebih lanjut mengenai peran YPBB, Kolektif Agora berkunjung ke kantor YPBB yang berlokasi di Jalan Rereong Barong 30, Kelurahan Sukaluyu, Kecamatan Cibeunying Kaler, dan bertemu dengan Teh Iwut (Humas YPBB) dan Ibu Mely, project manager untuk program Zero Waste Cities.

Pertama kali ke kantor YPBB, kami melihat berbagai gerobak unik di depan kantor dengan dinding besi berbagai macam ukuran. Ternyata, ini merupakan bio-digester yang telah dirancang spesifik untuk mendaur ulang limbah organik. Di YPBB pun ada toko organik yang menjual produk-produk dengan ukuran besar agar tidak sekali pakai, juga sedotan stainless steel dan alat makan reusable. Menurut Teh Iwut, toko tersebut diharapkan menjadi sarana agar masyarakat dapat melakukan refill atau melakukan stok kembali kebutuhan sehari-harinya, seperti minyak dan sabun cuci, dengan mendorong pembelian ukuran eceran dibandingkan pembelian produk-produk berkemasan sekali pakai. Dengan demikian, hal tersebut dapat mengurangi timbulan sampah yang dihasilkan, mengingat besarnya kontribusi timbulan sampah produk sachet, dan berkontribusi untuk mewujudkan visi gaya hidup zero waste.

Lalu, sesungguhnya bagaimana pandangan YPBB terkait gaya hidup masyarakat Bandung saat ini dan bagaimana seharusnya gaya hidup zero waste ini dilakukan?

Menurut Teh Iwut, kampanye YPBB terkait gaya hidup zero waste merupakan upaya “menyasar ke bawah” untuk merubah pola pikir dan gaya hidup menjadi lebih berkelanjutan. Agar masyarakat dapat paham esensi ide besar mengenai hidup berkelanjutan, langkah utama yang erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat berkaitan dengan pembuangan sampah, yakni dengan meminimalkan sampah yang ditimbulkan setiap individu. Hal ini muncul karena adanya paradigma di kalangan masyarakat bahwa timbulan sampah yang dihasilkan tidak terlampau penting untuk diperhatikan asalkan rumah kita bersih. Padahal, perlu diketahui pula bahwa sampah yang kita hasilkan memberikan dampak yang negatif di hilir proses pembuangan sampah. Maka dari itu, YPBB menganggap pengurangan sampah di awal proses pembuangan serta pengelolaan dan pengolahan kembali sampah dengan metode yang tepat menjadi sangat penting.

Foto oleh Shafiera Syumais (Bandung, 2018)

Selain itu, Ibu Mely memperkenalkan pada kami adanya program utama YPBB yaitu program Zero Waste Cities. Ditemani sepiring ubi cilembu sebagai pelengkap diskusi, Bu Mely memaparkan secara singkat mengenai penanganan sampah yang berkelanjutan merupakan upaya yang dapat dilakukan untuk melindungi sungai-sungai yang mengalir di dan sekitar Kota Bandung dari kebocoran sampah plastik di perairan. Tantangan yang dihadapi adalah penanganan sampah permukiman yang saat ini belum berwawasan lingkungan. Di lain sisi, justru sampah permukimanlah yang menjadi kontributor sampah perkotaan terbesar.

Untuk program Zero Waste Cities ini, YPBB bekerjasama dengan Mother Earth Foundation, lembaga penelitian nirlaba yang berupaya mewujudkan pengelolaan sampah berkelanjutan dengan prinsip Sustainable Solid Waste Management di Filipina, pada proyek Asia Pacific Action Against Plastic Pollution: Reducing Land-Based Leakage of Plastic Waste in Philippines and Indonesia through Zero Waste Systems and Product Design. Bekerjasama juga dengan organisasi-organisasi dunia seperti GAIA (Global Alliance for Incinerator Alternatives) dan Thanal (India), program Zero Waste Cities dilakukan selama 2 tahun di Kota Bandung (saat ini 1 kelurahan dan 2 kecamatan), Kabupaten Bandung (5 desa), dan seluruh Kota Cimahi. Pada akhirnya, program ini bertujuan untuk mengurangi polusi sampah ke sungai dan laut dengan memperbaiki sistem pengumpulan dan daur ulang sampah sehingga volume sampah yang dikirim ke TPA dapat berkurang secara signifikan (sekitar 70%).

Lebih dalam Mengenai Zero Waste Cities

Ulasan ringkas tujuan penerapan dan output program Zero Waste Cities adalah sebagai berikut.

Tujuan penerapan sistem pengelolaan sampah berkelanjutan:

  1. Membuat suatu model pengelolaan sampah yang mempunyai sistem pengelolaan sampah terpadu dan terdesentralisasi.
  2. Masyarakat mempunyai paradigm yang tepat tentang prinsip-prinsip pengelolaan sampah yang sesuai dengan UU 18/2008.
  3. Pengembangan model peran kewilayahan dalam pengelolaan sampah.
  4. Masyarakat memahami dan menerapkan berbagai metode pengelolaan sampah yang sesuai dengan kondisi kawasannya.

Luaran penerapan pengelolaan sampah berkelanjutan:

  1. Pengurangan jumlah produksi sampah yang diangkut ke TPS/TPA
  2. Ada sistem pengelolaan sampah yang terdesentralisasi baik melalui pemisahan sampah dari sumber dan metode pengomposan yang sesuai dengan kondisi wilayah.
  3. Ada sistem pendukung pengelolaan sampah yang menyeluruh, seperti:

a. Pihak atau lembaga pengelola yang jelas,

b. Aturan lokal yang didukung oleh aparat kewilayahan Pemerintah Kota/Kabupaten,

c. Pembiayaan yang berkelanjutan

4. Meningkatnya partisipasi warga dalam mengelola sampah baik skala rumah tinggal dan komunal

Membina Setiap Simpul Rantai Pengelolaan

Salah satu kelurahan binaan YPBB, RW 9 Sukaluyu, menjadi pionir untuk pengelolaan sampah komunal di Bandung dan sekitarnya. Di RW ini, sudah dilakukan berbagai pendekatan dan evaluasi terkait pengelolaan sampah berkelanjutan.

Kegiatan yang dilakukan oleh YPBB untuk mewujudkan pengelolaan sampah berkelanjutan ini meliputi tahapan-tahapan yang telah dikembangkan di Filipina oleh MEF dan disesuaikan dengan kondisi di masyarakat Kota Bandung. Kegiatan dimulai dengan riset dan profiling kondisi masyarakat setempat melalui analisis data primer dan sekunder. Hal ini dianggap penting oleh YPBB untuk mengetahui lebih dalam karakteristik pengelolaan sampah yang dilakukan masyarakat setempat saat ini, bagaimana kelembagaan yang berjalan, kemudian mengadaptasi pendekatan yang akan dilakukan dengan ciri khas RW setempat untuk mempermudah asimilasi gaya hidup zero waste.

Sosialisasi kemudian dilakukan di tingkat RW. YPBB mengakui akan pentingnya kesepakatan atau konsensus dari RW setempat untuk menjalankan program ini. Maka dari itu, YPBB kemudian menyerahkan pada pihak RW untuk menentukan. Jika diterima, maka program ini dilanjutkan dengan melakukan pemetaan petugas kebersihan dan melakukan sosialisasi kepada petugas kebersihan. Di sini, setiap simpul orang yang terlibat dalam rantai penanganan sampah dianggap penting untuk di-briefing, karena terdapat paradigma penduduk yang beranggapan “Buat apa saya pilah sampahnya ketika nanti petugas kebersihannya akan mencampurkan kembali?”

Setelah semua orang yang berkepentingan di tingkat RW sudah di-briefing, tahap selanjutnya adalah door-to-door collection sampah yang didampingi oleh teman-teman YPBB. Menurut Bu Mely, sampah yang diangkut menggunakan angkutan sampah dan diolah menggunakan bio-digester dan kompos yang sudah dibuat oleh YPBB dengan rancangan khusus (ternyata ini yang ada di garasi YPBB pada saat kami berkunjung). Proses tersebut dipantau progresnya oleh YPBB selama tiga minggu untuk dilihat konsistensi masyarakat dan hasil timbulan sampah yang dihasilkan.

Signifikansi Upaya Akar Rumput

Program ini pun tentu masih banyak kendalanya.

Nothing easy is worth having and nothing worth having comes easy. Right?

Ketika saya layangkan pertanyaan mengenai kendala yang ditemui pada implementasi program ini, baik Teh Iwut maupun Bu Mely menanggapi dengan tawaan ringan, “Ya pasti ada.”

Temuan unik yang terungkap oleh YPBB pada saat melakukan sosialisasi dan pengumpulan sampah dari pintu ke pintu adalah adanya indikasi keberterimaan yang lebih baik dari masyarakat menengah ke bawah dibandingkan masyarakat menengah ke atas. Bahkan, teman-teman YPBB pun mengalami kesulitan untuk bertemu dengan para pemilik rumah masyarakat menengah ke atas tersebut. Sebaliknya, keberterimaan masyarakat menengah kebawah justru lebih baik dan kooperatif saat diajak untuk mengelola sampah secara komunal dengan memanfaatkan lahan RW yang mereka miliki. Namun, sayangnya, keberhasilan dari pendekatan ini pun masih belum cukup.

Advokasi di ranah pemerintah kota/kabupaten dapat menjadi katalis yang besar untuk mengubah paradigma masyarakat dalam menjalani kesehariannya. Adanya pengaturan mengenai pengelolaan persampahan yang ramah lingkungan yang didukung oleh pemerintah daerah setempat, sebagaimana sudah berjalan di Kota Cimahi, mampu mempermudah keberterimaan masyarakat untuk menjalankan hidup zero waste.

Oleh karena itu, khususnya di Kota Bandung, YPBB pun kini telah tergabung di dalam Forum Bandung Juara Bebas Sampah bersama pemerintah kota, SKPD, dan NGO terkait untuk mewujudkan Perda sebagai landasan masyarakat mau menerapkan gaya hidup zero waste, khususnya terkait persampahan. Meski terbukti dengan adanya progres dan dukungan pemerintah yang lebih signifikan pada era Ridwan Kamil, Kota Bandung sampai saat ini masih belum memiliki peraturan walikota terkait teknis dan penstandaran pemilahan sampah.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Sebagai kaum yang membeli mie dan kopi instan berkemasan, jajanan dengan berlapis-lapis plastik, dan membeli produk kosmetik dan alat mandi yang sekali pakai, sebetulnya hal-hal apa yang bisa kita lakukan?

Ibu Mely dan Teh Iwut sepakat akan pentingnya pengenalan gaya hidup zero waste yang perlahan, termasuk menanamkan pemahaman dan implementasi di kehidupan sehari-hari. Mulanya, yang bisa dilakukan secara individu adalah dengan melakukan pemilahan di setiap rumah. Bagi limbah domestik seperti jarum, beling, barang tajam lainnya, maupun sampah nonhigienis seperti pembalut bisa dibuang dengan diberi keterangan pada wadah sampahnya. Perlahan kita bisa melakukan kompos sendiri, bahkan mengurangi sampah yang kita hasilkan dengan menggunakan produk-produk yang tidak sekali pakai. Menurut Bu Mely, tindakan-tindakan ini memang seharusnya dibiasakan dulu sehingga ketergantungan kita akan produk-produk tidak ramah lingkungan seperti plastik dapat berkurang.

Kembali lagi ke kegundahan saya pada awal tulisan ini, apakah gaya hidup zero waste ini signifikan untuk mengubah paradigma masyarakat dan mengurangi timbulan sampah perkotaan?

Menurut saya pribadi, saya cukup yakin YPBB sebagai suatu organisasi yang berupaya berbaur dengan masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat setempat berpotensi tidak hanya dapat perlahan mengubah paradigma terkait penanganan sampah setempat, melalui upaya bottom-up maupun top-down, namun meningkatkan kesadaran bahwa sampah yang dihasilkan setiap individu memiliki dampak di hilir yang lebih dari sekadar timbulan sampah yang meningkat. Saya salut dengan misi YPBB untuk meningkatkan derajat para petugas kebersihan yang selama ini dipandang dan dibayar sebelah mata. Hanya saja, saya pun yakin bahwa gerakan ini juga harus didukung dengan kepemimpinan yang mumpuni pada setiap level pemerintahan yang disertai dengan regenerasi yang lebih mumpuni lagi kedepannya.

Minggu, 19 Agustus 2018
#optimis

Seruni Fauzia Lestari
Penulis, Kolektif Agora
seruni.fauzia@gmail.com

--

--

Seruni Fauzia Lestari
Kolektif Agora

Not sure if I’m interested in politics or just conspiracy theories and drama.