IDE / WARGA

Barelang: Jembatan yang Mengurai Mimpi dan Imajinasi Modernitas

Kolektif Agora
Kolektif Agora
Published in
8 min readJul 27, 2022

--

Oleh: Eliesta Handitya*

Jembatan Barelang adalah jembatan yang menghubungkan Pulau Batam, Pulau Tonton, Pulau Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau Galang Baru. Barelang adalah singkatan dari Batam, Rempang, Galang. Foto dari Wikimedia, 2005.

Pertama kali menginjakkan kaki di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, pertanyaan pertama yang diajukan oleh ayah saya melalui pesan Whatsapp adalah, Sudah lewat jembatan ikonik di Batam ini, belum? Ia juga melampirkan sebuah foto yang saya yakini didapatkan dari laman Google, mengingat ia tak pernah bertandang ke Batam sebelumnya. Saya agak heran mengapa ia mengirimkan foto jembatan, alih-alih lanskap bangunan kota, tempat wisata, atau paling tidak rekomendasi kuliner saja. Barangkali, gambar jembatan itulah yang pertama kali muncul tatkala mengetik “Batam” pada kolom pencarian.

Hingga, suatu hari, saya akhirnya benar-benar melalui jembatan tersebut, melaju kencang bersama mobil sewaan yang mengaspal mulus pada bentang jalan sepanjang 54 kilometer. Namanya adalah Jembatan Barelang, singkatan dari Batam-Rempang-Galang. Jembatan ini terdiri dari enam rangkaian yang menghubungkan jalur jalan raya di sepanjang Pulau Batam, Pulau Tonton, Pulau Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang, dan Pulau Galang Baru. Kala melintas, Jembatan Barelang tampak begitu megah berdiri di atas bentang lautan yang menghubungkan kepulauan Batam hingga Galang Baru.

Keenam rangkaian jembatan tersebut seluruhnya diberi nama dari raja-raja yang pernah menguasai Melayu dan Riau sejak abad 15–18 M, yakni Tengku Fisabilillah, Nara Singa II, Raja Ali Haji, Sultan Zainal Abidin, Tuanku Tambusai, dan Raja Kecil. Kiwari, Barelang bahkan telah menjadi ikon pariwisata Batam, dengan diresmikannya jembatan ini dalam logo Visit Batam. Namun, di balik ikoniknya Jembatan Barelang, saya justru tertarik mengupas bagaimana kehadiran infrastruktur ini berdampak pada kondisi sosial budaya masyarakat di sekitarnya.

Jembatan Barelang dibangun pada rentang tahun 1992 hingga 1998, bertepatan dengan digabungkannya Pulau Rempang dan Pulau Galang sebagai bagian dari kota Administratif Batam berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1992. Sebelum 1992, wilayah Kota Administratif Batam hanya mencakup tiga kecamatan, yakni Belakang Padang, Batam Barat, dan Batam Timur. Semenjak 1992, Rempang dan Galang menjadi bagian dari Kota Batam, di mana sebelumnya kedua pulau ini merupakan bagian dari Kabupaten Kepulauan Riau. Bergabungnya kedua wilayah ini ke dalam pemerintahan Kota Batam menjadi implikasi pembangunan Jembatan Barelang, yang sejak mula berkeinginan menjadikan Rempang dan Galang untuk diakselerasi sebagai kawasan industri.

Melalui artikel ini, saya menganalisis bagaimana jembatan Barelang dan jalur jalan raya Trans Barelang tidak hanya dilihat dalam fungsi literalnya sebagai penghubung transportasi antarpulau semata. Alih-alih, kita akan lebih jauh membahas bagaimana suatu infrastruktur–dalam konteks ini adalah Jembatan Barelang–menjelma sebagai gagasan imaji modernitas yang dipertukarkan di tengah kehidupan sosial dan keseharian warganya.

Membentuk Pandangan tentang Modernitas

Catatan ini saya tuliskan berdasarkan pengalaman tinggal di salah satu wilayah yang dilalui jalur Trans Barelang, yakni Pulau Galang Baru, pada paruh akhir 2021 lalu. Masyarakat di Barelang sebagian besar tinggal di perkampungan pesisir padat penduduk, dengan rumah panggung terbuat dari kayu atau triplek, dengan sumber penghidupan bergantung pada hasil laut. Sebagian besar masyarakat sepanjang jalur Barelang bekerja sebagai nelayan tradisional (ketam, udang, rajung, dan gonggong), meski ada beberapa warga yang menjadi nelayan ikan bilis, membudidayakan ikan laut di kelong, ataupun menjemur rengkam (rumput laut, nama latin: Sargassum sp.) untuk dijual pada penampung (tauke) dengan harga pasar yang jauh lebih rendah ketimbang harga jualnya di Kota Batam.

Dalam setiap perbincangan bersama warga setiap pagi, siang, atau sore selama tinggal di Galang Baru, gagasan mengenai Jembatan Barelang selalu muncul dalam pembicaraan sehari-hari kami. Entah secara subtil dalam perbincangan bersama seorang ibu yang akan berbelanja ke kawasan pertokoan di Kota Batam melalui jalan Trans Barelang, mitos-mitos tentang angkernya beberapa titik jembatan, atau sekadar berkisah menyoal sejarah pembangunan jembatan yang mereka saksikan sendiri tatkala masih kecil, bahkan tak jarang pula membanggakan kehadiran jembatan yang mempermudah akses transportasi penduduk ini.

Melalui perbincangan demi perbincangan, saya mengamati bagaimana Jembatan Barelang menjelma gagasan yang muncul dalam situasi keseharian warga, dibincangkan secara kasual di rumah, warung, dek sampan, bahkan di tengah dapur yang sedang mengepul. Kehadiran Jembatan Barelang membuat warga merasa lebih terhubung dengan kehidupan perkotaan Batam yang modern, bahkan dianggap sebagai pusat peradaban dan standar kemajuan. Pada berbagai perbincangan informal, beberapa warga yang saya ajak bercakap kerap mengidentifikasi Batam sebagai “kota di mana segala hal tersedia”; yang dalam hal ini merujuk hiruk-pikuk kota dan modernitas: pusat perbelanjaan lengkap, perkantoran dan pabrik yang tersebar di seantero kota, gedung gemerlap, hingga hingar bar pada malam hari.

Saya jadi mengingat tulisan Jonathan Rigg yang membahas bagaimana pembangunan jalan berdampak bagi masuknya berbagai agenda pembangunan, bahkan menciptakan masyarakat berorientasi ekonomi pasar. Baginya, jalan raya kerap kali dibangun sebagai cara mengintegrasikan populasi penduduk yang terpinggirkan untuk masuk ke dalam politik arus utama sebagai bagian dari pembangunan bangsa (nation-building) dan penciptaan kepengaturan (Rigg, 2002: 619). Dalam konteks masyarakat Rempang dan Galang, kepengaturan di sini bisa diinterpretasi sebagai cara-cara kuasa politik–dalam hal ini pemerintah–guna mengontrol masyarakat di sekitar Rempang dan Galang di bawah pemerintahan Otorita Batam.

Rigg juga melihat bagaimana pembangunan jalan menjadi legitimasi masuknya pasar dan industri, bersinggungan dengan tujuan dibangunnya Jembatan Barelang sebagai katalisator perkembangan industri di kawasan Barelang. Salah satu bentuk percepatan modernisasi ini misalnya saya temukan dalam fenomena migrasi penduduk menuju dan keluar Barelang, yang berimplikasi pada peningkatan kepadatan perkampungan serta meningkatnya mobilitas warga.

Di beberapa perkampungan pesisir, warga mulai membangun rumah-rumah baru di pesisir yang masih kosong. Semenjak berdirinya jembatan, mobilitas tenaga kerja dari kampung pesisir ke perkotaan di Pulau Batam pun semakin terakselerasi. Banyak anak muda di kampung tak lagi bercita-cita menjadi nelayan. Alih-alih, pegawai negeri, guru, dan buruh pabrik di Batam telah menjelma menjadi mimpi-mimpi baru mereka atas masa depan.

Kendati demikian, perubahan cara pandang atas pekerjaan tidak hanya didorong oleh keberadaan jalan raya sebagai faktor tunggal. Pasalnya, menjadi pekerja migran di sektor industri–utamanya di Malaysia atau Singapura–telah menjadi fenomena umum dalam konstelasi masyarakat di Batam. Hal ini membuat saya merefleksikan argumen Rigg (2002) yang menjelaskan bagaimana pembangunan jalan raya memungkinkan terhubungnya warga dengan akses pekerjaan, layanan, hingga menciptakan standar kemajuan baru dalam suatu konteks masyarakat.

Selain itu, keberadaan jalan mendorong berbagai intervensi pembangunan infrastruktur seperti listrik, penyediaan air, dan penyaluran program bantuan pemerintah untuk masuk ke kawasan Barelang karena mudahnya aksesibilitas. Contoh nyatanya yakni kawasan di jalur Barelang yang semenjak 2018 silam sudah dialiri listrik, sementara beberapa wilayah di sekitar yang tidak dihubungkan oleh jembatan, hingga 2021 masih menggunakan listrik swadaya bertenaga genset.

Tak pelak, kemudahan aksesibilitas yang dimediasi oleh keberadaan jalan raya mendorong ketimpangan akses di tengah masyarakat Batam. Wacana ini salah satunya termanifestasi dalam penyebutan identitas antara warga mainland dan hinterland. Istilah demikian, meski terdengar teoretis, menjadi sebutan yang populer digunakan oleh masyarakat Batam sehari-hari. Biasanya, istilah mainland identik digunakan untuk menyebut identitas masyarakat yang tinggal di perkotaan di Pulau Batam. Sementara itu, hinterland digunakan untuk menyebut masyarakat pesisir di kepulauan dalam wilayah Kota Administrasi Batam.

Pengistilahan tersebut digunakan untuk membedakan diri antara mereka yang tinggal di perkotaan berkarakter industrial dan modern, diperhadapkan dengan warga kepulauan hinterland yang dianggap tradisional karena mengundi nasib dengan hasil tangkapan laut. Dalam banyak perbincangan, warga di kepulauan bahkan menganggap diri mereka sebagai “terpinggirkan”, karena merasa belum setara dengan standar kemajuan perkotaan. Meskipun, kekayaan lautanlah sumber penghidupan, bahkan pusat peradaban penting masyarakat pesisir.

Saat ini, masyarakat di sepanjang Rempang hingga Galang sering diidentifikasi sebagai orang mainland, karena dianggap berada di daratan yang sama dengan Pulau Batam. Padahal, jika melihat konteks geografisnya, masyarakat di sepanjang jalur Trans Barelang merupakan masyarakat dengan karakter pesisir yang hingga hari ini masih menggantungkan kehidupan mereka dari sektor melaut, yang mana merupakan karakter masyarakat hinterland dalam kacamata penduduk Batam.

Perbedaan penyebutan antara orang hinterland dan mainland tentu bukan hanya persoalan geopolitik yang memisahkan antara “daratan” dengan “lautan” semata. Kedua kategori tersebut sejatinya adalah pertarungan antara konsep masyarakat perkotaan modern (diidentikkan dengan penyebutan mainland), berhadapan dengan kebudayaan komunitas pesisir (hinterland) yang dianggap stagnan dan tradisional. Penyebutan masyarakat Barelang sebagai mainland menjadi implikasi dari dikotomi tersebut.

Infrastruktur sebagai Mimpi Politis

Dalam sejarahnya, Jembatan Barelang diprakarsai, dibangun, dan diresmikan oleh B.J. Habibie sebagai Menteri Riset dan Teknologi, sekaligus Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam di masa itu. Pembentukan jembatan ini menjadi upaya pemerintah menjadikan Barelang (Batam, Rempang, dan Galang) sebagai kawasan industri di Kota Batam. Sejak mula, Jembatan Barelang merupakan misi B.J. Habibie guna mengakselerasi kawasan-kawasan ini sebagai daerah industri yang mampu menyaingi Singapura. Dalam hal ini, kemunculan Jembatan Barelang tidak bisa dilepaskan dari mimpi-mimpi politis (political dreams) teknokrat dalam membayangkan masa depan masyarakat (dan bangsa) melalui misi pembangunan.

Keberadaan Jembatan Barelang membuat saya menyadari bagaimana imajinasi dan citra modernitas dibentuk melalui keberadaan infrastruktur. Dalam hal ini, kita bisa melihat bagaimana keberadaan jembatan dan jalur jalan raya Trans Barelang bukanlah sekadar inovasi pembangunan yang berfungsi secara teknis semata. Keberadaan Jembatan Barelang mengakomodasi terbentuknya imajinasi sosioteknikal (sociotechnical imaginaries), yakni imajinasi dan/atau memori kolektif dalam tatanan kehidupan sosial, yang tercermin melalui proyek berbasis teknologi yang dilakukan oleh suatu negara.

Oleh Sheila Jasanoff & Sang-Hyun Kim, imajinasi sosioteknikal dijabarkan sebagai cara-cara kuasa (power), bisa jadi negara, pemerintah, ataupun pemegang kebijakan, dalam membayangkan suatu harapan, cita-cita, dan simbol-simbol dalam kehidupan masyarakat, dengan menggunakan pembangunan teknologi sebagai perangkat utamanya. Dalam hal ini, imajinasi tidak hanya beroperasi sebagai suatu fantasi individu semata (baca Sarewitz 1996 dalam Jasanoff and Kim 2009: 122). Imajinasi, alih-alih, merupakan moda kultural penting dalam memproyeksikan masa depan dan menjabarkan realitas sosial dalam komunitas masyarakat, termasuk bagaimana masyarakat di Kota Batam memaknai kehadiran Jembatan Barelang dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Infrastruktur Jembatan Barelang tak sekadar menjembatani mobilitas transportasi semata, melainkan turut mengubah pandangan masyarakat atas kehidupan mereka. Melalui Jembatan Barelang, saya merefleksikan bagaimana infrastruktur berkemungkinan membentuk pemaknaan warga akan mimpi-mimpi “menjadi modern”, dengan Kota Batam sebagai episentrum peradabannya. Namun, keberadaan infrastruktur tersebut tidak berdiri secara tunggal, melainkan menjadi perangkat bagi kuasa (pemerintah, negara) dalam menginternalisasi nilai-nilai modernitas bagi masyarakat di sepanjang jalur Trans Barelang.

Bagi masyarakat pesisir Barelang, menjadi modern identik dengan ketergantungan terhadap uang, kerja di gedung kantor (atau pabrik), dan menjadi konsumtif alih-alih bertahan dalam ekosistem laut yang memungkinkan mereka untuk hidup subsisten melalui hasil tangkapan laut. Jembatan Barelang mengakomodasi pandangan bahwa menjadi maju berarti hidup dengan gemerlap cahaya artifisial lampu gedung, mal, ataupun ingar kendaraan perkotaan.

Sementara itu, kehidupan masyarakat pesisir di atas rumah papan dan sampan yang tangguh meski dihempas ombak, resiliensi warga melalui hubungan-hubungan sosial yang dibentuk di tengah masyarakat, dan kebudayaan pesisir sebagai bagian dari identitas keseharian, seolah dipaksa lesap dan pelan-pelan menjadi kata lampau dalam kehidupan masyarakat di sepanjang Barelang.

Hari ini, kekayaan kebudayaan hayati di sepanjang pesisir Barelang telah direnggut oleh pembangunan infrastruktur dan ketergantungan terhadap uang. Alam dan laut direduksi nilainya sebagai sumber daya semata, alih-alih bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari sebagai masyarakat nelayan. Seperti kata Rigg (2002: 620),“Roads, thus, are the conduit by which the market and the state introduce new ideas and belief systems.” Jalan menjelma arena “pasar dan negara”, menawarkan nilai-nilai baru bernama “modernitas”, konsep yang kini diamini dan diyakini oleh masyarakat pesisir di sepanjang Rempang hingga Galang.

*Eliesta Handitya (l. 1998) adalah seorang pembelajar antropologi. Ia bekerja sebagai penulis dan peneliti yang berminat pada topik-topik mengenai gender, studi perkotaan, serta kajian dengan pendekatan sosial dan teknologi. Saat ini, Eliesta sedang mendalami praktik interdisipliner berhubungan dengan praktik artistik dan komunitas bersama Bakudapan & Struggles For Sovereignty.

Bacaan LanjutanBarker, Joshua. 2005. “Engineers and Political Dreams: Indonesia in the Satellite Age.” Current Anthropology, Vol. 46, №5 703–727.Batam.go.id. 2012. arsipskpd.batam.go.id. 14 Desember. Diakses pada 6 Juli 2022. https://arsipskpd.batam.go.id/batamkota/skpd.batamkota.go.id/pemerintahan/sejarah-pemerintahan-di-batam/index.htmlJasanoff, Sheila, and Sang-Hyun Kim. 2009. “Containing the Atom: Sociotechnical Imaginaries and Nuclear Power in the United States and South Korea.” Minerva 119–146.KumparanTRAVEL. 2019. https://kumparan.com/. 12 September. Diakses pada 6 Juli 2022.https://kumparan.com/kumparantravel/mengenang-bj-habibie-lewat-jembatan-barelang-yang-ikonik-dan-memikat-1rqjGc0cs9D/1Rigg, J. 2002. Roads, marketization and social exclusion in Southeast Asia: What do roads do to people? Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 158, №4, pp. 619–636.Manurung, Tunggul. 2021. https://metropolis.batampos.co.id/. 16 Desember. Diakses pada 6 Juli 2022. https://metropolis.batampos.co.id/ternyata-masih-banyak-pulau-hinterland-batam-belum-dialiri-listrik/Mediacenter. 2020. https://mediacenter.batam.go.id/. 29 Agustus. Diakses pada 6 Juli 2022. https://mediacenter.batam.go.id/2020/08/29/energi-pembawa-terang-yang-menghapus-kelam-pulau-seberang/.Arman, Dedi. 2019. https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/. 24 Desember. Diakses pada 6 Juli 2022. https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbkepri/kelong-alat-menangkap-ikan-orang-pesisir/

--

--