Esai / Gerak

Apakah Jalan Satu Arah Menyelesaikan Masalah?

Meski terasa mengurangi kemacetan di jalan yang direkayasa, nyatanya kebijakan ini juga berdampak pada keseluruhan sistem jalan — serta “membunuh” aktivitas yang tidak kita pikirkan sebelumnya.

Nefertari Pramudhita
Kolektif Agora

--

Foto oleh Sangkara Nararya, 2019.

Warga Kota Bandung mungkin sudah tidak asing dengan rekayasa jalan yang terjadi di beberapa jalan utama: Jalan Sukajadi menjadi satu arah ke utara dan Jalan Cipaganti menjadi satu arah ke selatan. Bagi yang tidak familiar dengan rekayasa lalu lintas tersebut, kalian bisa menyimaknya di sini.

Digadang menyelesaikan kemacetan yang menahun, sesungguhnya saya adalah salah satu dari mereka yang menyangsikan keampuhan strategi ini dalam menyelesaikan kemacetan. Akan tetapi, sebagai orang yang cukup jarang ke PVJ, perjalanan kemarin dari rumah ke pusat perbelanjaan tersebut terasa bagaikan mimpi: cepat sekali!

Macet akibat antrean masuk parkir tidak lagi mengganggu aliran lalu lintas, karena Jalan Sukajadi sekarang menjadi satu arah. Keberhasilan rekayasa ini dalam mengurai kemacetan juga membawa segudang manfaat turunannya seperti penurunan waktu tempuh dan pengurangan emisi karbon.

Rekayasa ini awalnya disosialisasikan dengan sifat sementara. Akan tetapi, setelah satu minggu masa percobaan, rekayasa ini kemudian menjadi permanen. Terkesan tergesa memang. Namun, jika memang untuk kebaikan bersama, kenapa tidak? Toh, rekayasa ini benar mengurai kemacetan yang kita sama-sama benci itu.

Apa itu Macet?

Ide dari rekayasa jalan ini sangat mudah: memperluas jalan. Bagaimanapun juga, kemacetan adalah fungsi dari volume yang meningkat dibanding dengan kapasitas jalan yang segitu-gitu aja.

Sebuah penjelasan sederhana tentang apa itu macet adalah: ketika volume kendaraan yang berada di jalan sama dengan atau melebihi kapasitas jalan yang ada. Ketika ada lebih banyak kendaraan daripada jumlah yang dapat ditampung oleh jalan, maka tentu akan terjadi macet. Namun, kapasitas jalan ini juga perlu dikalibrasi dengan hambatan samping seperti kendaraan yang berjalan lambat, parkir on street, PKL, pejalan kaki, atau pesepeda. Harap diingat, jalan yang kita maksud adalah untuk kendaraan dan kendaraan saja, ya.

Dengan rekayasa yang dilakukan, Jalan Sukajadi yang asalnya hanya dua lajur ke utara, sekarang menjadi 4 lajur (bahkan 8 lajur, di beberapa ruas). Ya, dari sebelumnya jalan dua arah tanpa sekat, sekarang menjadi satu arah empat lajur tanpa sekat. Kenaikan yang begitu dramatis terjadi pada kapasitas jalan ini. Rekayasa ini praktis “menambah” lebar jalan, tanpa adanya penambahan fisik.

Dalam perencanaan transportasi, terdapat sebuah model klasik untuk mengamati lalu lintas yang disebut four-step model. Dalam model ini, rekayasa lalu lintas yang dilakukan di Bandung merupakan bagian dari step keempat, yakni traffic assignment.

Traditional Four Step Model, adaptasi dari Button, 1977 (Sumber: Evans, 2019)

Menurut kepala dinas, rekayasa jalan ini dilakukan untuk mengurai kemacetan di Jalan Sukajadi dan Jalan Setiabudi. Berdasarkan indikator kemacetan sebelumnya yang sudah kita bahas, rekayasa ini dapat kita katakan berhasil. Rekayasa jalan ini menaikkan kecepatan rata-rata dari 10 km/jam menjadi 40 km/jam — sebuah kenaikan yang sangat signifikan.

Lebih Cepat, Lebih Baik?

Peningkatan kecepatan dan banyak manfaat turunannya terdengar terlalu baik untuk menjadi nyata. Karena, memang demikian adanya. Terdapat beberapa alasan yang membuat rekayasa jalan ini terlihat berhasil, namun di saat yang sama menyimpan banyak potensi kesalahan pengambilan keputusan dan meninggalkan banyak permasalahan yang kurang didiskusikan: mulai dari dampak ekonomi hingga dampaknya pada aliran lalu lintas di tempat lain.

Mengutip Gilderbloom dan Hanka (2011): “Oppressive four-lane downtown one-way streets help kill neighborhoods and small businesses.”

Semua pembahasan tentang macet sebelumnya menjadikan jalanan seakan hanya milik kendaraan semata. Memang, jalan searah terbukti dapat meningkatkan kualitas aliran lalu lintas. Namun hal ini tidak serta-merta diartikan sebagai peningkatan ekonomi. Seperti yang disampaikan oleh Riggs (2016), konversi satu arah dapat memengaruhi lalu lintas secara positif, tetapi tidak selalu menghasilkan penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi. Untuk alasan ini, banyak kota di dunia sudah mulai mengembalikan jalan searahnya menjadi kembali dua arah untuk menjadikannya lebih ramah bagi penduduknya.

Pasalnya, jalan dua arah relatif memiliki karakteristik yang lebih ramah bagi pejalan kaki juga bisnis kecil yang berada diantaranya. Menurut Speck (2012) “perbaikan” jalan raya yang memfasilitasi lalu lintas mobil seperti jalur yang lebih lebar atau jalan satu arah, dapat mendorong pengguna kendaraan bermotor untuk menaikkan kecepatan kendaraan. Padahal, kecepatan yang meningkat menurunkan keamanan bagi pejalan kaki.

Bagi bisnis kecil, pejalan kaki merupakan target konsumen utama mereka. Selain memberikan keamanan pada konsumen, jalan dua arah memberikan kenyamanan bagi bisnis kecil dengan membuatnya lebih mudah terlihat. Para pejalan kaki pun tidak perlu bingung bernavigasi karena angkutan kota untuk mereka kembali berada diseberang jalan, secara harfiah. Para pengendara pun lebih mudah untuk berhenti dan memarkirkan kendaraannya pada jalan dua arah untuk kemudian berbelanja. Sayangnya, semua kenyamanan ini hilang ketika jalan ini menjadi satu arah.

Tidak hanya berdampak pada bisnis kecil dan pejalan kaki, jalan searah ini juga mengacaukan konfigurasi angkutan kota. Semenjak rekayasa lalu lintas ini diterapkan, terdapat sebelas angkutan kota yang saat ini bahkan tidak dapat melakukan perjalanan sesuai trayeknya. Supir angkot sempat melakukan penolakan karena ketidakjelasan rute yang terdampak. Perubahan rute bahkan belum dibahas ketika keputusan untuk membuat rekayasa ini menjadi permanen!

Tapi, mungkin semua obrolan tentang bisnis kecil ini kurang relevan untuk diberlakukan pada Jalan Sukajadi. Terlepas dari ramainya pertokoan di pinggir jalan, Jalan Sukajadi memiliki kelas jalan kolektor primer. Jalan ini memiliki kapasitas yang sama atau lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata. Parkir pada badan jalan dengan kelas kolektor primer sangat dibatasi dan seharusnya tidak diizinkan pada jam sibuk untuk menghindari gangguan pada arus lalu lintas.

Jika tidak menguntungkan bagi pejalan kaki, setidaknya menguntungkan bagi pengendara kendaraan bermotor, kan?

Berputar-putar

Foto oleh Asdiansyah Erya di Unsplash, 2019.

Tidak hanya melukai pejalan kaki, sesungguhnya perubahan ini juga melukai pengendara kendaraan bermotor — pihak yang seharusnya diuntungkan. Seperti yang kita tahu, jalan adalah sebuah jaringan yang saling terkait satu dan lainnya. Tentu kita tidak dapat menilai sebuah keberhasilan sebuah intervensi hanya dengan melihat perbaikan pada titik di mana intervensi dilakukan. Berkebalikan dengan kejadian di jalan yang menjadi target utama kebijakan ini, beberapa titik lain malah dilaporkan untuk mengalami penumpukan kendaraan lebih besar dari sebelumnya.

Mengingat four-step model yang sebelumnya kita bahas, karena rekayasa yang dilakukan hanya berada pada ranah traffic assignment, berarti hal ini sama sekali tidak menyentuh tentang bangkitan dan tarikan dari tempat-tempat yang diinginkan. Ya, rekayasa jalan ini tidak membuat orang punya tempat kerja baru atau mall favorit baru — dia hanya memaksa orang untuk lewat jalan baru. Kalau ketiga ruas jalan yang direkayasa tidak macet, mungkin di ruas jalan yang lain akan macet. Perubahan jalan menjadi satu arah berarti mengalihkan volume kendaraan dari arah lainnya ke suatu tempat lain. Kalau volumenya tidak berkurang, berarti mungkin, ia hanya berpindah saja.

Hal ini membawa kita pada permasalahan selanjutnya: lebih lama di jalan. Sebuah “bawaan” dari jalan searah adalah kita menjadi lebih lama mengokupasi jalanan. Jalan satu arah memaksa kita untuk berputar, menjadi lebih jauh. Semakin lama kita di kendaraan, berarti semakin lama pula kita mengokupasi jalan, kan? Ya, memang kita bergerak dengan lebih cepat, tapi apalah artinya jika panjang perjalanan membuat kita menghabiskan waktu yang sama?

Untuk membuktikan hal ini, saya berusaha membuat perbandingan panjang perjalanan sebelum dan setelah terjadi rekayasa dari dan ke beberapa landmark di Kota Bandung.

Perubahan panjang perjalanan minimal berdasarkan model (Sumber: Ilustrasi Penulis, 2019)

Tabel di atas merupakan tabel selisih antara panjang perjalanan sebelum dan sesudah rekayasa jalan dilakukan. Warna pada sel mengindikasikan perubahan: merah untuk peningkatan jarak tempuh dan hijau untuk pengurangan jarak tempuh. Landmark pada tabel di atas disusun dari yang paling utara ke yang paling selatan. Melalui tabel tersebut, dapat terlihat bahwa jarak tempuh dari utara ke selatan mengalami penurunan signifikan. Salah satu yang paling terlihat adalah perjalanan dari dan menuju PVJ secara berturut-turut sebesar 4,1 km dan 4,9 km. Karena alasan ini, PVJ patut merasa dirugikan. Sedangkan, di sisi lain, perjalanan yang berasal dari Borma Setiabudi mengalami penurunan untuk total sebesar 3,5 km.

Dengan meningkatnya panjang perjalanan, tentunya hal ini berdampak pada peningkatan waktu perjalanan, maka kita juga semakin juga lama berada di kendaraan. Jadi, walaupun jalan searah akhirnya berhasil mengurai kemacetan yang terjadi di beberapa simpul, hal ini tidak serta-merta membuat kita lebih mudah berjalan di kota.

Tidak dapat kita pungkiri kebijakan ini telah berhasil meningkatkan kecepatan dan menghilangkan kemacetan. Tapi, apakah menjadi tidak macet adalah tujuan utama?

ReferensiEvans, Rick & Burke, Matthew & Dodson, Jago. (2019). Clothing the Emperor?: Transport modelling and decision-making in Australian cities.Button, K. J. (1977) The economics of urban transport, (Farnborough: Saxon House).Speck, Jeff (2012). Walkable City: How Downtown Can Save America, One Step at a TimeGilderbloom, J. I., Hanka, M. J., & Plotnik, K. (2011). Why two-way streets are better than one-way streets.Riggs, William & Appleyard, Bruce. (2016). The Economic Impact of One to Two-way Street Conversions: Advancing a Context Sensitive Framework.Riggs, W., & Gilderbloom, J. (2015). Two-Way Street Conversion:  Evidence of Increased Livability in Louisville

--

--

Nefertari Pramudhita
Kolektif Agora

Mainly interested in the city and the choices people make in it