IDE / (PRA)SARANA

Arsitektur sebagai Senjata

Menaungi atau Menguasai?

Jaladri
Kolektif Agora

--

Permukiman ilegal Israel di salah satu daerah di Tepi Barat. Sumber: Wikimedia, 2018.

Saya masih ingat salah satu momen perkuliahan pertama saya dahulu. Saya menggunakan istilah “mortar” di Studio Material dan ditertawakan seisi kelas. Saat itu, teman-teman seangkatan membayangkan mortar sebagai senjata peledak yang digunakan dalam perang, bukan perekat dinding. Hal itu wajar, karena kebanyakan dari orang Indonesia menyebutnya sebagai “plesteran”.

Beberapa tahun kemudian, ingatan tentang perbedaan pemahaman itu memantik kesadaran saya tentang hal yang sebenarnya sudah lama terjadi: arsitektur yang kerap dianggap sebagai bangunan statis, bisa juga digunakan sebagai senjata yang dinamis.

Pelekat dan Peledak

Arsitektur sebagai senjata sebenarnya bukan hal yang asing bagi orang Indonesia. Kita cukup lekat dengan istilah “Proyek Mercusuar” yang menggunakan arsitektur sebagai senjata. Proyek ini menggunakan bangunan megah dan besar untuk menunjukkan daya saing Indonesia agar bisa diperhitungkan di kancah politik internasional. Dana kompensasi perang dari Jepang yang ditandatangani pada 20 Januari 1958, digunakan untuk membangun proyek-proyek infrastruktur Politik Mercusuar ini.

Stadion Gelora Bung Karno, Hotel Indonesia, Patung Selamat Datang, Jembatan Semanggi, dan Monumen Nasional adalah beberapa contohnya. Meski terlihat seperti ajang gagah-gagahan (seperti Monas yang melambangkan phalus), arsitektur terbukti menjadi alat yang paling sering digunakan dalam praktik penyelenggaraan kekuasan. Bentuk fisiknya terlihat, fungsinya terasa, dan bisa berdiri berpuluh-puluh tahun. Kita tidak bisa memungkiri bahwa proyek-proyek mercusuar di atas masih menjadi landmark di DKI Jakarta sampai hari ini.

Praktik ini tidak hanya dilakukan di Indonesia. Rezim Ferdinand Marcos, yang terkenal korup di Filipina, menjadikan arsitektur sebagai bagian dari praktik hegemoni kekuasaannya. Di buku “Edifice Complex: Power, Myth, and Marcos State Architecture” oleh Gerard Lico, ia menyebutkan bahwa, “Pemerintah Marcos menggunakan arsitektur sebagai senjata untuk memaksakan kendali dan mempertahankan dukungan publik.”

Senjata beton Ferdinand Marcos, Philippine International Convention Centre. Foto dari situs the PICC.

UAE unjuk kekuatan dengan Burj Khalifa setinggi 828 m. Adolf Hitler terobsesi dengan gagasan membangun kubah terbesar dunia di Berlin. Buku “The Model City Pyongchang” (Bianchi, 2019) memberikan gambaran tentang Korea Utara: sejak Kim Jong Un mengambil alih kepemimpinan, Pyongyang telah mengalami transformasi besar-besaran yang dibentuk oleh visi arsitektur pribadinya. Arsitektur mempunyai dimensi politik yang kerap digunakan untuk mengekspresikan hegemoni nilai dari penguasa suatu negara.

Arsitek adalah profesi yang sejatinya tidak lepas dari kekuasaan. Tidak seperti produk lain yang harganya lebih murah dan bisa dijangkau kalangan yang lebih luas, bangunan (terutama yang megah) membutuhkan banyak perizinan dan biaya yang membatasi sebagian besar kalangan untuk mengakses produk-produk arsitektur. Arsitek memerlukan uang dan kekuasaan untuk sekadar menjalankan profesinya, apalagi untuk tahap mengaktualisasi dirinya.

Albert Speer menjadi contoh bagaimana arsitek dapat mengaktualisasi dirinya ketika menginvestasikan keterampilan profesionalnya dalam menyenangkan penguasa. Melalui Speer, Hitler merealisasikan peran arsitektur dalam memperkuat otoritas Nazi. Dia mendefiniskan monumen arsitektur untuk menunjukkan tekad, kesatuan, kekuatan, dan kekuasaan pemerintahannya. Bagi Hitler, arsitektur melambangkan kekuasaan rakyat secara heroik.

Albert Speer (kanan) bersama Hitler (kiri), tahun 1937. Sumber: dailymail.co.uk.

Kuasa Atas Ruang

Arsitektur kerap dibayangkan sebagai bangunan yang menaungi kita dari badai dan terik, atau tempat berlindung dan berteduh. Namun arsitektur sebagai senjata mematikan juga adalah suatu hal yang inheren. Di Palestina, beton dan plesteran telah menjadi setara dengan granat dan tank. Mortar dan mortar (pun intended) adalah senjata. Arsitektur Israel bertindak langsung dalam invasi kehidupan sehari-hari warga Palestina.

Arsitek Eyal Weizman telah menjelaskan tentang penggunaan strategi “titik dan garis” dalam arsitektur di Tepi Barat. Keterhubungan antara pemukiman (titik) yang relatif otonom di seluruh Tepi Barat dengan koneksi komunikasi dan transportasi (garis) Israel, dikontrol melalui pembangunan arsitektur.

Israel mengatur bahwa semua pekerjaan bangunan atau pembelian properti di Tepi Barat harus mendapat persetujuan dari Menteri Pertahanan Israel (bukan pertanahan). Penyebaran pemukiman Israel di bawah kendali penuh militer di seluruh Tepi Barat menunjukkan pemahaman mengenai desain perkotaan sebagai taktik militer yang strategis dan terkadang penuh kekerasan. Arsitektur digunakan untuk melancarkan perang terhadap gesekan Israel dan Palestina.

Weizman berpendapat bahwa teknik ini menciptakan “irisan” yang memungkinkan migrasi populasi yang lebih besar untuk membuka lahan kolonisasi. Strategi titik dan garis menciptakan mobilitas tinggi yang menguntungkan strategi militer Israel dan menghambat pergerakan lawan.

Kendali Israel atas infrastruktur bisa jadi senjata yang lebih efektif dari senapan. Misalnya, di Kota Nablus, Tepi Barat, air dinyalakan hanya pada waktu-waktu tertentu sepanjang minggu, sehingga mengakibatkan kesenjangan yang secara efektif melumpuhkan lingkungan Palestina.

Arsitektur, teknik sipil, dan perencanaan selama ini kerap dimanfaatkan sebagai perpanjangan perang. Sulit untuk memisahkan aspek arsitektur dan perencanaan wilayah dari aspek sosiologi dan politik dalam analisis konflik. Melalui perusakan monumen lama dan pembangunan monumen baru, arsitektur menjadi penanda bahwa ruang tertentu merupakan kekuasaan kelompok tertentu. Penggunaan senjata spasial tidak hanya digunakan untuk gagah-gagahan politisi, tapi menentukan hidup dan mati secara harfiah.

Ada fakta menarik yang jamak disampaikan pada hari pertama kuliah teknik sipil. Sebelum awal abad ke-19, hanya ada insinyur militer, dan kata “sipil” pertama digunakan untuk memisahkan mereka yang belajar ilmu ini di universitas reguler dari rekan-rekan yang belajar ilmu yang sama dari militer. Sementara perencanaan wilayah merupakan penerapan paling praktis dari ilmu politik. Kita tidak seharusnya memungkiri bahwa ilmu tentang ruang memang sudah menjadi senjata dan alat kuasa sejak pertama ia lahir.

Referensi:

1 Teerds, H. (2019, April 9). Leve de moderne architectuur, maar Baudet heeft wel een punt. Trouw. Retrieved from https://www.trouw.nl

2 Cutieru, A. (2020, August 16). The Political Dimension of Architecture Activism through Design. Archdaily. Retrieved from https://www.archdaily.com

3 Gordillo, G. (2014, February 2). Nazi Architecture as affective Weapon. World Architecture. Retrieved from https://worldarchitecture.org

4 Weessies, R. (2019, March 22). Video: Thierry Baudet over architectuur. Architectenweb.

5 Beek, M & Liukku, A. (2017, September 30). Thierry Baudet: Een groot deel van Rotterdam is lelijk. AD. Retrieved from https://www.ad.nl

6 Bianchi, C (2019). Model City Pyongchang.

--

--