Editorial

Apakah Masa Depan Kota Kita Adalah Sebuah Penjara?

Mengingat kembali kemungkinan dari kamera pengintai, pengeras suara, dan panoptisisme urban.

Naufal R. Indriansyah
Kolektif Agora

--

CCTV lalu lintas di kawasan Ahmad Yani, Kota Bandung. Foto oleh Sangkara Nararya, 2018.

Saat ini, selain berbagai rencana transportasi publik yang canggih dan penerapan aplikasi e-government, mulai terdapat banyak kamera pengintai (CCTV) dan pengeras suara (speaker) yang dipasang di berbagai persimpangan jalan di Kota Bandung. Kota Kembang tampaknya betul-betul tidak bercanda dalam menunjukkan taringnya sebagai dedengkot kota pintar di Indonesia.

Telisik punya telisik, kedua benda — kamera pengintai dan pengeras suara— ini merupakan alat-alat yang memang digunakan untuk mengamankan kondisi lalu lintas di Kota Bandung. Mereka merupakan salah dua fitur dari ATCS atau Area Traffic Control System milik Dinas Perhubungan. ATCS sendiri merupakan sebuah sistem pengendalian lalu lintas berbasis teknologi informasi yang terdiri dari beberapa komponen, yakni workstation, local controller, video surveillance (CCTV), dan vehicle detector.

Seperti yang dijelaskan di laman web Dinas Perhubungan Kota Bandung, selain mengoptimasi kinerja jaringan jalan dan mewujudkan sistem lalu lintas yang aman, ATCS juga bermanfaat dalam mengurangi jumlah dan beban petugas pengatur lalu lintas di lapangan. Bersama dengan Satlantas Polrestabes Bandung, sistem ini terbukti telah membantu meningkatkan ketertiban pengendara di persimpangan, meskipun sampai saat ini belum terdapat statistik yang bisa mendukung.

Tampaknya, pemanfaatan teknologi informasi yang dikawinkan dengan semangat smart city terus membuka peluang munculnya teknik-teknik mewujudkan kota yang teratur. Terlepas dari peningkatan kedisiplinan warga kota, sejauh mana bentuk pengawasan kota (urban surveillance) seperti ATCS ini dapat dimanfaatkan? Apakah teknologi semacam ini memang merupakan batu loncatan dalam mencapai kota yang teratur?

Atau bisa jadi malah membuatnya lebih hancur?

Selangkah Menuju Kota Orwellian

Bandung memang kota yang latah. Jika ada inovasi baru, kita patut curiga bahwa hal tersebut pasti tidak murni datang dari pikiran pejabatnya. Globalisasi tentunya berperan besar dalam memberikan contoh bagi kota di negara berkembang seperti Bandung, terutama dalam mengadopsi berbagai manuver penataan kota.

Beberapa kota di negara maju sebenarnya sudah menerapkan sistem pengawasan kota berbasis teknologi (seperti ATCS) sejak lama, seperti di Amsterdam, Stockholm, dan banyak kota di Amerika Serikat. Namun, jika di sini ATCS baru dirayakan keberhasilannya, di luar sana, sudah mulai banyak yang memusuhi teknologi serupa.

Berbagai kemungkinan teknologi yang dapat mendeteksi pergerakan warga kota. (Sumber: The Atlantic)

Di Seattle, Chicago, atau Oakland, pengawasan kota telah berevolusi jauh dari sekadar CCTV saja, tetapi dapat dijumpai pula sensor di lampu jalan dan tempat parkir. Tidak hanya di aspek transportasi, kualitas lingkungan dan kriminalitas juga bisa diawasi lewat berbagai node yang ada di kota — termasuk ponsel atau laptop pribadi.

Di luar sana, teknologi semacam itu bukan lagi menjadi kawan bagi khalayak publik. Sebuah artikel yang ditulis Jessica Leigh Hester di CityLab bahkan mempertanyakan, “What would it look like to leapfrog that murkiness by opting out entirely? Can a contemporary urbanite successfully skirt surveillance?”

Poin utamanya adalah, dengan akselerasi arus informasi semacam hari ini, bukan tidak mungkin kita juga akan mencapai tahap yang sama dengan apa yang dialami masyarakat kota di Amerika dan Eropa. Melihat apa yang terjadi di dunia saat ini, saya pribadi juga mulai percaya kalau Orwell lewat Nineteen Eighty Four-nya adalah seorang cenayang.

Mungkin saja, “BUNG BESAR SEDANG MENGAWASI SAUDARA.”

Maka dari itu, agaknya penting untuk meninjau— bukan hanya penerapan teknologinya, tetapi — pemahaman dasar mengenai pengawasan terhadap ruang kota.

Penjara dalam Ruang Kota

Hille Koskela (2003) membongkar bagaimana pengawasan terhadap kota senantiasa berhubungan erat dengan konsep dasar ruang dan juga permainan kuasa. Meminjam konsep Michel Foucault tentang panopticism (dalam tulisan ini selanjutnya akan disebut panoptisisme), ia menyampaikan beberapa poin penting terkait pemahaman tentang urban surveillance.

Panopticon sendiri merupakan sebuah tipe bangunan institusional dan sistem kontrol (singkatnya, sistem penjara) yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham pada tahun 1787. Skema desain ini memungkinkan semua narapidana diamati oleh seorang penjaga tunggal. Tetapi, yang membuat desain ini menjadi sebuah terobosan pada saat itu adalah narapidana yang sebenarnya tidak mengetahui apakah mereka diawasi atau tidak. Hal ini membuat mereka terdorong untuk bertindak seolah-olah mereka diawasi setiap saat. Dengan demikian, mereka secara efektif dipaksa untuk mengatur perilaku mereka sendiri.

Rencana Bangunan Panopticon oleh Jeremy Bentham, 1791. (Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/File:Panopticon.jpg)

Secara literal, pengawasan kota melalui CCTV memiliki ide yang sama. Orang-orang yang melihat CCTV dan sadar kalau mereka diintai tahu bahwa mereka sedang diawasi, tapi mereka tidak pernah tahu kapan dan oleh siapa — juga karena tidak ada intervensi fisik.

Lantas, bagaimana desain sebuah penjara berhubungan dengan pengawasan kota dan relasi kuasa?

Panoptisisme dalam pengawasan kota mencerminkan praktik kuasa (exercise of power) lewat normalisasi ruang kota secara efisien dengan membuat warga kota senantiasa terus diawasi, tanpa tahu pasti kapan dan oleh siapa mereka diawasi, yang menyebabkan internalisasi kontrol terhadap dirinya sendiri.

Suatu ketika, dalam rutinitas saya melewati persimpangan Pasteur di Bandung, saya mendapati seorang pengendara motor yang diteriaki oleh pengeras suara karena melewati batas zebra cross. CCTV di persimpangan tersebut dapat menangkap kelakuan si bapak yang dianggap “menyimpang”. Si bapak lantas memundurkan motornya sembari dilirik oleh pengendara lain.

Ruang kota, seperti persimpangan jalan, tentunya diatur lewat instrumen peraturan dan penegak hukum. Melalui CCTV, tanpa perlu adanya polisi yang bertugas, sang “pengawas” bisa menormalisasi penyimpangan lewat teriakan dari pengeras suara (yang mana ini juga menciptakan sangsi sosial bagi si bapak karena diperhatikan oleh orang lain).

Lain kali si bapak lewat di persimpangan tersebut, maka ia akan mengingat kejadian tersebut dan lebih berhati-hati (menginternalisasi kontrol ke dirinya sendiri). Padahal, bisa jadi si “pengawas” sedang tidak ada dan CCTV tersebut tidak sedang dioperasikan. Hal ini membuat sistem terbukti lebih efisien daripada mengerahkan polisi lalu lintas.

Dalam implementasi urban surveillance yang lebih modern, panoptisisme dapat mengambil peran sebagai documentary accumulation. Maksudnya, tidak hanya sekadar mengawasi, namun pengawasan kota juga bisa berfungsi “merekam”. Sama halnya dengan ponsel ataupun laptop, pengawasan kota juga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana masyarakat urban bernavigasi, dan tidak jarang hal ini juga melibatkan dokumentasi identitas seperti sensor plat nomor atau bahkan sistem pengenalan wajah (facial recognition).

Panoptisisme sebagai Perwujudan Praktik Kuasa

Foucault memahami ruang sebagai sebuah basis fundamental bagi praktik kekuasaan. Spasialitas kemudian menjadi krusial dalam menjelaskan tentang relasi (kuasa) sosial. Hal ini dikarenakan ruang tidak bisa dipahami sebagai sekadar sekat-sekat dan konstruksi fisik, tetapi juga sebagai wadah yang senantiasa bereproduksi dan berevolusi akibat proses-proses sosial.

Dalam konteks Kota Bandung, penggunaan kamera pengintai dan pengeras suara dapat kita pahami sebagai turunan dari perwujudan konsep smart city yang diusung sang walikota. Sampai sini saja, kita bisa membongkar bagaimana kota didominasi oleh kekuatan sedikit (atau bahkan hanya satu) individu, yang percaya bahwa jalan terbaik untuk bisa bersaing dengan kota-kota di dunia adalah mengadopsi berbagai perangkat teknologi mutakhir.

Dan sebenarnya, smart city juga bukanlah akhir permainan dari pembangunan Kota Bandung. Dengan berbagi permasalahan yang mengisyaratkan “kekacauan” seperti PKL, kampung-kota, dan persampahan, pastinya terdapat pula berbagai usaha untuk mengubahnya (entah perlahan atau seketika) menjadi “keteraturan”.

Maka dari itu, kita tidak bisa melihat sistem-pengaturan-lalu-lintas-maha-canggih ini sebagai sebuah pencapaian inkremental saja. Dalam wacana yang lebih besar, panoptisisme kota merupakan bentuk penegakkan dan pemastian kuasa atas kota. Pemahaman akan hal ini seharusnya memberikan titik henti bagi para penghuni kota untuk sejenak berpikir dan kemudian bernavigasi kembali.

Hanya Kita yang Dapat Membebaskan Diri Kita Sendiri

Terlepas dari niat mengatur kota dan apresiasi masyarakat terhadap penerapan pengawasan kota seperti ATCS, konsekuensi paling “sederhana” (saat ini) sebenarnya hanya internalisasi kontrol yang saya sebutkan di atas. Para penghuni kota tentunya akan semakin berhati-hati dalam bertindak di ruang publik.

Namun, inilah yang menjadi manfaat terhebat dari konsep panopticon. Tanpa perlu adanya pengawasan 24 jam dengan pengerahan personel di lapangan, warga kota bisa didisiplinkan dengan efisien. Hal ini tentunya membatasi ruang gerak dan kebebasan bernavigasi di tengah kota. Kehati-hatian menjadi nomor satu, dan definisi kebahagiaan menjadi terbatas pada “selamat sama selamat”.

Pada akhirnya, keterlanjuran ini harus sama-sama didorong ke arah yang mampu memihak hak kolektif atas kota. Karena, seperti di penghujung tulisan Koskela (2003), ruang kota tidaklah sepenuhnya hegemonik. Akan selalu ada celah resistensi yang bisa direnggangkan dan diisi dengan apapun yang melawan.

Contohnya, pada akhir 90-an di New York, terdapat grup bernama Surveillance Camera Players” yang melawan ancaman CCTV melalui seni teatrikal.

Referensi

--

--

Naufal R. Indriansyah
Kolektif Agora

Managing Editor at Kolektif Agora | Writing about (Indonesian) cities, urbanization, informality, politics, and everything in between